Di Bali dulu nama anak sering menurut apa saja yang terjadi pas lahir: I Kenyem, I Stormking, I Kantor, I Bandolan... malah nama Ayah ngikutin nama anak pertama laki2..: Pan Belig.. pan Pegeg dsb..
Sekarang aduh biyung nama bahasa sanskrit campur nama modern panjang2 amaat.. sampai sulit nulis di kartu pasienku.. Saya salut dengan Sugi dan Pt Wijaya.. pendek, tegas, praktis..
Kebiasaan di Indonesia, juga sangat beda dengan luar negeri, suka memajang kesarjanaannya... SpTHT, SpOG, SSt, SKar, ST dsb dsb... yang kitapun kadang2 tak ngerti itu apa... Kalau tak ditulis maka kita tak sopan katanya.. Yang lucu, ini juga digunakan pada saat acara internasional, jadilah membingungkan bagi semua.
Menurut cerita ibuku, pada jaman Napoleon menjajah Belanda, dibuatlah aturan semua harus mempunyai nama keluarga / family name.. maka orang2 Belanda sebagai protes membuat nama fam yang seenaknya saja.. maka ada nama seperti van den Broek (celana), de Haan (ayam jago), de Boer (petani), termasuk keluarga kakekku Zwart (hitam), bahkan ada juga keluarga Pannekoek, hehe... . Hal yang sama di negara lainnya di eropa..
Di Batak (Hutagalung, Siregar dll), Padang (Bahar dll), Sulawesi Utara (al Lengkong, Wulur...dll , Jawa (Joyo..., Hadi..., Kusumo...) dan banyak daerah lain, sudah beberapa generasi memakai nama famnya.. Di Bali juga ada beberapa keluarga: Bagoes Oka, Agung, Bagoes Oka, Djelantik, Panji Tisna..
Menurutku, memakai nama keluarga itu tidak apalah meniru Barat.. yang baik patut ditiru, karena memang praktis, menunjukkan pedigree asal usul keluarga yang patrilinear.. egaliter, dan singkat.. Bisakah di Bali kita menganjurkan nama tanpa embel 2 kasta didepannya dan tanpa embel2 kesarjanaan dibelakangnya untuk sehari-hari.. lalu nama selengkap-lengkapnya untuk upacara adat dan formal saja??
Sedang merenung, Biyang Bulan
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar