Selasa, 27 Januari 2009

[bali-bali] surat pembaca


mohon bantuan dan dukungannya, serta terimakasih banyak atas partisipasinya, suksma. mohon disebarluaskan ke seluruh pelosok dunia demi pencitraan dan penciptaan pemerintahan yang berwibawa, bersih dan transparan serta akuntabel, bebas dari korupsi dan penindasan. merdeka

 

Kisruh WPK 2006

Mana Janjimu Pemimpin ?

 

KENAPA bisa terulang lagi ? Salah siapa ? Ada apa sebenarnya ? Untuk kepentingan apa dan siapa ? Siapa juga dalangnya ? Dan, masih banyak lagi pertanyaan lainnya, yang akan terus berkembang serta juga mungkin tak akan pernah ada yang berani memberikan jawaban atau bahkan memilih menghindar untuk mencari selamat.

Faktanya, kisruh Warga Pemohon Keadilan (WPK) atas pengadaan dan pengaspalan jalan/gang di wilayah banjar Sawah Pedungan Denpasar Selatan di tahun 2006 lalu bergulir lagi. Rupanya hingga hampir tiga tahun lebih berlalu, tapi kisruh WPK itu masih belum tuntas. Maklum, jalan/gang yang sudah bisa dilalui oleh kendaraan roda empat itu kembali dibongkar oleh oknum warga yang keberatan atas jalan/gang itu pada Minggu (18/1) lalu. Sungguh ironis dan menyedihkan sekali.

Lebih tragisnya lagi, pejabat di tingkat paling bawah hingga Camat terkesan tak bisa berkutik. Padahal, sudah cukup jelas ada perusakan terhadap fasilitas umum oleh oknum warga. Dan, bukankah jalan/gang warga yang telah dikelola secara swadaya untuk kepentingan bersama itu adalah fasilitas umum.

Ini semakin membuktikan bahwa kinerja oknum pejabat yang sempat menangani persoalan ini sudah sangat buruk sekali, tidak profesional dan kurang mampu bersikap sebagai pemimpin yang bijaksana, tegas dan berkeadilan dalam membela kepentingan publik. Terkesan sarat kepentingan dan bahkan lebih mengutamakan kepentingan pribadi, golongan dan atau kelompok daripada kepentingan publik, masyarakat secara universal. Selain itu, juga mengabaikan hasil rapat 15 Desember 2006, yang secara mayoritas warga masyarakat yang hadir telah sangat setuju jalan/gang yang diusulkan WPK untuk ditata dan layak dilalui kendaraan roda empat. Bahkan warga siap merelakan tanahnya sekitar dua meter sepanjang jalan/gang tersebut, bilamana memang diperlukan.

Menyimak realitas itu berdasar faktanya sudah semestinya dan sangat layak sekali oknum pejabat terkait itu diberikan sanksi adminstrasi yang cukup keras, tak hanya sekadar dicopot dari jabatannya sekarang, tapi juga dicopot statusnya sebagai pegawai negeri sipil. Karena sudah secara terang-terangan mengabaikan tugas dan fungsinya selama hampir tiga tahun lebih hingga merugikan kepentingan publik. Sebuah harga yang cukup mahal secara moril maupun finansial. Terlebih lagi sempat bertindak arogan dengan mengintidimasi dan mengancam WPK ketika sedang menuntut haknya sebagai warga negara yang sah atas negeri ini. Seperti tak berpendidikan saja.

Atas kejadian itu, WPK akhirnya bersurat lagi ke sejumlah instansi pemerintah yang sebelumnya sempat menangani masalah itu, seperti Lurah dan Camat Denpasar Selatan, Wali Kota Denpasar, DPRD kota Denpasar dan DPRD Bali. Bahkan juga kepada Gubernur Bali dan DPD RI Bali. Tentunya, dengan tujuan untuk mempertanyakan kembali mengapa persoalan kisruh WPK itu tidak bisa dituntaskan secara komperhensif dan berkeadilan berdasar kebenaran serta demi kepentingan warga masyarakat secara universal. Pun dengan harapan segera mendapatkan penyelesaian secara menyeluruh terhadap persoalan itu tanpa mengabaikan rasa keadilan dan nilai kebenaran demi kepentingan publik.

Sebenarnya, WPK sudah sempat bertemu Camat Denpasar Selatan, IB Alit Wiradana (201/) dan sehari sebelumnya juga bertemu Lurah Pedungan, Nyoman Lodra. Namun, lagi-lagi tak mendapatkan jawaban yang memuaskan bahkan cenderung menekan dan hanya berjanji akan segera menindaklanjuti. Masalahnya, persoalan ini sudah hampir tiga tahun lebih dibiarkan terkatung-katung tanpa kejelasan yang pasti.

WPK juga sempat mengadukan masalah ini kepada anggota DPR RI-Bali, Wayan Sudirta, yang intinya disarankan untuk memproses pembongkaran jalan itu secara hukum karena telah merusak fasilitas umum dan membuat perasaan tidak senang. Sementara itu, ketika bertemu dengan asisten satu (pelaksana tugas Sekkot Denpasar), Nik Nata Wibawa, malah mengaku sedih dan prihatin atas masalah ini bahkan menegaskan bahwa akan memanggil para oknum pejabat yang terkait agar menyelesaikan persoalan ini secara tuntas. Selain itu, dia juga sangat menyayangkan sekali seorang pemimpin yang mestinya menjadi publik figur malah melakukan tindakan yang kurang terpuji, mengabaikan kepentingan publik untuk kepentingan pribadi atau golongan.

Nah, akankah kebenaran itu akan mencapai kemenangan pada akhirnya dan keadilan itu terealisasi menjadi hak publik. Sehingga janji tidak hanya tinggal janji. Mari kita lihat dan tunggu hasil kinerja pejabat terkait selanjutnya.

 

Nyoman Wija, SE Ak, Koordinator WPK, yang wartawan dan aktivis KORdEM Bali

 

Kisruh WPK 2006

Kami Butuh Jalan Bukan Pepesan Kosong 

 

SEJATINYA kisruh Warga Pemohon Keadilan (WPK) tak perlu terjadi atau bahkan sampai berlarut-larut hingga bertahun-tahun, sejak 1992 hingga 2009 ini. Kalau saja, pejabat terkait yang diangkat dan dipercaya sebagai pemimpin mampu mengayomi dan melindungi warga masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran kepemimpinan. Utamanya mampu menempatkan kepentingan publik atau umum diatas kepentingan pribadi atau golongan.

Tragisnya, setiap upaya yang dilakukan oleh WPK selama ini ketika menuntut haknya sebagai warga negara yang sah atas negeri ini selalu saja dibalas dengan tindakan arogansi berupa intimidasi dan ancaman oleh para oknum pejabat publik terutama di tingkat paling bawah, mulai kelian banjar, lurah hingga camat. Sebuah fenomena yang sangat ganjil dan tak logis secara logika. Alhasil beragam praduga pun sempat berkembang dan menjadi wacana publik di tengah warga masyarakat secara luas, termasuk WPK juga. Sebenarnya, ada apa dibalik semua itu dan siapa yang bodoh dalam hal ini, warga masyarakat atau malah pemimpinnya, yang terkesan seakan tak punya perasaan dan hati nurani dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pejabat publik atau pun pemimpin.

Sejak kisruh ini sempat masuk meja birokrasi Pemkot Denpasar, persisnya 30 Oktober 2006 lalu, sebenarnya WPK sangat berkeyakinan persoalan ini akan mampu diselesaikan secara komperhensif dan berkeadilan berdasarkan kebenaran fakta sejarah yang sebenarnya, bukan ditutup-tutupi atau bahkan dimanipulasi atas nama kekuasaan dan jabatan publik oleh para oknum pejabat yang dianggap dan atau menganggap dirinya sebagai pemimpin selama ini. Maklum, WPK sempat sangat berkeyakinan akan muncul pejabat atau pemimpin yang memiliki hati nurani dan mampu melihat persoalan ini secara lebih terbuka dan lebih jernih serta tak mudah terprovokasi dari para oknum pejabat yang telah nyata-nyata sarat kepentingan dan maksud tertentu dalam persoalan itu.

Namun, ironisnya malah sampai tiga tahun berlalu penantian itu semuanya sia-sia bagaikan pepesan kosong, tak ada bukti konkretnya. Faktanya, begitu WPK hendak menata tanah bekas sungai itu menjadi lebih baik dengan urugan limston dan rencananya juga akan melengkapi dengan saluran air hujan sebagai antisipasi banjir sambil menunggu uluran bantuan dari pemerintah (berdasar rapat warga, 15 Desember 2006 lalu), pada Minggu 18 Januari 2009 malah dibongkar oleh oknum warga yang keberatan atas penataan jalan/gang itu. Sungguh menyakitkan sekaligus memprihatinkan sekali. Kelian banjar, Lurah, dan Camat bahkan terkesan tak berkutik. Padahal, secara mayoritas warga masyarakat yang hadir dalam rapat itu telah sangat setuju jalan/gang yang diusulkan WPK untuk ditata dan layak dilalui kendaraan roda empat. Bahkan warga siap merelakan tanahnya sekitar dua meter sepanjang jalan/gang itu, bilamana memang diperlukan.

Atas realitas itu pula semakin memudarkan kepercayaan WPK terhadap kinerja birokrasi, pemerintahan. Meski demikian, tak akan pernah menciutkan nyali WPK untuk berjuang terus bahkan mungkin sampai puputan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan atas hak-haknya sebagai warga negara yang berdaulat dan merdeka. Apalagi, WPK kembali sempat memperoleh angin segar, dukungan dari para pinisepuh dan pemangku yang sempat turun gunung untuk menjernihkan persoalan ini. Mereka bahkan sempat mengultimatum agar melakukan sumpah cor di Pura Desa Lan Puseh Begawan bagi para oknum pejabat atau pemimpin termasuk oknum warga yang mengaku atau mengklaim bekas tanah sungai itu sebagai tanah hak milikinya sehingga menghalangi keinginan WPK dalam menata dan memanfaatkan bekas tanah sungai seluas empat meter lebih itu sebagai sarana jalan/gang.

Selain itu, demi memperoleh kepastian hukum secara adminstratif atas jalan/gang itu, WPK kembali bersurat ke sejumlah instansi pemerintah yang sebelumnya sempat menangani masalah itu, seperti Lurah dan Camat Denpasar Selatan, Wali Kota Denpasar, DPRD kota Denpasar dan DPRD Bali. Bahkan juga kepada Gubernur Bali dan DPD RI Bali. Tentunya, dengan tujuan tak semata-mata hanya mempertanyakan kembali mengapa persoalan kisruh WPK itu tidak bisa dituntaskan secara komperhensif dan berkeadilan berdasar kebenaran serta demi kepentingan warga masyarakat secara universal, melainkan juga sekaligus menagih janji dan berharap segera mendapatkan penyelesaian secara menyeluruh terhadap persoalan itu tanpa mengabaikan rasa keadilan dan nilai kebenaran demi kepentingan publik. Intinya, WPK tak ingin mendapatkan pepesan kosong lagi, melainkan bukti dan langkah konkret dari solusi atas persoalan kisruh jalan/gang itu secara menyeluruh dan bersifat final.

Disamping itu juga, menuntut agar para oknum pejabat atau pemimpin yang selama ini secara terang-terangan telah mengabaikan tugas dan fungsinya selama hampir tiga tahun lebih hingga merugikan kepentingan publik secara moril maupun finansial agar diberikan sanksi administrasi yang cukup keras. Bahkan tak hanya semata dicopot dari jabatannya sekarang melainkan juga harus dicabut statusnya sebagai pegawai negeri sipil. Hal ini secara profesional sebagai bentuk tanggung jawab moril, demi rasa keadilan dan kenyamanan warga masyarakat serta menjaga kewibawaan pemerintahan, yang bersih dan transparan serta akuntabel. Bebas dari korupsi dan penindasan.

Akankah ada pejabat yang memiliki hati nurani berani tampil dan bertindak tegas dalam menegakkan sanksi itu. Sehingga kebenaran itu akan mencapai kemenangan pada akhirnya dan keadilan itu terealisasi menjadi hak publik serta janji tidak hanya tinggal janji. Marilah kita bersama melihat dan menunggu hasil kinerja pejabat terkait selanjutnya.

 

Nyoman Wija, SE Ak, Koordinator WPK, yang wartawan dan aktivis KORdEM Bali.

 



__._,_.___

Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Tidak ada komentar: