From: ngurah beni setiawan <setiawan_beni@yahoo.com>
To: bali-bali@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, 16 September, 2009 16:51:28
Subject: Re: [bali-bali] Lungsuran: KASTA!
From: Sugi Lanús <sugilanus@gmail. com>
To: "bali-bali@yahoogro ups.com" <bali-bali@yahoogrou ps.com>
Sent: Wednesday, 16 September, 2009 16:18:19
Subject: Re: [bali-bali] Lungsuran: KASTA!
Biang Bulan,
Soal yg dari Tegeh Kori itu: Tragis. Hehe..
Kakek saya jg Tegeh Kori, tapi karena rumah saya tak pake Kori, saya cukup "Tegeh Pagar Rumah"... Rolling door pagarnya biang!! :D
Silahkan beri masukan, dan terimakasih banyak atas kesediaan Biang Bulan menunjukkan nama di aktenya: Ayu Bulantrisna Djelantik. Nah ini satu lagi bukti "kebangsawanan" Dr Made Djelantik. Bahkan anak beliau tak diberi gelar, cukup AYU dan memang pantas utk biang Ayu nama itu. :-)
Dengan melihat akte biang Bulan ini ternyata asumsi saya tentang "mobilitas naik kasta/gelar" ternyata menerima tantangan baru, ternyata ada yg type B "mobilitas turun/penghilangan" . Ayah AA, anak A (ayu).
Biasanya yg terjadi type A "mobilitas naik": ayah IGN, anak AAN. Atau ayah AA, anak Cokorda. Ayah I Dewa, anak Ida I Dewa. Ayah I Dewa Agung, anak AA.
Kalo yg dari ayah tak bergelar sampai anak memakai AA dll, itu saya simpan dulu, nanti saya buka, kelak kalau sdh waktunya.
Yg sangat menarik, temuan saya, pergantian nama dari AA ke Ida Cokorda di Denpasar dilakukan lewat Ketetapan Pengadilan Negeri Denpasar, yg bersangkutan mengusulkan diri, pengadilan menetapkan.
Silahkan saya mengundang masukan kalau ada semeton, nyama lan jro makabehan punya pengalaman lain, atau seandainya tetangganya melakukan "mobilitas gelar".
Saya menerima "pengaduan", kirim lewat jalur pribadi, ke email saya. U r welcome.
Suksma ida dane semeton sinamian, rahajeng.
SL
Biang Bulan yg baik,
Hanya tiga kolom nama diberi formulir sekolah (barat), saya terintimidasi. First-Mid-Last name. Maka nama anak saya sesuaikan dgn kultur itu, tak apalah menyesuaikan agar tak trusmenerus kena "intimidasi barat".
Saya terkesan sekali dgn almarhum Dr Djelantik, bahkan saya "mengenal" beliau dgn nama Dokter Made Djelantik, tanpa gelar AA-nya. Beliau juga menyebut diri beliau dgn nama Made. Tak pernah rasanya beliau memperkenalkan diri dgn menyebut, "Tiang Gung Made." Beliau membuat surat dan selalu bertanda dgn Made. Buat beliau, barangkali, biarlah orang lain "meng-agung- kan", bukan diri sendiri yg "meng-agung- kan" diri.
Rasanya "tradisi" ini (hanya?) diikuti oleh Putu Wijaya, penulis-dramawan- sutradara. Sampai2 orang tidak tahu, lupa, kalau bli Putu ini dari Puri Anom, anak seorang sedahan agung kerajaan. I Gusti Ngurah Putu Wijaya, larut menjadi Putu Wijaya. Bukan karena kami sangat dekat, saya sangat berterimakasih atas panutannya, bli Putu mengajari sebuah "kebangsawanan baru", yg dalam istilah para pelajar Indonesia di Belanda sebelum kemerdekaaan disebut sebagai "kebangsawanan pikir".
Trimakasih banyak utk biang Bulan atas "pengakuan" dan informasi yg sangat berharga tersebut.
Memang gelar Anak Agung gelar "bahasa Melayu", semacam perimbangan buat Yang Dipertuan Agung dstnya. Gelar Anak Agung tak ada dalam prasasti Jaman Majapahit, Kediri, atau Bali Kuna. Pernah ada sebuah gelar disebut dlm prasasti Bali Kuna, gelar itu: "Oka Dalem".
Oka Dalem, ya dalem itu berarti raja. Oka sama dgn anak. Salah satu Raja Klungkung bergelar Dalem Di-Made. Demikian jg disebut seorang dalem lain, Dalem Ktut Ngulesir. Istilah dalem ini mengikuti gelar Oka Dalem adalah istilah dlm jaman prasasti Bali Kuna abad 9-12, jadi sebelum Majapahit lahir.
AA atau Cokorda memang, seperti kata biang AA Bulantrisna Djelantik, "iming-iming" pemerintah Belanda. Sekali lagi ini membuktikan kontruksi kolonial terbukti jelas dlm "mobilitas gelar" di Bali.
Tampaknya Dr Made Djelantik lahir setelah "negosiasi" Karangasem-Welanda. Sehingga beliau mendapat AA dari ayah beliau yg sdh "ganti gelar" dari I Gusti ke Ida AA.
Demikian dulu sekilas. Utk yg lebih rinci kebetulan saya sedang lakukan studi "mobilitas gelar" di Bali. Silahkan teman2 memberi masukan.
Cheers,
SL
From: Bulantrisna Djelantik <btrisna@gmail. com>Date: Wed, 16 Sep 2009 09:22:01 +0800Subject: Re: [bali-bali] Lungsuran: KASTA!
Dear all, ini sebuah cuplikan sejarah:Sebelum tahun 1908 Karangasem merupakan Wilayah Kerajaan. Raja yang memerintah sampai tahun 1908 adalah I Gusti Gede Jelantik yang membawahi 21 Punggawa. Setelah Belanda menguasai Kerajaan Karangasem, mulai terhitung tanggal 1 Januari 1909, dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tertanggal 28 Desember 1908, Kerajaan Karangasem dihapuskan dan diubah menjadi Gouvernement Lanschap Karangasem dibawah Pimpinan Raja I Gusti Gede Djelantik. Invasi Belanda pada tahun 1908 beberapa Raja memperoleh status sebagai Bupati yang berada dibawah Pemerintahan Kolonial Belanda. Raja Karangasem juga mendapat kekuasaan untuk mengatur Daerah dan Kekayaannya. I Gusti Bagoes Djelantik adalah raja terakhir yang memerintah bali Timur dari tahun 1909 sampai tahun 1945. Beliau dikenal sebagai Raja yang memiliki nilai budaya tinggi. Dengan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda tertanggal 4 September 1928, Raja diberi gelar Stedehouder namanya diganti dengan Ida Anak Agung Anglurah Karangasem, yang kemudian diangkat menjadi Zelf-bestoerder dan dikenal dengan nama Swapraja.
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 69 Tahun 1958, terhitung mulai tanggal 1 Desember 1958, daerah Swapraja diubah menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem. Putra2 AA Anglurah Karangasem semua bergelar Anak Agung sejak lahir termasuk ayah.
Kesimpulan: gelar Anak Agung, Cokorda hanya semacam gelar iming2 dari Belanda supaya para raja mau bekerja sama?? Dan zelf-bestuurder (berarti: memerintah sendiri) berarti bahwa Raja2 Bali menolak berada dibawah kekuasaan secara administratif, tapi berdiri sejajar dengan pemerintahan kolonial saat itu.
Alangkah baiknya jika kita dapat menghilangkan / mengurangi gelar2 yang panjang.. karena banyak kesulitan, belum lagi ditambah "penomeran" putu, gede made dst... Misalnya menulis nama di space formulir tak cukup.. lalu istilah "first name" semua Anak Agung menjadi "Anak:" misalnya di paspor.... Biarlah gelar larut dalam masa lalu.. Ayah saya selalu ingin disebut Made saja oleh semua... tapi orang Bali justru tak merasa nyaman dengan ini...
Semoga ada jalan keluar... , Biang Bulan (dahulu Gungayu Bulan hehehe)2009/9/16 Sugi Lanús <sugilanus@gmail. com>
Dear Panji,
Tambahan, ada peraturan di Denpasar yg melarang pemakaian gelar bagi yg "tak berhak" sehingga catatan sipil pernah rame gara2 ada yg mau "tambah gelar". Di tingkat propinsi juga ada pengaturan yg mengaturan nama gelar.
Jadi soal ini bahkan dlm pemerintahan kini masih diakomodasi, dilegitimasi.
Salam,
SL
From: "Panji Astika" <batigol@dps. centrin.net. id>Date: Tue, 15 Sep 2009 13:34:22 +0800Subject: RE: [bali-bali] Lungsuran: KASTA!
Bli Sugi
Boleh saya menambahkan sedikit…. Dan tolong di koreksi kalau salah
Kalau saya baca2 dari beberapa babad (yang sudah terjemahan ) saya mengambil beberapa kesimpulan
Pada masa penyerangan majapahit ke Bali
Ada beberapa golongan yang terlihat
1. Para arya yang merupakan panglima perang, semuanya bergelar harya atau Sri Arya (Sri menunjukkan keturunan ksatrya Kediri)
2. Prajurit dan rakyat biasa
3. Golongan Bali Aga (apa ini kemudian yang menjadi pasek, saya kurang mengerti)
Kemudian karena majapahit trauma dengan pemberontakan (balas dendam) para ksatrya Kediri terhadap singosari
Raja bali kemudian ditetapkan sendiri oleh Gajah mada, mengambil anak dari gurunya yang merupakan golongan Brahmana
Raja Bali yang di sebut Dalem ini kemudian berketurunan dan memakai gelar I Dewa
Para keturunan arya semuanya memakai gelar I Gusti, kalau daerah kangin I Gusti Agung yang perempuan I Gusti Ayu, daerah Tabanan Badung
I Gusti Ngurah yang perempuan Sagung.
Terakhir saat wuug gumi badung tabanan Para raja masih bergelar I Gusti
Raja Badung yang puputan , I Gusti Made Ngurah Pemecutan, Raja Tabanan yang muput raga di badung bernama I Gusti Ngurah Rai perang (bergelar juga I Gusti Ngurah Agung)
Setelah belanda menjajah dan membuat raja2 boneka, Belanda menganugrahkan gelar:
Anak Agung untuk raja gianyar, bangli dan karangasem
Cokorda untuk raja Badung dan Tabanan, dan Dewa Agung untuk raja klungkung,
Dan hanya yang menjadi raja yang memakai gelar tersebut
Kalau tidak menjadi raja, namanya tetap I Gusti, I Dewa dsb….
Saya kurang tahu juga sejak kapan kemudian nama I Gusti di Badung berubah menjadi Anak Agung, dan yang perempuan menjadi Anak Agung Sagung
Dan juga di Ubud, dan kelungkung dari Idewa menjadi Tjok (Tjokorda) karena setahu saya nama tersebut hanya untuk yang sudah menjadi Raja di Badung dan Tabanan.
Dan anehnya kemudian sepertinya ada anggapan yang samar , kalau kemudian nama2 tersebut punya tingkatan sendiri2
Seperti Tjok lebih tinggi dari Anak Agung, Anak Agung Lebih tinggi dari I Gusti dan seterusnya
Padahal sekarang siapapun boleh menambahkan nama I gusti, Anak Agung, I dewa, (asal tidak dilarang oleh catatan sipil) karena memang tidak ada lembaga resmi yang mengaturnya.
Saya sangat setuju nama2 tersebut sebenarnya hanya nama peninggalan Kolonial, belanda atau Majapahit
Dan menjadi tidak relevan dengan kekinian kalau masih menjadi sebuah patokan yang mutlak
Yang lebih diperhatikan sebenarnya adalah kasta2 baru yang bermunculan
Kasta jabatan dan kasta uang……
Kayanya ini yang paling tinggi kedudukannya saat ini
Coba kalau Pejabat dan keluarganya, pengusaha kaya dan keluarganya, pasti mendapat perlakuan yang istimewa….??? ?
Salam hormat
Panji Astika
From: bali-bali@yahoogrou ps.com [mailto:bali-bali@yahoogrou ps.com] On Behalf Of Sugi Lanús
Sent: Tuesday, September 15, 2009 12:26 PM
To: bali-bali@yahoogrou ps.com
Subject: Re: [bali-bali] Lungsuran: KASTA!
Cok Raka yg baik, dkk
Sensus Belanda di tahun 1920-an membagi kasta manusia Bali. Mereka (Belanda dan rakyat Bali yg dijajah) terjebak bingung, akhirnya mereka menganggap Cokorda yg paling tinggi di kelas satria. Padahal tak ada sejarahnya di Buleleng ada gelar Anak Agung apalagi Cokorda. Kalo ada, itu pasti gelar pemberian Belanda. Panji Tisna yg menjadi Ketua Dewan Raja-raja Bali, nama beliau I Gusti Nyoman Panji Tisna, ayah beliau I Gusti Putu Djelantik. Di Puri Karangasem dan Tabanan juga seperti itu.
Coba tanya biang Bulan, apakah ayah beliau almarhum Dr. Djelantik nama yg tertera di ijazah SR (sekolah rakyat) beliau: AA Made Djelantik atau I Gusti Made Djelantik?
Biasanya orang memanggil sebagai Gung atau Anak Agung, atau Ida Cokorde, untuk penghormatan, sementara nama di ijazah mereka tetap I Gusti Ngurah Putu dll.
Putu, Made, dan Gde dll yg sekarang dikenal sebagai "nama jaba" itu sesungguhnya nama para kesatria Kediri. Ada tersurat pend! ek di sebuah prasasti Jawa Tengah jaman Kediri awal. Coba juga simak desertasi James Danandjaja tentang Trunyan.
Sekarang nama Putu, Gede, Made dll, dianggap nama "pinggiran" oleh lingkar satria dan brahmana. Ini tak lain cara lingkar ini melakukan politik segragasi, ekslusivisme dgn jalan hijrah ke gelar-gelar yg lebih meninggi. Inilah sejarah politik pemisahan elit dan kawula. Ledakan pertumpahan darah thn 1965-1967 tak lepas dari kusut-kumasut politik segragasi dan dendam antar kedua kubu.
Baru setelah jaman Belanda dan awal kemerdekaan, gelar I Gusti hijrah dari menjadi AA. Di Klungkung dan Gianyar semenjak jaman Belanda (campurtangan Belanda) "para AA" menjadi "Tjokorda".
Sebagai contoh nyata yg sangat menarik disampaikan di sini, sebuah keluarga di Buleleng Barat, ada yg sebagian memakai gelar, sebagian tidak, itupun kontruksi kolonial. Keluarga tsb di Buleleng Barat memang "soroh arya", tapi betul2 berijazah I Gusti semenjak jaman Belanda setel! ah salah satu pemuda anggota keluarganya di jaman Belanda meminang seo rang I Gusti Ayu dari jro lain dan tidak diijinkan, lalu menuntut ke Pemerintah Belanda bahwa mereka setara, mereka juga "soroh arya" dgn berbagai bukti-bukti regalia bekas kerajaan, seperti keris2, pusaka2, lontar2 dll. Persidangan itu memenangkan mereka dgn memberi gelar I Gusti kepada pihak yg meminang itu. Jadilah ia bergelar I Gusti dan pernikahan menjadi setara.
Contoh lain terjadi jg dlm keluarga mantan bupati Buleleng Hartawan Mataram, asal Buleleng Timur, yg kembali memakai gelar Gusti mereka utk "sebuah alasan pernikahan". Ini saya dengar dari keluarga di sekitar beliau.
Begitulah kami di Buleleng. Kasta itu tak menjadi penting tanpa kastil (sistem pemerintahan dan kekuasaan nyata).
Kasta lebih menjadi artefak peninggalan kolonial, entah kolonial Belanda, kolonial Majapahit, Kolonial Kediri atau kerajaan Bali Kuna.
Apakah saya makan lungsuran atau tidak dari keluarga lain: TERGANTUNG. Ibu mengajari saya utk tidak meminta makanan, apapun! . Jadi saya tak makan lungsuran dari Ida Bagus atau Sir Williem. Ini bukan lantaran saya terlahir di keluarga Arya. Ibu saya bilang, lungsuran sering tak sehat karena makanan dan sesajinya sering dikerubungi lalat atau kena debu dan hujan. Lungsuran semacam itu sebaiknya tak dimakan oleh manusia dari kasta apapun, kecuali kebal disentri.
Pesan saya utk Cok Raka, jgn terjebak KONTRUKSI WELANDA (penjajah Belanda), jgn terjebak kontruksi sejarah. Coba baca lagi deh buku "BALI ABAD 19" karya Ide AA Gde Agung. Atau buku kasta tulisan pak Kembar Kerempun. Utk soal stratifikasi sosial Bali Pegunungan silahkan baca "The Custodian of Sacred Mountain", by R. Rueter. Atau desertasi Prof Semadi Astra tentang "Birokrasi Bali Kuna abad XII".
Kasta itu kontroksi sejarah. Kalo menenggok ke kasta di India silahkan baca penelitian awal Weber dan penelitian para Weberian. Terakhir berkembang wacana subaltern studies. Ini sebuah refleksi total terhadap kontruksi kasta di India.
Gandhi berpesan utk tak terjebak pada perpecahan kasta. Gandhi m emahami bahwa rakyat India adalah brotherhood in dharma. Yg menindas dan memecah lewat kasta serta mengkontruksi ketimpangan adalah kolonialisme dan berpuncak pada penjajahan Inggris. Merdeka dari keterjajahan adalah isu lebih penting. Kemerdekaan jasmaniah dan rohaniah.
Jaman telah beranjak, dunia telah sedikit demi sedikit beranjak dari jebakan kasta. Hanya yg oon dan dodol yg suka terjebak. Ada yg jauh lebih penting dari klaim kesucian darah (keturunan), yaitu kebersihan pikiran dan kesucian hati.
Om Shanti and salam Lebaran..
Sugi Lanus (gelar saya: Sarjana Sastra Bali. Inipun hampir kena DO kelamaan salah-pergaulan lupa kuliah).
From: "rakabali78" <rakabali78@yahoo. com>
Date: Mon, 14 Sep 2009 13:02:08 -0000
Subject: [bali-bali] Lungsuran... ..
Halo,
Mau nanya, apa bener di bali masih dipraktek-kan "tidak boleh membagi lungsuran" dengan orang dari kasta lebih rendah?: http://www.indonesi amatters. com/4205/ religious- schools/cp- 2/#comment- 166097
Wah, kalau iya, repot dong. Kalau misalnya istri sendiri dari kasta lebih rendah gimana dong, masak gak boleh berbagi lungsuran ama istri? Kalau begitu, mungkin ada benarnya kata tante saya untuk tidak nikah ama orang yang dari kasta lebih rendah..., harus cokorda..., minimal anak agung lah....
*Drooooooll*
*Kabur....*
-Raka-
Raka Angga Jananuraga
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar