SIAPKAH????
Jawabnya mungkin BELUM KALI YA...
Kepedulian masalah ini belum ‘terbentuk’ dan proses ‘sosialisasi’ biasanya tidak ada dana jadi siapa yang akan melakukan?
Contohnya banyak:
- Aturan sederhana dari banjar adalah semua warga kalau mau bangun rumah sepakat mundur 1 meter untuk telajakan (ditanemin pohon juga bagus); Disekitar rumah saya ada bangunan yang tembok rumah depannya tinggi 3 – 4 meter persis di batas tanah setelah saluran got. Bangunan tersebut villa milik orang luar, tapi tentu pakai nama orang Bali. Jadi ketika Klian Banjar saya tegur kenapa kok di ijinkan tembok itu di bangun tanpa ada 1 meter telajakan? Jawab Klian: ‘aduh bu, aluhan ngomong aja’ anak jawa atau ana bule; sukeh ngomong aja nyama baline; ajake rage mekerah; orahine ngotot gen; sing nyak melu aturan; aluhan ngomong ajak anak jawa atau anak bule, nyak iye melu aturan rage, bah keweh be bu’
- Masih di sekitar rumah saya..... Kliannya yang membangun rompok kone di atas carikne ‘jalur hijau’; ‘nyen nawang ade anak kar nyewa, rage kar bangun buin di sampingne’; suatu hari rame ada satpol pp disana; tapi tetap rompok tersebut berdiri dengan kokohnya menunggu untuk disewa.... lah kalau Klian saja tidak peduli bagaimana mau menegakkan aturan?
Mau mulai dari mana? Saya berpendapat harus mulai dari Desa dan Banjar, kan ada aturan bahwa Desa berperan dalam pembangunan di lingkungannya? Sosialisasi di fasilitasi, gampang sekali ngumpul di banjar kan; klian, kades, lurah, camat... gampang sebenarnya kalau MAU...
Tapi untuk masyarakat juga harus jelas apa manfaatnya... kalau nggak... ya.. pocol saja
vieb
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar