Rabu, 16 September 2009

[bali-bali] Gelar dan Gelur



Salam perkenalan kembali.
 
Sebenarnya saya menjadi anggota milis ini sudah lumayan lama, dan mempunyai folder khusus di GMAIL saya biar gampang membacanya, Jarang atau mungkin tidak pernah saya mengikuti acara "debat elektronik" ini karena terus terang saya lebih "nyaman" menjadi pembaca saja dan merenungkan inti wacana jika perlu!
 
Ketertarikan saya untuk ikut nimbrung setelah tajuk yang sangat unik dan menurut saya phenomenal adalah mengenai "wangsa" atau apapunlah namanya sekarang. Mengenai gelar "kebangsawanan" yang saya rasa mulai lagi "mengulik" rasa sentimentil warga Bali.
 
Sebagai seseorang yang lahir di Buleleng Timur, Bondalem adalah asal saya (jika ada yang belum mengenal Bondalem mungkin boleh di ingatkan akan jaman keemasan jeruk Tejakula) Di saat saya masih menuntut ilmu di daerah kelahiran saya, lingkungan memanggil nama saya dengan "Ngurah" karena memang bagian dari nama saya yang kata teman saya panjangnya seperti kereta api. Dan saat itu kami masih belum berfikir mengenai "Gusti, AA, Tjok, Dewa" atau apalah. Yang ada hanyalah sebagai istilah semata.
 
Saat saya mulai memasuki SMA 1987-an, tiba-tiba saja di desa saya yang sebelumnya "adem-ayem" mengenai "gelar kebangsawanan" tiba-tiba menjadi Hot topic! semua orang yang saya kenal tiba-tiba saja berubah gelar. Dan akward sekali rasanya. Apalagi ada beberapa cerita-cerita lucu nan memalukan juga saat heboh gelar tersebut. Dulu saya memanggil dengan hormat seseorang dengan sebutan "Guru Made"(istilah kami terhadap orang yang di tuakan tetapi masih lebih muda secara umur dari pada orang tua) sekarang saya harus memanggil "Aji Made" karena jika tidak maka tidak akan di gubris.
 
Kikuk sekali rasanya, apalagi kalau di tempat umum. Kemudian saat saya menikah dan mempunyai anak perempuan; rasanya para relatives mulai mengira-ngira apakah nama anaks aya akan menjadi I Gusti Ayu. Kecele! saya hanya memakai Ayu dan nama tambahan nenek dan kakek serta nama belakang saya(yang saya jadikan first name di nama official paperwork saya) Itu pun istilah Ayu karena dia perempuan saja tidak lebih (saya dulu penggemar Ayu Azhari:-))
 
Juga saat saya memiliki anak terakhir laki-laki, saya hanya memakai NGURAH karena memang mengikuti nama saya. Padahal saat itu di luaran seakan-akan ada pertikaian akan penyantuman gelar di ijasah meraka (sampai harus mengganti ijasah dari SD sampai terakhir)
 
Phenomena ini membuat saya malah menarik diri dari lingkungan" serba baru" tersebut! sebenarnya mungkin tidak segawat itu, cuman saya hanya belum bisa menyesuaikan dengan hal-hal yang dulunya ada "sama" kemudian dengan gelar tambahan tersebut ada rasa tidak nyaman karena ketakutan saya jika saya address seseorang secara salah akan membuat seseorang tersebut merasa terhina.
 
Untungnya di keluarga terdekat saya (ibu dan saudara) kami terbiasa dengan saling menghormati dengan memakai bahasa Bali halus. Bukan karena "sok bangsawan" tetapi terlebih adalah ungkapan rasa hormat saja! Begitu juga dengan seseorang yang bukan keluarga terlepas dari apa "kasta" mereka kami selalu memakai bahasa yang sepantasnya (jadi bukan bahasa Bali Halus yang membabi buta). Contoh; di rumah kami memanggil orang tua perempuan dengan Mek(atau Meme), saat ada orang berkunjung ke rumah, dan kebetulan saya yang membuka pintu maka orang yang ebrkunjung akan menyapa dan bertanya"Ngurah, wenten biange nggih?" saya sendiri akan menjawab dengan, "Memek wenten nike, antosang jebos"
 
Anyway, mungkin ini agak ngelantur karena jauh sekali dengan tajuk yang lagi "hot" di bali-bali! Cuman mungkin karena phenomena ini saya ketertarikan saya untuk membagi apa yang saya tahu di Bondalem bisa menjadi intermezzo.
 
Salam dari Negeri Sudan
 
Wijaya
 


__._,_.___


Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Tidak ada komentar: