Dear b Vieb,
Rumusan swadharma justru rumusan sosiologis, untuk memecahkan persoalan sosial kemasyarakatan.
Kitab Mahabharata mengatakan, "Kalau saja semua manusia melakukan swadharmanya masing-masing dgn baik, masyarakat akan sejahtera." (Maaf saya mengutik Mahabrata krn saya lebih paham buku tua daripada teori managemen terbaru). Dan saya mempercayainya, pemahaman saya pada swadharma adalah sebagai pemecahan sosiologis dan ruhaniah. Bukan jalan sendiri-sendiri, bukan segragasi, tapi semua swadharma bertemu dlm spirit kemanusian dan ruhaniah. Dlm Mahabarata, jika para pejabat tak memegang swadharma, disebutkan, akan timbul ketimpangan sosial. Mahabarata (versi Jawa Kuna yg saya baca) sangat jelas merumuskan swadharma sebagai "rumusan sosiologis dan humanisme". Dstnya.
Soal kemiskinan di Bali, pemerintah Belanda memberi contoh bagus dengan relokasi masyarakat miskin Batur ke wilayah Panca Sari. Jadi Panca Sari (wilayah Bedugul) yg subur itu kampung dan perkebunan buatan Belanda utk masyarakat yang kekeringan di Batur dan termasuk Ban, Debunga, Abang dan daerah limpahan lahar di tebing timur desa Trunyan.. Celakanya setelah merdeka (dan terlebih pemerintah sekarang) tak pernah belajar dari pemerintah Belanda. Yg dilakukan pemerintah "pasca kemerdekaan" malah men-transmigrasikan orang Bali ke luar pulau.. Jadilah orang luar Bali "transmigrasi" ke Bali..
Kalaupun tidak belajar dari Belanda, belajarlah dari Bupati Solok melakukan relokasi utk mengatasi persoalan kemiskinan dan kurangnya akses ke desa2 tertentu yg jarang penduduknya dan jaraknya sangat tak terjangkau. Dan program itu berhasil terutama mengatasi pendidikan anak2. Pasca relokasi anak2 jadi tinggal dekat dgn sekolah, sebelumnya mereka jalan berkilo2 naik turun jurang dan gunung utk sekolah. Jadi bukan sekolah dibangun dg biaya besar di lokasi2 berjurang itu yg jarak penduduknya sangat berjauh2an, yang biasanya guru tak betah di sana, murid berjarak tempuh tetap jauh. Tapi masyarakat di dekat2kan dgn fasilitas pendidikan dan kesehatan serta diberi subsidi dalam kurun waktu tertentu.
Soal kemiskinan di Bali, untuk beberapa lokasi yg sangat sulit, saya berkeyakinan pemecahannya relokasi "gaya kolonial" + relokasi "gaya Solok".
Masih cukup banyak tanah pemda kabupaten dan prov Bali yg bisa jadi daerah relokasi.
B Vieb, dari kecil saya melihat kemiskinan di Bali, termasuk saya harus menangis kehilangan Blonat, Mriyem, dan Kokak (itu nama 3 teman saya di masa kecil) yg "diberangkatkan" pemerintah Soeharto ke Sulawesi. Menurut pemerintah mereka bisa terlepas dari kemiskinan dg jalan transmigrasi! Saya trauma melihat peti kayu (sampai sekaran) yg dipakai mengemas baju2 teman2 saya waktu "diberangkatkan". Teman2 saya histeris tidak mau pergi..
Btw, kebetulan saya liburan di Bali, nanti siang saya ke Utara Bali ke daerah dimana saya yg kehilangan 3 teman masa kecil saya itu.
Persebaran daerah "miskin" di Buleleng Barat ada di Tinga-Tinga atas, Tukad Sumaga atas, Patas atas, Grokgak atas, Sumberkima. Data detail saya bisa kasi kalau ada yg minat.
Silahkan melakukan swadharmanya masing2 terhadap titik2 yg saya sebutkan itu.
Kata dagang obat pinggir jalan yg menggelar sulap di pasar Seririt, "Yang satu ilmu satu guru, mari saling bantu. Yang tak berkepentingan jangan mengganggu." Silahkan saling bantu dlm menyukseskan swadharma kawan2 kita.
Kata orang kampung saya tentang swadharma, "Yen pantes nyumbang nyumbang, yen pantes mapitulung mapitulung, yen pantes ngayah ngayah, yen pantes masekolah masekolah. Gae ne pantes-pantes. Da gati ngae ane sing pantes-pantes."
Yang tak berkepentingan jgn mengganggu.
Terakhir, lanjutan dari ungkapan orang kampung saya tersebut, "Da gati ngadenin dewek paling pantes" (Jangan sekali-kali merasa diri <apa yg kita perbuat> yg paling benar).
Nunas ampura, mungkin ini posting penutup saya sebagai anggota milis ini. Seandainya ada kekeliruan saya selama ini, mohon maaf lahir bathin.
Silahkan hubungi saya via jalur email pribadi kalau ada yg berminat menghubungi saya <ybali@ymail.com>
Mohon masukkannya, saya baru mencoba menghimpun persoalan2 sosial Bali lewat situs:
www.simakrama.net
Om Shanti,
Sugi Lanus
ybali@ymail.com
www.simakrama.net
SUGI yang baik,
Yah, jadi semua kerja sendiri sendiri saja ya.... kasian sekali mereka yang miskin tidak akan pernah bisa keluar dari kemiskinan..
Jvieb
From: bali-bali@yahoogrou
Sent: 20 September 2009 13:17
To: bali-bali@yahoogrou
Cc: Asana Viebeke Lengkong
Subject: Re: [bali-bali] Re:Lagi lagi masalah kasta
Panji yang baik, dkk yg berbahagia..
Sebaiknya biarkan kasta ini jadi diskusi "akademik". Dan kehidupan toh juga tak bisa diselesaikan atau dipukulrata dengan naskah akademik. Banjar dan tatakrama itu kehidupan nyata, setebal apapun desertasi saya atau orang asing yg mengkaji Bali, wilayah pertebatan akademik itu beda. Ide-perdebatan-
Kembali ke urusan diskusi kasta, sebaik apapun sebuah percakapan (sekalipun itu menjadi sebuah Desertasi Doktor) akan menyusup sangat-sangat pelan masuk ke wilayah "infrastruktur". Tapi bukan berarti hal ini tidak penting.
Sama halnya dengan Balai Arkeologi, apakah temuan sebuah sarkopagus atau prasasti di desa Abang akan mempengaruhi nasib desa yang kekurangan air atau gizi? TIDAK. Tapi apakah dengan demikian Balai Arkeologi yg makan biaya harus ditutup? TIDAK.
Kata Chairil Anwar, "Semua dapat tempat." Demikian juga perdebatan kasta dan sejenisnya yg "suprastruktur" yg tidak mengubah nasib buruk anak2 kurang gizi di Karangasem. Ada tempatnya, tinggal porsinya diukur. Tinggal tempatnya di sesuaikan. Desa-Kala-Patra. Kalau diskusi kasta di tengah desa Ban, mungkin tempatnya ngga cocok. Kalau di kampus Sastra, ya monggo.. Namanya juga kampus Sastra, kalau nggak diskusi malah salah.. Kalau kampus Pertanian dan Kedokteran (dept Kesehatan Masyarakat) baiknya membahas pertanian atau gizi. Desa-Kala-Patra. LSM silahkan bikin jalan atau mengumpulkan baju bekas seperti b Viebeke dkk.
Jangan dicampuraduk, semua punya SWADHARMA. Yg swadharma di LSM kesehatan silahkan. Yg LSM hukum silahkan.
Sebagai info: Saya juga pendiri (sempat menjadi direktur) yayasan yg menghitung dan mendampingi IDUs (injecting drug users-pemakai narkoba suntik ) yg kena HIV. Tapi karena milis ini lebih pada diskusi "kangin-kauh", keterlibatan saya dlm milis ini sebagai "pegiatan diskusi budaya" bukan pekerja LSM. Mau info data pengidap HIV di Bali? Silahkan jalur pribadi: sugilanus@gmail.
Mari kita menfokuskan milis ini ke arah persoalan sosial "infrastruktur" kalau mau tidak "kangin-kauh".
Sebagai catatan akhir, apapun kastanya, HIV tidak pandang bulu, mau bulu brahmana+satria+
Kalimat terakhir di atas hanyalah sebuah "fakta", bahwa diskusi atau perbincangan yang "infrastruktur" sulit dicampurbaurkan dgn yang "suprastruktur". Kalau dilihat dari yang persolan infrastruktur kesehatan (sebagai contoh HIV/AIDS) maka diskusi kasta itu tak banyak lagi relevansinya. Kecuali kita temukan kalau hanya sesama cokorde saja yg berbagi jarum saat menyuntik heroin, tapi kenyataannya dalam kasus pemakaian heroin di Bali, mau gelarnya cokorde atau ida bagus, atau apa gelarnya, kalau sakau (kecanduan) tak peduli lagi LUNGSURAN jarum bekas nak jawa, untouchable atau dalit atau klesa atau kasta paling kotor, asal bisa nusukkan heroin, ya sudah. Darah bekas di jarum bromocorah masuk ke tubuh keturunan para satria atau brahmana.
Dalam diskusi penularan HIV/AIDS, topik kasta kurang seksi untuk dibahas. Sekalipun ada, sekali lagi itu hanya jadi "kelakar akademis" belaka. Pencegahan HIV/AIDS di kalangan apa saja relatif sama caranya.
Sekali lagi, jgn campur aduk diskusi "kemiskinan" dengan diskusi "sastra langit ke tujuh". Sebaiknya, mengutip kembali Chairir Anwar, "Semua dapat tempat".
Salam Desa-Kala-Patra, mohon maaf lahir bathin,
Sugi Lanus
From: "Panji Astika" <batigol@dps.
Date: Sat, 19 Sep 2009 12:32:08 +0800
To: <bali-bali@yahoogrou
Subject: RE: [bali-bali] Re:Lagi lagi masalah kasta
Dengan Hormat
Saya sebenarnya agak bingung dengan masalah Kasta ini
Kalau dianggap Kasta ini masih ada rasanya juga tidak
Kalaupun dikatakan tidak, rasanya juga masih ada (buktinya banyak yang terprofokasi he he he)
Kalau Bahasa Bali tidak disukai karena ada tingkatannya, saya kira juga tidak
Jika memang benar, tentu orang yang (dianggap) diluar Triwangsa saja yang akan meninggalkan Bahasa Bali sementara orang yang dianggap kaum Triwangsa ini akan mati-matian mempertahankannya. Tapi kenyataannya khan hampir semua orang mulai melupakan Bahasa Bali.
Bahasa Bali mulai dilupakan ya karena sekarang orang Bali lebih banya berinteraksi secara nasional untuk kehidupan sehari2 nya sehingga cenderung lebih banyak memakai bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.
Saya kira masalah Kasta ini adalah ketakutan yang berlebihan,
Padahal tidak ada hukum yang mengharuskan orang harus berbahasa halus kepada orang lain dan orang lainnya bebahasa kasar pada yang lainnya.
Saya kira ini hanyalah masalah kebiasaan yang lambat laun akan berubah sesuai dengan perubahan waktu.
Kalau di kampung saya, oleh sebagian orang saya masih dipanggil Ratu, (bahkan Pedanda pun juga masih memanggil saya dengan kata tsb)
Kalau di kantor saya dipanggil Pak, oleh teman2 saya saya dipanggil Panji, John, Mate, Brother, Dude…….
Saya tidak pernah merasa aneh, semuanya karena kebiasaan.
(saya berani bertaruh kalau Putu Wijaya pulang ke Puri Anom, trus ada yang memanggil “ PUTU, engken khabare pidan teka? “he he he beliau pasti merasa janggal, tapi kalau di Jakarta mungkin hal yang biasa)
Saya saat ini masih memanggil Pedanda dengan Ratu Peranda, mungkin anak saya nanti hanya memanggil Peranda saja atau cucu saya nanti
Memmanggil Nda aja , who knows…. Kalau itu yang lumrah pada jamannya.
Saya hanya khawatir, masalah Kasta, Upacara yang berlebihan,kasepeka
Mulai menyadari bahwa cara hidup mereka, adat istiadat mereka, agama mereka sudah tidak relevant dengan perkembangan jaman.
Dan mulai mengacu pada cara pandang daerah lain yang hanya diambil sepenggal2 yang baik2 saja kelihatannya.
Terlepas dari masalah2 yang dibahas tadi
Saya masih menikmati hidup sebagai orang Bali, yang harus susah payah mengatur waktu antara kerja dan upacara adat & agama.
Yang masih suka berbahasa halus kepada siapa saja yang baru saya kenal
Bagi saya (yang bodoh ini)
Selama turis saat ini masih datang berduyun duyun ke Bali
Saya beranggapan falsafat hidup orang Bali saat ini masih sangat relevant dan disukai oleh dunia Internasional.
Biarkanlah orang Bali berevolusi secara alami
Dari jaman Dynasti majapahit, melalui jaman keemasan Islam Nusantara, Jaman Penjajahan belanda dan jepang, dan sampai saat ini, saya percaya (mudah-mudahan tidak salah), falsafat hidup orang Bali masih bijak menyikapi segala macam perubahan
Salam Hormat
Panji Astika
From: bali-bali@yahoogrou
Sent: Saturday, September 19, 2009 7:28 AM
To: bali-bali@yahoogrou
Subject: Re: [bali-bali] Re: Lungsuran...
Cok yang baik,
Bukan laku. Realitasnya ada. Cuma orang mendiamkannya. Implikasi buruknya sebenarnya bukan soal lungsuran Cok, tapi bahasa Bali tak laku. Orang Bali tak meminati bahasa Bali krn bahasa ini bertingkat dan yg mendapat untung "triwangsa".
Kenapa demikian? Seorang pernah mengerutu di depan saya, "Bagaimana saya harus berbahasa singgih dgn anak kecil (dari triwangsa), sementara dia yg masih kecil seenaknya menjawab dgn bahasa lumrah kepada saya yg sdh tua?".
Di Sunda tingkatan bahasa sorsinggih basa sesuai senioritas, bukan latar belakang gelar, maka Sunda menjadi bahasa yg sangat populer di kampung halamannya. Bahasa Bali? Sor singgih berdasar gelar atau latar belakang "setting kolonial".
Ini sebuah contoh cerita dari kampung saya. Seorang Ida Bagus, seorang guru SD asal non-Buleleng ditempatkan di wilayah Seririt, kebetulan penghobby catur. Ketika mulai dekat dg guru2 lain, dia mengajak teman2nya main catur. Guru2 asal Buleleng kalo m! ain catur biasa saling "amah" (makan). Makan Ida Bagus ini terkaget ketika guru lain menganjurkan dia "ngamah". Temannya menganjurkan, "Gus amah gen kudane!" "Amah mentrine! Amah pione!" Dstnya.
Paman saya yg satu sekolah dg dia, berulang2 menceritakan cerita itu. Katanya, "Masak kita menganjurkan 'makan' dlm permainan catur dg kata 'ajeng jarane Gus'?"
Saya meminati isu kasta ini krn semenjak belajar teori Weberian dan subaltern, ternyata ini bukan soal sederhana. Setidaknya dari kaca mata social science sangat menarik. Ini motive saya.
Sorry, pas nulis email ini gempa.. Mlaib malu raga Cok..
Om Shanti,
SL
From: "Don Raka" <rakabali78@yahoo.
Date: Fri, 18 Sep 2009 14:35:50 -0000
To: <bali-bali@yahoogrou
Subject: [bali-bali] Re: Lungsuran...
Hmmm....,
Ternyata topik soal kasta masih cukup laku di bali, terbukti dari thread ini yang "berhasil" dapat 20 responses dalam tempo kurang dalam seminggu. I congratulate myself for being a good propokator..
xixixixi
-Raka-
--- In bali-bali@yahoogrou
>
> Kepala yang mana dulu? Ha ha ha....
>
> Makasi atas inputnya soal kasta :D Suka lucu aja kalau denger masih ada yang jumawa dengan itu....
>
> -Raka-
>
> --- In bali-bali@yahoogrou
> >
> > Sahabatku rakabali78,
> >
> > Lha, kalau sudah jadi istri khan sang istri ikutan naik kastanya.
> > Kalau nggak, masa' pas bergumul di tempat tidur sang istri tidak boleh
> > pegang kepala sang suami? :)
> > --
> > i made cock wirawan
> > ------------
> > http://komputerakti
> >
> > Tulisan anda pada hari Senin 14 September 2009, jam 17:17:17 :
> >
> > r> Wah, kalau iya, repot dong. Kalau misalnya istri sendiri dari
> > r> kasta lebih rendah gimana dong, masak gak boleh berbagi lungsuran
> > r> ama istri? Kalau begitu, mungkin ada benarnya kata tante saya untuk
> > r> tidak nikah ama orang yang dari kasta lebih rendah..., harus
> > r> cokorda..., minimal anak agung lah....
> >
> > Quotes : Stop Korupsi
> >
>
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar