Selasa, 22 September 2009

RE: [bali-bali] Re:Lagi lagi masalah kasta



Yth Bli Sugi dan kawan kawan

 

Saya sangat senang membaca ulasan ulasan di Millis ini

Terutama dari bli Sugi, mbak vieb dan mbak Bulan serta ulasan yang  yang lainnya

Saya merasa kemampuan saya menguraikan sebuah permasalahan masih sangat dangkal

Jadi maafkan kebodohan dan kekurangan tersebut

Saya hanya belajar ikut berbicara, dan membiasakan diri saya untuk belajar menulis dan berbicara agar lebih terstruktur dan terpola.

Terlepas dari keseharian saya sebagai seorang praktisi , saya terbiasa berbahasa teknis yang to the point

karena saya tidak terbiasa menulis dan berbicara,  pernah suatu ketika saya mengalami nervous berat  saat diundang sebagai salah seorang pembicara di Univ Udayana, bersama lima pembicara lainnya yang semuanya akademisi bergelar Doktor dan PhD

Jadi buat saya pribadi Milis ini sangat menginspirasi saya untuk menjadi lebih baik , dan lebih aware terhadap permasalahan-permasalahan

Yang mungkin akan kita hadapi .

 

Saya sangat setuju jika pembicaraan di milis ini dibatasi oleh sebuah frame.

Seperti namanya Bali-Bali, saya sepakat jika masalah yang di bahas ini menyangkut kepentingan Bali yang kita cintai bersama

Setiap orang saya harapkan boleh memberikan sumbangsihnya terhadap setiap issue yang sedang hangat dibicarakan

Walaupun dengan keterbatasan intelegensia dan emosinya….

 

Terus terang keseharian bli Sugi dan mbak vieb yang aktif dalam kegiatan sosial kemanusiaan, mengisnspirasi saya untuk menempuh jalan yang sama

Saat ini saya baru terbatas bergerak di bidang pengelolaan limbah, saya sedang berencana (segera) mendonasikan beberapa karya saya

Untuk para peternak di Tabanan.  Saya juga terlibat beberapa kegiatan kecil dalam pembuatan pelinggih dan candi untuk umat di Pondok asem,  alas purwa, millis ini juga menyadarkan saya bahwa ternyata membuat pelinggih dan upacara saja tidak cukup, jika SDM umat kita di Jawa juga tidak kita tingkatkan, saya masih memikirkan cara membantu anak anak disana di bidang pendidikannya.

 

Saat ini sepertinya kita dipaksa untuk memilih, mau melestarikan kebiasaan Bali yang dahulu atau meninggalkannya agar kita tidak tergerus arus globalisasi ini.  Banyak yang sudah memalingkan mukanya untuk  sibuk dengan keberhasilannya.  Seperti beberapa tokoh Nasional dari Bali, yang bersuara lantang di Jakarta sana,tapi  lupa pulang untuk bertanya dengan Nyama braya, bertegur sapa, berdiskusi memberikan semangat, mengarahkan anak cucunya, apalagi nyakupan lima di merajan.

Banyak juga yang (terpaksa) bergelut dengan adat, istiadat, banjar, majenukan, ngayah di pura, ngayahan gong, bayar iuran,  ngurusi piodalan, tak terdengar bersuara kalah oleh bisingnya turis turis yang berwisata ke Bali.

 

Saya bingung  mau dimana dan bagaimana………..??? ,.

Akhirnya berkat milis ini saya putuskan akan berusaha ngayah  sambil mencoba belajar bersuara walaupun masih terdengar sengau dan parau

 

 

Salam Hormat

 

 

Panji Astika

 

 

 

 

 

From: bali-bali@yahoogroups.com [mailto:bali-bali@yahoogroups.com] On Behalf Of Sugi Lanús
Sent: Sunday, September 20, 2009 1:17 PM
To: bali-bali@yahoogroups.com
Cc: Asana Viebeke Lengkong
Subject: Re: [bali-bali] Re:Lagi lagi masalah kasta

 

 

Panji yang baik, dkk yg berbahagia..

Sebaiknya biarkan kasta ini jadi diskusi "akademik". Dan kehidupan toh juga tak bisa diselesaikan atau dipukulrata dengan naskah akademik. Banjar dan tatakrama itu kehidupan nyata, setebal apapun desertasi saya atau orang asing yg mengkaji Bali, wilayah pertebatan akademik itu beda. Ide-perdebatan-naskah akademik dan sejenisnya ada di wilayah "suprastruktur", sementara sangkep banjar, paum subak, arisan keluarga dan sejenisnya ada di wilayah "infrastruktur". Yang bekerja di tataran masyarakat lebih banyak yg "infrastruktur". Maaf, ini barangkali ungkapan yg tidak sepenuhnya benar, "Jalan aspal lebih berguna dari jnana marga." Itu bagi yg perlu jalan aspal. Buat yg punya jalan aspal, dia perlu "jalan pikiran"...jnana marga. Catur Marga memberi kita peluang sama mencapai hakikat kemanusiaan kita.

Kembali ke urusan diskusi kasta, sebaik apapun sebuah percakapan (sekalipun itu menjadi sebuah Desertasi Doktor) akan menyusup sangat-sangat pelan masuk ke wilayah "infrastruktur". Tapi bukan berarti hal ini tidak penting.

Sama halnya dengan Balai Arkeologi, apakah temuan sebuah sarkopagus atau prasasti di desa Abang akan mempengaruhi nasib desa yang kekurangan air atau gizi? TIDAK. Tapi apakah dengan demikian Balai Arkeologi yg makan biaya harus ditutup? TIDAK.

Kata Chairil Anwar, "Semua dapat tempat." Demikian juga perdebatan kasta dan sejenisnya yg "suprastruktur" yg tidak mengubah nasib buruk anak2 kurang gizi di Karangasem. Ada tempatnya, tinggal porsinya diukur. Tinggal tempatnya di sesuaikan. Desa-Kala-Patra. Kalau diskusi kasta di tengah desa Ban, mungkin tempatnya ngga cocok. Kalau di kampus Sastra, ya monggo.. Namanya juga kampus Sastra, kalau nggak diskusi malah salah.. Kalau kampus Pertanian dan Kedokteran (dept Kesehatan Masyarakat) baiknya membahas pertanian atau gizi. Desa-Kala-Patra. LSM silahkan bikin jalan atau mengumpulkan baju bekas seperti b Viebeke dkk.

Jangan dicampuraduk, semua punya SWADHARMA. Yg swadharma di LSM kesehatan silahkan. Yg LSM hukum silahkan.

Sebagai info: Saya juga pendiri (sempat menjadi direktur) yayasan yg menghitung dan mendampingi IDUs (injecting drug users-pemakai narkoba suntik ) yg kena HIV. Tapi karena milis ini lebih pada diskusi "kangin-kauh", keterlibatan saya dlm milis ini sebagai "pegiatan diskusi budaya" bukan pekerja LSM. Mau info data pengidap HIV di Bali? Silahkan jalur pribadi: sugilanus@gmail.com

Mari kita menfokuskan milis ini ke arah persoalan sosial "infrastruktur" kalau mau tidak "kangin-kauh".

Sebagai catatan akhir, apapun kastanya, HIV tidak pandang bulu, mau bulu brahmana+satria+wesia atau bulu satria piningit, semua dgn resiko yg sama.

Kalimat terakhir di atas hanyalah sebuah "fakta", bahwa diskusi atau perbincangan yang "infrastruktur" sulit dicampurbaurkan dgn yang "suprastruktur". Kalau dilihat dari yang persolan infrastruktur kesehatan (sebagai contoh HIV/AIDS) maka diskusi kasta itu tak banyak lagi relevansinya. Kecuali kita temukan kalau hanya sesama cokorde saja yg berbagi jarum saat menyuntik heroin, tapi kenyataannya dalam kasus pemakaian heroin di Bali, mau gelarnya cokorde atau ida bagus, atau apa gelarnya, kalau sakau (kecanduan) tak peduli lagi LUNGSURAN jarum bekas nak jawa, untouchable atau dalit atau klesa atau kasta paling kotor, asal bisa nusukkan heroin, ya sudah. Darah bekas di jarum bromocorah masuk ke tubuh keturunan para satria atau brahmana.

Dalam diskusi penularan HIV/AIDS, topik kasta kurang seksi untuk dibahas. Sekalipun ada, sekali lagi itu hanya jadi "kelakar akademis" belaka. Pencegahan HIV/AIDS di kalangan apa saja relatif sama caranya.

Sekali lagi, jgn campur aduk diskusi "kemiskinan" dengan diskusi "sastra langit ke tujuh". Sebaiknya, mengutip kembali Chairir Anwar, "Semua dapat tempat".

Salam Desa-Kala-Patra, mohon maaf lahir bathin,
Sugi Lanus


From: "Panji Astika" <batigol@dps.centrin.net.id>

Date: Sat, 19 Sep 2009 12:32:08 +0800

To: <bali-bali@yahoogroups.com>

Subject: RE: [bali-bali] Re:Lagi lagi masalah kasta

 

 

Dengan Hormat

 

Saya sebenarnya agak bingung dengan masalah Kasta ini

Kalau dianggap Kasta ini masih ada rasanya juga tidak

Kalaupun dikatakan tidak, rasanya juga masih ada (buktinya banyak yang terprofokasi he he he)

 

Kalau Bahasa Bali tidak disukai karena ada tingkatannya, saya kira juga tidak

Jika memang benar,  tentu orang yang (dianggap) diluar Triwangsa saja yang akan meninggalkan Bahasa Bali sementara orang yang dianggap kaum Triwangsa ini akan mati-matian mempertahankannya. Tapi kenyataannya khan hampir semua orang mulai melupakan Bahasa Bali.

Bahasa Bali mulai dilupakan ya karena sekarang orang Bali lebih banya berinteraksi secara nasional untuk kehidupan sehari2 nya sehingga cenderung lebih banyak memakai bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.

 

Saya kira masalah Kasta  ini adalah ketakutan yang berlebihan,

Padahal tidak ada hukum yang mengharuskan orang harus berbahasa halus kepada orang lain dan orang lainnya bebahasa kasar pada yang lainnya.

Saya kira ini hanyalah masalah kebiasaan yang lambat laun akan berubah sesuai dengan perubahan waktu.

Kalau di kampung saya, oleh sebagian orang saya masih dipanggil Ratu, (bahkan Pedanda pun juga masih memanggil saya dengan kata tsb)

Kalau di kantor saya dipanggil Pak, oleh teman2 saya saya dipanggil Panji, John, Mate, Brother, Dude…….

Saya tidak pernah merasa aneh, semuanya karena kebiasaan.

(saya berani bertaruh kalau Putu Wijaya pulang ke Puri Anom, trus ada yang memanggil “ PUTU, engken khabare pidan teka? “he he he beliau pasti merasa janggal, tapi kalau di Jakarta mungkin hal yang biasa)

Saya saat ini masih memanggil Pedanda dengan Ratu Peranda, mungkin anak saya nanti hanya memanggil Peranda saja atau cucu saya nanti

Memmanggil Nda aja , who knows…. Kalau itu yang lumrah pada jamannya.

 

Saya hanya khawatir, masalah Kasta, Upacara yang berlebihan,kasepekang … hanyalah provokasi agar orang2 Bali

Mulai menyadari bahwa cara hidup mereka, adat istiadat mereka, agama mereka sudah tidak relevant dengan perkembangan jaman.

Dan mulai mengacu pada cara pandang daerah lain yang hanya diambil sepenggal2 yang baik2 saja kelihatannya.

 

Terlepas dari masalah2 yang dibahas tadi

Saya masih menikmati hidup sebagai orang Bali, yang harus susah payah mengatur waktu antara kerja dan upacara adat & agama.

Yang masih suka berbahasa halus kepada siapa saja yang baru saya kenal

Bagi saya (yang bodoh ini)

Selama turis saat ini masih datang berduyun duyun ke Bali

Saya beranggapan falsafat hidup orang Bali saat ini masih sangat relevant dan disukai oleh dunia Internasional.

 

Biarkanlah orang Bali berevolusi secara alami

Dari jaman Dynasti majapahit, melalui jaman keemasan Islam Nusantara, Jaman Penjajahan belanda dan jepang, dan sampai saat ini, saya percaya (mudah-mudahan tidak salah), falsafat hidup orang Bali masih bijak menyikapi segala macam perubahan

 

 

Salam Hormat

 

 

Panji Astika

 

 

 

 

 

 

From: bali-bali@yahoogroups.com [mailto:bali-bali@yahoogroups.com] On Behalf Of Sugi Lanús
Sent: Saturday, September 19, 2009 7:28 AM
To: bali-bali@yahoogroups.com
Subject: Re: [bali-bali] Re: Lungsuran.....

 

 

Cok yang baik,

Bukan laku. Realitasnya ada. Cuma orang mendiamkannya. Implikasi buruknya sebenarnya bukan soal lungsuran Cok, tapi bahasa Bali tak laku. Orang Bali tak meminati bahasa Bali krn bahasa ini bertingkat dan yg mendapat untung "triwangsa".

Kenapa demikian? Seorang pernah mengerutu di depan saya, "Bagaimana saya harus berbahasa singgih dgn anak kecil (dari triwangsa), sementara dia yg masih kecil seenaknya menjawab dgn bahasa lumrah kepada saya yg sdh tua?".

Di Sunda tingkatan bahasa sorsinggih basa sesuai senioritas, bukan latar belakang gelar, maka Sunda menjadi bahasa yg sangat populer di kampung halamannya. Bahasa Bali? Sor singgih berdasar gelar atau latar belakang "setting kolonial".

Ini sebuah contoh cerita dari kampung saya. Seorang Ida Bagus, seorang guru SD asal non-Buleleng ditempatkan di wilayah Seririt, kebetulan penghobby catur. Ketika mulai dekat dg guru2 lain, dia mengajak teman2nya main catur. Guru2 asal Buleleng kalo m! ain catur biasa saling "amah" (makan). Makan Ida Bagus ini terkaget ketika guru lain menganjurkan dia "ngamah". Temannya menganjurkan, "Gus amah gen kudane!" "Amah mentrine! Amah pione!" Dstnya.

Paman saya yg satu sekolah dg dia, berulang2 menceritakan cerita itu. Katanya, "Masak kita menganjurkan 'makan' dlm permainan catur dg kata 'ajeng jarane Gus'?"

Saya meminati isu kasta ini krn semenjak belajar teori Weberian dan subaltern, ternyata ini bukan soal sederhana. Setidaknya dari kaca mata social science sangat menarik. Ini motive saya.

Sorry, pas nulis email ini gempa.. Mlaib malu raga Cok..

Om Shanti,
SL


From: "Don Raka" <rakabali78@yahoo.com>

Date: Fri, 18 Sep 2009 14:35:50 -0000

To: <bali-bali@yahoogroups.com>

Subject: [bali-bali] Re: Lungsuran.....

 

 

Hmmm....,

Ternyata topik soal kasta masih cukup laku di bali, terbukti dari thread ini yang "berhasil" dapat 20 responses dalam tempo kurang dalam seminggu. I congratulate myself for being a good propokator....

xixixixi

-Raka-

--- In bali-bali@yahoogroups.com, "rakabali78" <rakabali78@...> wrote:
>
> Kepala yang mana dulu? Ha ha ha....
>
> Makasi atas inputnya soal kasta :D Suka lucu aja kalau denger masih ada yang jumawa dengan itu....
>
> -Raka-
>
> --- In bali-bali@yahoogroups.com, imcw <imcw06@> wrote:
> >
> > Sahabatku rakabali78,
> >
> > Lha, kalau sudah jadi istri khan sang istri ikutan naik kastanya.
> > Kalau nggak, masa' pas bergumul di tempat tidur sang istri tidak boleh
> > pegang kepala sang suami? :)
> > --
> > i made cock wirawan
> > --------------------------------------
> > http://komputeraktif.wordpress.com
> >
> > Tulisan anda pada hari Senin 14 September 2009, jam 17:17:17 :
> >
> > r> Wah, kalau iya, repot dong. Kalau misalnya istri sendiri dari
> > r> kasta lebih rendah gimana dong, masak gak boleh berbagi lungsuran
> > r> ama istri? Kalau begitu, mungkin ada benarnya kata tante saya untuk
> > r> tidak nikah ama orang yang dari kasta lebih rendah..., harus
> > r> cokorda..., minimal anak agung lah....
> >
> > Quotes : Stop Korupsi
> >
>



__._,_.___


Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Tidak ada komentar: