Kamis, 29 Januari 2009

Re: [bali-bali] Bertengkar Sambil Menunggu Buyan Hilang

Bravo Ton.
 
Peace for Indonesia
Wr
 
 
----- Original Message -----
Sent: Wednesday, January 28, 2009 9:36 AM
Subject: [bali-bali] Bertengkar Sambil Menunggu Buyan Hilang

http://www.balebengong.net/opini/2009/01/28/bertengkar-sambil-menunggu-buyan-hilang.html

28th January 2009

Bertengkar Sambil Menunggu Buyan Hilang

Oleh Rofiqi Hasan

Ups. Firasat saya ternyata benar. Ketika dua pekan lalu, SMS dari Mbak Santi , staf Humas Pemda Propinsi Bali melayang ke HP saya, feeling saya langsung berkata, bakalan terjadi kontroversi berkepanjangan mengenai danau buyan. SMS itu memberi tahu, pada hari Jumat itu bakal ada paparan PT Anantara mengenai rencana investasi di danau Buyan.

Firasat itu makin kuat ketika dengan bersemangat saya berusaha menerobos masuk ke ruangan pertemuan pada pagi harinya. Di situ sudah ada Gubernur Made Mangku Pastika (MMP) bersama staf lengkap dan Bupati Buleleng.

Tapi baru saja saya mencoba melangkah ke pintu sambil bertanya, "bisa diliput kan?" pada Putu Suardika, Kepala Biro Humas, dia langsung menjawab, "Enggak, enggak. Nanti saja!"

Dan yang harus terjadi kemudian terjadilah.

Kita semua tahu, hari-hari ini bola terus ditendang kalangan penolak investasi dengan berbagai alasan. Sasarannya jelas. MMP diminta untuk berkata tidak terhadap rencana investasi. Investasi dinilai bakal merusak lingkungan danau dan merusak kesuciannya.

Saya tak mau berdebat soal itu. Tapi menurut saya, semua kontroversi sudah kehilangan konteks  persoalan yang sebenarnya. Konteks yang tepat untuk soal ini adalah nasib danau Buyan yang akan hilang terlepas dari  ada atau tidaknya investasi. Soal ini sayangnya hanya lamat-lamat saja disuarakan MMP.

Dalam satu wawancara dia menyebut, 10 tahun lagi danau bisa hilang. Saat ini danau telah menyusut 60 ha. Tidak ada elaborasi atau penjelasan apapun untuk mempertegas persoalan ini. Padahal inilah PERSOALAN BESARNYA.

Wawancara seorang teman dengan Pusat penelitian Lingkungan Hidup Unud mengungkap data Danau Buyan yang  kini memiliki luas 478,33 hektar telah mengalami penurunan permukaan sebanyak 5 meter pada periode 2003 – 2005. Memasuki tahun 2006, kondisi tinggi muka air danau makin menunjukkan penurunan yang signifikan.

Ada tiga faktor penyebab turunnya muka air danau buyan. Yakni, curah hujan yang sangat rendah dalam lima tahun terakhir. Curah hujan di kawasan danau pada musim kemarau biasanya mencapai rata-rata 70 milimeter per bulan. Namun sejak tahun 2002, curah hujan di musim kemarau bisa hanya sekitar 0-5 mili meter.

Penurunan muka air danau juga dipengaruhi oleh alih fungsi lahan di sekitar danau. Kebun kopi yang memiliki fungsi resapan air yang sangat tinggi misalnya, kini beralih menjadi pertanian sayuran.

Luasan kebun kopi di kawasan sekitar danau buyan pada 2003 hanya tersisa 14,32 hektar, dibandingkan tahun 1981 lalu yang mencapai 118,34 hektar. Selain itu, tercatat luas pemukiman sekitar danau meningkat dari hanya 58,06 hektar tahun 1981 menjadi 86,10 hektar pada 2003.

Kini konteks persoalan sudah menyempit  ke soal investasi. Dan saya tahu, untuk soal ini ada banyak trauma di kalangan aktivis lingkungan terhadap proyek-proyek pariwisata. Bagi mereka moratorium atau penghentian sementara pembangunan adalah jawabannya. Meski moratorium jelas bukan jawaban untuk pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja. Juga seringkali juga bukan  pemecahan masalah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi proyek.

Bagaimana pula dengan kondisi danau saat ini? Siapa yang mau mengeruk ulang? Siapa yang harus mempertahankan perkebunan kopi?

Karena konteks persoalan yang tidak tepat, arah kontroversi pun telah kehilangan relevansinya. Apa gunanya menolak investasi kalau danau Buyan tetap akan hilang juga. Well,  menyuarakan penolakan tentu jauh lebih mudah dibanding benar-benar harus turun tangan menyelamatkan danau itu. Isu ini bahkan sudah diboncengi oleh suasana menjelang pemilu dimana para politisi ingin memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengkampanyekan dirinya.

Pembicaraan sebenarnya harus lebih terarah pada upaya pemecahan masalah itu. MMP menyatakan sedang melakukan kajian dari sisi budaya, sosial, ekonomi, dll.  Saya berharap hasil kajian secepat mungkin dikeluarkan dan bukan hanya menyangkut tawaran investasi PT Anantara. Hasil itu mestinya berawal dari pemetaan yang kongkrit mengenai kondisi tata ruang, ekonomi dan sosial budaya di wilayah itu serta masalahnya ke depan. Lalu, sejumlah solusi yang komprehensif hingga ke masalah teknis pembiayaan bisa ditawarkan.

Investasi hanya salah-satu alternatif. Saya berharap PT Anantara akan diberi kesempatan untuk melakukan presentasi terbuka kepada publik mengenai rencananya hingga soal skema pembiayaannya. Di situ akan bisa dinilai, apakah yang mereka lakukan benar-benar langkah penyelamatan. Juga soal skema pembiayaan itu, jangan sampai konsesi pengelolaan lahan kemudian digadaikan lagi ke pihak lain. Suara masyarakat di sekitar danau juga harus didengar. Karena merekalah yang bakal  terkena dampak dari setiap kebijakan yang diambil.

MMP benar ketika menyatakan, "Mari kita dengar dulu". Sayang, dia belum mendorong agar bukan hanya kalangan pejabat yang mendengar, tapi seluruh masyarakat Bali harus diberi hak yang sama. Sayang, bahkan wartawan pun tak boleh meliput langsung paparan PT Anantara itu.

Tanpa keterbukaan itu, gelindingan masalah akan tetap berporos pada penolakan investasi. Jaminan MMP bahwa dia akan tetap mempertahankan lingkungan dan peka terhadap masalah kesucian akan sulit diterima. Apriori terus terpupuk tanpa kejelasan masalah dan langkah untuk memecahkannya.

Apalagi di era dimana histeria demokrasi belum usai sepenuhnya. Histeria yang seringkali membuat orang melupakan prosedur komunikasi yang sehat.Yakni untuk melakukan konfirmasi dan check and re-check sebelum menanggapi.

Sekarang semua orang bicara dengan sudut pandang mereka sendiri atau sudut pandang yang disodorkan media tanpa melakukan pengechekan akan kebenarannya. Kini orang suka bicara dengan bahasa yang ekstrim dan hitam putih seolah mereka yang paling benar. Esensi demokrasi sebagai ruang tawar menawar ide dan gagasan telah disabotase sebagai alat untuk mengukuhkan eksistensi diri.

Hmm, tiba-tiba kepala saya pusing sebelah. Mungkin karena saya merasa pendapat saya yang paling benar juga. Hiks.. Capek, deh. [b]



--
Anton Muhajir |  http://rumahtulisan.com

__._,_.___

Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Tidak ada komentar: