Sebagai orang yang terlahir di daerah yang jauh dari kemeriahan Denpasar dan sekitarnya (Buleleng kangin asal saya)kami terbiasa memakai bahasa Bali dengan melihat sor singgih berbahasa (bukan sor singgih kasta)
Begitu juga anak-anak kami,walaupun sekarang mereka tinggal di Denpasar. Kami membiasakan untuk melihat desa kala patra, jika mereka dengan temannya mereka menyampurkan 3 bahasa semacam Inggris, Indonesia dan Mandarin karena mereka mempelajarinya di sekolah.
Dengan neneknya, pastinya mereka memakai bahasa Bali menengah dan dengan kami orang tua pasti memakai bahasa bali dan Indonesia (apalagi jika ada teman-temannya karena akan sangat akward jika memakai bahasa Bali terus menerus saat mereka lagi ngumpuld engan teamns ekolahnya yang kebetulan tidak satupun ada orang bali nya)
Begitu juga saat saya menelpon anak saya yang kebetulan melanjutkan SMA nya di Germany, saya berusaha untuk memakai bahasa Inggris dan sedikit Jerman buat practising.
Kenapa sekarang banyak keluarga muda (yang lair tahun 70-an) memakai bahasa Indonesia di lingkungan keluarga terdekatnya? saya rasa hanya masalah "kebiasaan" saja. Dan juga saat saya mengikuti pelajaran sastra Bali saat di bangku SD dan SMP (hingga SMA kelas 2) terus terang tidak progressive. Ketika saya memakai bahasa Bali di Bondalem maka itulah basa Bali yang saya kenal, saat saya pindah ke Denpasar dan Singaraja ada slightly perbedaan akan kosa kata.
Anaka saya yang notabene memakai bahasa bali dari asala kami, terkadang kagok dengan bahasa bali daerah Bali Selatan pada umumnya. Buats aya sah saja, hanya saat test, ketika guru bahasa daerah mereka lebih "kukuh"dengan bahasa daerah yang dia kenal maka bahasa Bali anak kami menjadi "salah" karena tidak terbiasa di pakai di daerah Denpasar. Contoh" penggunaan kacang goreng" di desa kami di kenal dengan istilah "krutuk" tetapi tidak atau jarang di pakai di daerah Bali Selatan.
Begitu juga diri saya saat saya di pergaulan luar rumah saya akan "mengikuti" bahasa apapun yang saya bisa. Mau Melayu (dialek) karena kebetulan pernah did aerah Melayu atau Bahasa Bali silahkan.
Terkadang kita takut atau "ketakutan" akan sesuatu yang semestinya "berkembang".
Sorry kesannya saya mengguri, bukan ini hanyalah pengalaman saya saja yang tentu saja berbeda dengan pengalama para semeton di milis ini.
Kemiskinan di Bali? mmmmmmmm apa iya? mungkin ada tetapi buat saya lebih kemiskinan cara pandang saja. Kemiskinan akan tekhnologi dan akibatnya.
pernah saya membuka suatu tempat untuk pendidikan non formal di kampung saya, dan hanya bertahan 2 tahun karena apa? tidak adanya support dari lingkungan untuk pengembangannya. menyumbang buku ke bale banjar, komputer dan pelatihan bahasa inggris dan seni tari "free of charge" tetapi yang ada malah mereka lebih sibuk untuk menghitung berapa "duit" yang kami punya untuk memugar Bale banjar, pura dan lain sebagainya. (sementara saya membayar pajak secara resmi)
Kemiskinan akan berubah jika kita mau berubah. siapakah kita? ya saya dan mungkin juga seluruh warga Bali. lebih berempati, lebih open minded akan perubahan jaman.
Jika bale banjar sibnk memungut "sumbangan sukarela dengan membagi kupon salah satu waralaba di indonesia" apa iya itu di sebut dana punia? hasilnya yang nyata ke lingkungan apa? atau jika saat hari raya tertentu, penuda dan pemnudi banjar sibuk mengedarkan kotak dana punia dan bukan hanya sekali tetapi sering? dan parahnya malah membeli minuman keras untuk di pakai di Banjar? saya rasa out of context dari arti kebersamaan tersebut. Jika saya tidak menyumbang karena masalah prinsip maka saya akan "kesepekang" Salah satu alasan kenapa saya lebih menyukai krematorium.
Saya support akan segala sesuatu yang bertujuan untuk kemajuan pendidikan dan cara pengembangan wawasan dan cara pandang warga Bali dan juga orang-orang yang tinggal di Bali. Mungkin teman-teman ada yang lebih mengerti caranya bagaimana.
Salam dari negeri yang tidak jelas Sudan
Wijaya
--- In bali-bali@yahoogroups.com, "Sales" <smlph@...> wrote:
>
>
> Bli Sugi....
>
> Jangan ngambul nae......
> Tulisan2x bli sugi mengenai Bali dan kawan2xnya sangat berguna bgt bagi kita2x yg belum paham ttg hal itu.
> Jadi sangat disayangkan kalo bli keluar dari milis ini... nanti kita malah sing nawang ape....
> Saya juga setuju dgn pendapat Bli yg mengatakan : Bahasa Bali itu ada tingkatannya, sy sempat tanya sama teman2x knp mereka justru ngajarin anaknya berbahasa Indonesia drpd Bahasa Bali itu sendiri, ya jawabannya seperti itu.
> Padahal temen2x se- geng itu dulu waktu kuliahan di luar Bali sangat Bangga berbahasa Bali di setiap percakapan kita, pokoke WE ARE PROUD TO BE BALINESE.
> Bahkan temen2x pd ade yg buat stiker: Dioalas De Nganti Paid Bangkung.... mungkin msh ada yg ingat. It was about 19 years ago.
> Pokoke lagi kita gak mau kalah ama Arek2x Suroboyo or Orang Bandung , yg begitu bangga berbahasa daerahnya... Dimana saja dan kapan saja (sdh kyk iklan), mereka tetep berbahasa daerahnya, even di luar negeripun kalo ketemu temannya mereka pake bahasa daerah mereka...weh.... bener2x salut dah. Di bali Post sempet di bahas mengenai Bahasa Bali yg diramalkan akan punah... miris bgt ya.
> Tapi ketika kita kembali ke Bali and menjalani kehidupannya.... kok jadi beda ya??? Saya juga gak ngerti.
> Trus... persoalan sosial Bali: sangat kompleks ya Bli...terutama adat istiadatnya, kenapa ya kita orang Bali justru saklek sekali sama nyame braye pedidi. (Maaf Kalo Saya Salah...)
> Kasus kesekepang, manak salah, pembongakaran kuburan.... kenapa masih terjadi di jaman yang serba nuklir ini. Saya jadi sedih melihat nyame Bali di TV, yg keluarganya mengalami hal2x spt ini. Semoga ini dapat dicarikan Win- win solution yg bs memberikan rasa nyaman dan aman untuk menjadi nak Bali.
> Tidak seperti sekretaris saya, yg wong jawa masuk Bali. Setiap rainan tiba mengeluh: Bu... saya bangun telat, sakit, etc... krn mebanten sampe ke pangkung2x sana. Wayoh... sebegitu hebohnya, pdhl notabene dia tinggal di pusat kota Denpasar. And dia nanya ke saya: apakah tidak bisa disimple kan ya Bu??? Kok tetangga saya tidak spt saya, terus terang saya gak bs lsg menjawabnya( Paang Sing Pelih). Trus dia nanya juga: Saya skg ke pura harus pakaian serba putih Bu... kok kalo di Jawa tidak spt itu ya???( Lagi2x sy tercenung dgn komentarnya). Dia membandingkan tetangganya yg beragama Hindu di Jawa dgn kenyataan di Bali yg skg dihadapinya.
> Nah... mungkin dgn Milis ini persoalan2x ini bs di diskusikan agar Bali tetap Jaya...... Semoga...
>
> Bravo Baliku......
>
> Cheers,
>
> Maitri Damayanti
>
>
> ----- Original Message -----
> From: Sugi Lanús
> To: bali-bali@yahoogroups.com
> Sent: Monday, September 21, 2009 3:14 AM
> Subject: [bali-bali] SWADHARMA + KEMISKINAN BALI (keluar milis)
>
>
> Dear b Vieb,
>
> Rumusan swadharma justru rumusan sosiologis, untuk memecahkan persoalan sosial kemasyarakatan.
>
> Kitab Mahabharata mengatakan, "Kalau saja semua manusia melakukan swadharmanya masing-masing dgn baik, masyarakat akan sejahtera." (Maaf saya mengutik Mahabrata krn saya lebih paham buku tua daripada teori managemen terbaru). Dan saya mempercayainya, pemahaman saya pada swadharma adalah sebagai pemecahan sosiologis dan ruhaniah. Bukan jalan sendiri-sendiri, bukan segragasi, tapi semua swadharma bertemu dlm spirit kemanusian dan ruhaniah. Dlm Mahabarata, jika para pejabat tak memegang swadharma, disebutkan, akan timbul ketimpangan sosial. Mahabarata (versi Jawa Kuna yg saya baca) sangat jelas merumuskan swadharma sebagai "rumusan sosiologis dan humanisme". Dstnya.
>
> Soal kemiskinan di Bali, pemerintah Belanda memberi contoh bagus dengan relokasi masyarakat miskin Batur ke wilayah Panca Sari. Jadi Panca Sari (wilayah Bedugul) yg subur itu kampung dan perkebunan buatan Belanda utk masyarakat yang kekeringan di Batur dan termasuk Ban, Debunga, Abang dan daerah limpahan lahar di tebing timur desa Trunyan.. Celakanya setelah merdeka (dan terlebih pemerintah sekarang) tak pernah belajar dari pemerintah Belanda. Yg dilakukan pemerintah "pasca kemerdekaan" malah men-transmigrasikan orang Bali ke luar pulau.. Jadilah orang luar Bali "transmigrasi" ke Bali..
>
> Kalaupun tidak belajar dari Belanda, belajarlah dari Bupati Solok melakukan relokasi utk mengatasi persoalan kemiskinan dan kurangnya akses ke desa2 tertentu yg jarang penduduknya dan jaraknya sangat tak terjangkau. Dan program itu berhasil terutama mengatasi pendidikan anak2. Pasca relokasi anak2 jadi tinggal dekat dgn sekolah, sebelumnya mereka jalan berkilo2 naik turun jurang dan gunung utk sekolah. Jadi bukan sekolah dibangun dg biaya besar di lokasi2 berjurang itu yg jarak penduduknya sangat berjauh2an, yang biasanya guru tak betah di sana, murid berjarak tempuh tetap jauh. Tapi masyarakat di dekat2kan dgn fasilitas pendidikan dan kesehatan serta diberi subsidi dalam kurun waktu tertentu.
>
> Soal kemiskinan di Bali, untuk beberapa lokasi yg sangat sulit, saya berkeyakinan pemecahannya relokasi "gaya kolonial" + relokasi "gaya Solok".
>
> Masih cukup banyak tanah pemda kabupaten dan prov Bali yg bisa jadi daerah relokasi.
>
> B Vieb, dari kecil saya melihat kemiskinan di Bali, termasuk saya harus menangis kehilangan Blonat, Mriyem, dan Kokak (itu nama 3 teman saya di masa kecil) yg "diberangkatkan" pemerintah Soeharto ke Sulawesi. Menurut pemerintah mereka bisa terlepas dari kemiskinan dg jalan transmigrasi! Saya trauma melihat peti kayu (sampai sekaran) yg dipakai mengemas baju2 teman2 saya waktu "diberangkatkan". Teman2 saya histeris tidak mau pergi..
>
> Btw, kebetulan saya liburan di Bali, nanti siang saya ke Utara Bali ke daerah dimana saya yg kehilangan 3 teman masa kecil saya itu.
>
> Persebaran daerah "miskin" di Buleleng Barat ada di Tinga-Tinga atas, Tukad Sumaga atas, Patas atas, Grokgak atas, Sumberkima. Data detail saya bisa kasi kalau ada yg minat.
>
> Silahkan melakukan swadharmanya masing2 terhadap titik2 yg saya sebutkan itu.
>
> Kata dagang obat pinggir jalan yg menggelar sulap di pasar Seririt, "Yang satu ilmu satu guru, mari saling bantu. Yang tak berkepentingan jangan mengganggu." Silahkan saling bantu dlm menyukseskan swadharma kawan2 kita.
>
> Kata orang kampung saya tentang swadharma, "Yen pantes nyumbang nyumbang, yen pantes mapitulung mapitulung, yen pantes ngayah ngayah, yen pantes masekolah masekolah. Gae ne pantes-pantes. Da gati ngae ane sing pantes-pantes."
>
> Yang tak berkepentingan jgn mengganggu.
>
> Terakhir, lanjutan dari ungkapan orang kampung saya tersebut, "Da gati ngadenin dewek paling pantes" (Jangan sekali-kali merasa diri <apa yg kita perbuat> yg paling benar).
>
> Nunas ampura, mungkin ini posting penutup saya sebagai anggota milis ini. Seandainya ada kekeliruan saya selama ini, mohon maaf lahir bathin.
>
> Silahkan hubungi saya via jalur email pribadi kalau ada yg berminat menghubungi saya <ybali@...>
>
> Mohon masukkannya, saya baru mencoba menghimpun persoalan2 sosial Bali lewat situs:
> www.simakrama.net
>
> Om Shanti,
> Sugi Lanus
> ybali@...
> www.simakrama.net
>
>
>
>
>
>
> ------------------------------------------------------------------------------
>
> From: "Asana Viebeke Lengkong" <asanasw@...>
> Date: Sun, 20 Sep 2009 22:59:56 +0800
> To: <bali-bali@yahoogroups.com>
> Subject: RE: [bali-bali] Re:Lagi lagi masalah kasta
>
>
>
>
> SUGI yang baik,
>
>
>
> Yah, jadi semua kerja sendiri sendiri saja ya.... kasian sekali mereka yang miskin tidak akan pernah bisa keluar dari kemiskinan... dengan pemahaman SWADHARMA....
>
>
>
>
>
>
>
> Jvieb
>
>
>
> From: bali-bali@yahoogroups.com [mailto:bali-bali@yahoogroups.com] On Behalf Of Sugi Lanús
> Sent: 20 September 2009 13:17
> To: bali-bali@yahoogroups.com
> Cc: Asana Viebeke Lengkong
> Subject: Re: [bali-bali] Re:Lagi lagi masalah kasta
>
>
>
>
>
> Panji yang baik, dkk yg berbahagia..
>
> Sebaiknya biarkan kasta ini jadi diskusi "akademik". Dan kehidupan toh juga tak bisa diselesaikan atau dipukulrata dengan naskah akademik. Banjar dan tatakrama itu kehidupan nyata, setebal apapun desertasi saya atau orang asing yg mengkaji Bali, wilayah pertebatan akademik itu beda. Ide-perdebatan-naskah akademik dan sejenisnya ada di wilayah "suprastruktur", sementara sangkep banjar, paum subak, arisan keluarga dan sejenisnya ada di wilayah "infrastruktur". Yang bekerja di tataran masyarakat lebih banyak yg "infrastruktur". Maaf, ini barangkali ungkapan yg tidak sepenuhnya benar, "Jalan aspal lebih berguna dari jnana marga." Itu bagi yg perlu jalan aspal. Buat yg punya jalan aspal, dia perlu "jalan pikiran"...jnana marga. Catur Marga memberi kita peluang sama mencapai hakikat kemanusiaan kita.
>
> Kembali ke urusan diskusi kasta, sebaik apapun sebuah percakapan (sekalipun itu menjadi sebuah Desertasi Doktor) akan menyusup sangat-sangat pelan masuk ke wilayah "infrastruktur". Tapi bukan berarti hal ini tidak penting.
>
> Sama halnya dengan Balai Arkeologi, apakah temuan sebuah sarkopagus atau prasasti di desa Abang akan mempengaruhi nasib desa yang kekurangan air atau gizi? TIDAK. Tapi apakah dengan demikian Balai Arkeologi yg makan biaya harus ditutup? TIDAK.
>
> Kata Chairil Anwar, "Semua dapat tempat." Demikian juga perdebatan kasta dan sejenisnya yg "suprastruktur" yg tidak mengubah nasib buruk anak2 kurang gizi di Karangasem. Ada tempatnya, tinggal porsinya diukur. Tinggal tempatnya di sesuaikan. Desa-Kala-Patra. Kalau diskusi kasta di tengah desa Ban, mungkin tempatnya ngga cocok. Kalau di kampus Sastra, ya monggo.. Namanya juga kampus Sastra, kalau nggak diskusi malah salah.. Kalau kampus Pertanian dan Kedokteran (dept Kesehatan Masyarakat) baiknya membahas pertanian atau gizi. Desa-Kala-Patra. LSM silahkan bikin jalan atau mengumpulkan baju bekas seperti b Viebeke dkk.
>
> Jangan dicampuraduk, semua punya SWADHARMA. Yg swadharma di LSM kesehatan silahkan. Yg LSM hukum silahkan.
>
> Sebagai info: Saya juga pendiri (sempat menjadi direktur) yayasan yg menghitung dan mendampingi IDUs (injecting drug users-pemakai narkoba suntik ) yg kena HIV. Tapi karena milis ini lebih pada diskusi "kangin-kauh", keterlibatan saya dlm milis ini sebagai "pegiatan diskusi budaya" bukan pekerja LSM. Mau info data pengidap HIV di Bali? Silahkan jalur pribadi: sugilanus@...
>
> Mari kita menfokuskan milis ini ke arah persoalan sosial "infrastruktur" kalau mau tidak "kangin-kauh".
>
> Sebagai catatan akhir, apapun kastanya, HIV tidak pandang bulu, mau bulu brahmana+satria+wesia atau bulu satria piningit, semua dgn resiko yg sama.
>
> Kalimat terakhir di atas hanyalah sebuah "fakta", bahwa diskusi atau perbincangan yang "infrastruktur" sulit dicampurbaurkan dgn yang "suprastruktur". Kalau dilihat dari yang persolan infrastruktur kesehatan (sebagai contoh HIV/AIDS) maka diskusi kasta itu tak banyak lagi relevansinya. Kecuali kita temukan kalau hanya sesama cokorde saja yg berbagi jarum saat menyuntik heroin, tapi kenyataannya dalam kasus pemakaian heroin di Bali, mau gelarnya cokorde atau ida bagus, atau apa gelarnya, kalau sakau (kecanduan) tak peduli lagi LUNGSURAN jarum bekas nak jawa, untouchable atau dalit atau klesa atau kasta paling kotor, asal bisa nusukkan heroin, ya sudah. Darah bekas di jarum bromocorah masuk ke tubuh keturunan para satria atau brahmana.
>
> Dalam diskusi penularan HIV/AIDS, topik kasta kurang seksi untuk dibahas. Sekalipun ada, sekali lagi itu hanya jadi "kelakar akademis" belaka. Pencegahan HIV/AIDS di kalangan apa saja relatif sama caranya.
>
> Sekali lagi, jgn campur aduk diskusi "kemiskinan" dengan diskusi "sastra langit ke tujuh". Sebaiknya, mengutip kembali Chairir Anwar, "Semua dapat tempat".
>
> Salam Desa-Kala-Patra, mohon maaf lahir bathin,
> Sugi Lanus
>
>
> ------------------------------------------------------------------------------
>
> From: "Panji Astika" <batigol@...>
>
> Date: Sat, 19 Sep 2009 12:32:08 +0800
>
> To: <bali-bali@yahoogroups.com>
>
> Subject: RE: [bali-bali] Re:Lagi lagi masalah kasta
>
>
>
>
>
> Dengan Hormat
>
>
>
> Saya sebenarnya agak bingung dengan masalah Kasta ini
>
> Kalau dianggap Kasta ini masih ada rasanya juga tidak
>
> Kalaupun dikatakan tidak, rasanya juga masih ada (buktinya banyak yang terprofokasi he he he)
>
>
>
> Kalau Bahasa Bali tidak disukai karena ada tingkatannya, saya kira juga tidak
>
> Jika memang benar, tentu orang yang (dianggap) diluar Triwangsa saja yang akan meninggalkan Bahasa Bali sementara orang yang dianggap kaum Triwangsa ini akan mati-matian mempertahankannya. Tapi kenyataannya khan hampir semua orang mulai melupakan Bahasa Bali.
>
> Bahasa Bali mulai dilupakan ya karena sekarang orang Bali lebih banya berinteraksi secara nasional untuk kehidupan sehari2 nya sehingga cenderung lebih banyak memakai bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.
>
>
>
> Saya kira masalah Kasta ini adalah ketakutan yang berlebihan,
>
> Padahal tidak ada hukum yang mengharuskan orang harus berbahasa halus kepada orang lain dan orang lainnya bebahasa kasar pada yang lainnya.
>
> Saya kira ini hanyalah masalah kebiasaan yang lambat laun akan berubah sesuai dengan perubahan waktu.
>
> Kalau di kampung saya, oleh sebagian orang saya masih dipanggil Ratu, (bahkan Pedanda pun juga masih memanggil saya dengan kata tsb)
>
> Kalau di kantor saya dipanggil Pak, oleh teman2 saya saya dipanggil Panji, John, Mate, Brother, Dude…….
>
> Saya tidak pernah merasa aneh, semuanya karena kebiasaan.
>
> (saya berani bertaruh kalau Putu Wijaya pulang ke Puri Anom, trus ada yang memanggil " PUTU, engken khabare pidan teka? "he he he beliau pasti merasa janggal, tapi kalau di Jakarta mungkin hal yang biasa)
>
> Saya saat ini masih memanggil Pedanda dengan Ratu Peranda, mungkin anak saya nanti hanya memanggil Peranda saja atau cucu saya nanti
>
> Memmanggil Nda aja , who knows…. Kalau itu yang lumrah pada jamannya.
>
>
>
> Saya hanya khawatir, masalah Kasta, Upacara yang berlebihan,kasepekang … hanyalah provokasi agar orang2 Bali
>
> Mulai menyadari bahwa cara hidup mereka, adat istiadat mereka, agama mereka sudah tidak relevant dengan perkembangan jaman.
>
> Dan mulai mengacu pada cara pandang daerah lain yang hanya diambil sepenggal2 yang baik2 saja kelihatannya.
>
>
>
> Terlepas dari masalah2 yang dibahas tadi
>
> Saya masih menikmati hidup sebagai orang Bali, yang harus susah payah mengatur waktu antara kerja dan upacara adat & agama.
>
> Yang masih suka berbahasa halus kepada siapa saja yang baru saya kenal
>
> Bagi saya (yang bodoh ini)
>
> Selama turis saat ini masih datang berduyun duyun ke Bali
>
> Saya beranggapan falsafat hidup orang Bali saat ini masih sangat relevant dan disukai oleh dunia Internasional.
>
>
>
> Biarkanlah orang Bali berevolusi secara alami
>
> Dari jaman Dynasti majapahit, melalui jaman keemasan Islam Nusantara, Jaman Penjajahan belanda dan jepang, dan sampai saat ini, saya percaya (mudah-mudahan tidak salah), falsafat hidup orang Bali masih bijak menyikapi segala macam perubahan
>
>
>
>
>
> Salam Hormat
>
>
>
>
>
> Panji Astika
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> From: bali-bali@yahoogroups.com [mailto:bali-bali@yahoogroups.com] On Behalf Of Sugi Lanús
> Sent: Saturday, September 19, 2009 7:28 AM
> To: bali-bali@yahoogroups.com
> Subject: Re: [bali-bali] Re: Lungsuran.....
>
>
>
>
>
> Cok yang baik,
>
> Bukan laku. Realitasnya ada. Cuma orang mendiamkannya. Implikasi buruknya sebenarnya bukan soal lungsuran Cok, tapi bahasa Bali tak laku. Orang Bali tak meminati bahasa Bali krn bahasa ini bertingkat dan yg mendapat untung "triwangsa".
>
> Kenapa demikian? Seorang pernah mengerutu di depan saya, "Bagaimana saya harus berbahasa singgih dgn anak kecil (dari triwangsa), sementara dia yg masih kecil seenaknya menjawab dgn bahasa lumrah kepada saya yg sdh tua?".
>
> Di Sunda tingkatan bahasa sorsinggih basa sesuai senioritas, bukan latar belakang gelar, maka Sunda menjadi bahasa yg sangat populer di kampung halamannya. Bahasa Bali? Sor singgih berdasar gelar atau latar belakang "setting kolonial".
>
> Ini sebuah contoh cerita dari kampung saya. Seorang Ida Bagus, seorang guru SD asal non-Buleleng ditempatkan di wilayah Seririt, kebetulan penghobby catur. Ketika mulai dekat dg guru2 lain, dia mengajak teman2nya main catur. Guru2 asal Buleleng kalo m! ain catur biasa saling "amah" (makan). Makan Ida Bagus ini terkaget ketika guru lain menganjurkan dia "ngamah". Temannya menganjurkan, "Gus amah gen kudane!" "Amah mentrine! Amah pione!" Dstnya.
>
> Paman saya yg satu sekolah dg dia, berulang2 menceritakan cerita itu. Katanya, "Masak kita menganjurkan 'makan' dlm permainan catur dg kata 'ajeng jarane Gus'?"
>
> Saya meminati isu kasta ini krn semenjak belajar teori Weberian dan subaltern, ternyata ini bukan soal sederhana. Setidaknya dari kaca mata social science sangat menarik. Ini motive saya.
>
> Sorry, pas nulis email ini gempa.. Mlaib malu raga Cok..
>
> Om Shanti,
> SL
>
>
> ------------------------------------------------------------------------------
>
> From: "Don Raka" <rakabali78@...>
>
> Date: Fri, 18 Sep 2009 14:35:50 -0000
>
> To: <bali-bali@yahoogroups.com>
>
> Subject: [bali-bali] Re: Lungsuran.....
>
>
>
>
>
> Hmmm....,
>
> Ternyata topik soal kasta masih cukup laku di bali, terbukti dari thread ini yang "berhasil" dapat 20 responses dalam tempo kurang dalam seminggu. I congratulate myself for being a good propokator....
>
> xixixixi
>
> -Raka-
>
> --- In bali-bali@yahoogroups.com, "rakabali78" <rakabali78@> wrote:
> >
> > Kepala yang mana dulu? Ha ha ha....
> >
> > Makasi atas inputnya soal kasta :D Suka lucu aja kalau denger masih ada yang jumawa dengan itu....
> >
> > -Raka-
> >
> > --- In bali-bali@yahoogroups.com, imcw <imcw06@> wrote:
> > >
> > > Sahabatku rakabali78,
> > >
> > > Lha, kalau sudah jadi istri khan sang istri ikutan naik kastanya.
> > > Kalau nggak, masa' pas bergumul di tempat tidur sang istri tidak boleh
> > > pegang kepala sang suami? :)
> > > --
> > > i made cock wirawan
> > > --------------------------------------
> > > http://komputeraktif.wordpress.com
> > >
> > > Tulisan anda pada hari Senin 14 September 2009, jam 17:17:17 :
> > >
> > > r> Wah, kalau iya, repot dong. Kalau misalnya istri sendiri dari
> > > r> kasta lebih rendah gimana dong, masak gak boleh berbagi lungsuran
> > > r> ama istri? Kalau begitu, mungkin ada benarnya kata tante saya untuk
> > > r> tidak nikah ama orang yang dari kasta lebih rendah..., harus
> > > r> cokorda..., minimal anak agung lah....
> > >
> > > Quotes : Stop Korupsi
> > >
> >
>
------------------------------------
Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
mailto:bali-bali-digest@yahoogroups.com
mailto:bali-bali-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
bali-bali-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar