Laporan wartawan KOMPAS Lukas Adi Prasetya
YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Pengasuh Ponpes Rudlotul Fatihah, Bantul, KH Muhammad Fuad Riyadi (38), gerah melihat semangat Islam disampaikan hanya secara sepotong-potong oleh para juru dakwah Islam. "Juru dakwah banyak yang bodoh. Saya tantang mereka memahami Islam," kata Kyai Fuad.
Ia melihat bahwa yang disampaikan juru dakwah di masjid, di televisi, dan di mana saja sudah melenceng dari semangat Islam, agama yang seharusnya memberi kesejukan, ketentraman, kedamaian bagi siapa saja, tak hanya umat Islam, tetapi semua orang non-muslim, termasuk mereka yang ateis sekalipun.
Dengan kata lain, jika apa yang dikatakan juru dakwah membuat umat nonmuslim waswas, merasa terancam, dan tak nyaman, maka itu sudah cukup memberikan gambaran bahwa dakwah yang dilontarkan juru dakwah sudah tak lagi Islami. Ini fenomena yang menurut dia sudah mulai muncul sejak tahun 1970-an, dan mulai kencang.
Ia banyak memberi kritik tentang kebiasaan dan perilaku umat Muslim. Misalnya memakai pengeras suara sekeras mungkin sehingga umat non-muslim dan muslim pun sama-sama terganggu, juga rangkaian acara puasa yang kemeriahannya berlebihan.
"Juru dakwah, dai-dai itu, maaf, baru memegang satu ayat, tapi ngomong-nya sejuta ayat. Tak heran, sekarang bermunculan radikalisme, seperti aksi sweeping, fundamentalisme, dan hal tak mengenakkan yang mengatasnamakan agama. Peraturan daerah pun digiring menjadi bernuansa Islam," paparnya.
Lihat saja, menurutnya, sekarang banyak yang secara eksplisit dan implisit menyuarakan perlunya Indonesia menjadi negara Islam. "Enggak hanya orang nonmuslim yang ketar-ketir dan cemas. Saya juga takut. Apa Islam di Indonesia seperti itu? Islam adalah agama yang menyuarakan kerinduan pada Allah, bukan agama yang bikin orang lain takut, apalagi menyemai benih permusuhan," katanya.
"Perlu dicatat, saya hapal 'Malam Kudus', lagu rohani umat Katolik saat Natal . Liriknya bagus. Lagunya bagus. Saya suka Natal , gereja. Saya suka semangat Natal , damai di bumi damai di hati. Saya berani katakan, lagu 'Malam Kudus' itu lagu Islami," ujar kyai muda ini.
Tentang Puasa, mestinya umat Islam merefleksikan hal itu seperti umat Hindu merayakan Nyepi. "Mestinya Puasa itu ya nuansanya seperti saat Nyepi. Kita merenung, berdiam, bukan malam ramai," katanya.
Pengotakan agama mesti dihapus. "Saya justru gembira jika saat zikir bersama, ada teman-teman nonmuslim yang ikut datang. Ikut nggabung. Sering mereka datang ke ponpes saya. Seorang Katolik yang pernah datang pas zikir bilang ke saya, kok dia merasa tenang dan nyaman. Tentu ia masih Katolik. Ketika dia pun merasa damai, tenang, itulah juga sejatinya esensi zikir," ucap dia.
Kyai ini merasa perlu minta maaf kepada semua umat nonmuslim yang pernah tersinggung dengan perlakuan umat Muslim dan perkataan/perbuatan para juru dakwah. "Saya mohon maaf karena mereka melakukan itu. Mohon dimaklumi," kata Kyai Fuad.
Kyai ini menggelar lukisan bertema "Aura Dsikir" di Bentara Budaya Yogyakarta . Acara berlangsung dari Sabtu (12/9) hingga Kamis (17/9). Proses pembuatan lukisan dilakukan dengan berzikir terlebih dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar