DENPASAR, KOMPAS.com - Masyarakat pedesaan maupun perkotaan di Pulau Dewata masih sulit hidup bersama orang dengan HIV/AIDS (ODHA) hidup di sekitar mereka, termasuk menerima jenazahnya. Kuatnya penolakan di masyarakat karena mereka masih khawatir dengan penularan penyakit yang dianggap mematikan tersebut dan minim informasi.
Karenanya, kalang an tokoh agama di Pulau Dewata sepakat untuk membantu menghilangkan diskriminasi terhadap ODHA tersebut di masyarakat luas. Bantuan tersebut akan direalisasikan dengan membentuk tim relawan dari kalangan rohaniawan untukmenjadi pendamping tim relawan dari beberapa lembaga swadaya masyarakat yang sudah aktif ke masyarakat.
"Kami prihatin dengan pola pikir masyarakat yang masih sempit mengenai HIV/AIDS. Bahkan, beberapa ODHA yang meninggal di rumah sakit tidak diterima baik keluarga maupun masyarakat rumah tinggalnya untuk di makamkan. Ini sangat diskriminatif dan kejam," kata Wakil Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Raka Santeri.
Menurutnya, penolakan terhadap jenazah pun dalam ajaran agama Hindu tidak diperkenankan karena dianggap tidak menghormati yang meninggal. Karenanya, ia akan mengajak secara kelembagaan pemuka agama Hindu untuk bersama memberi pengertian masyarakat mengenai HIV/AIDS yang benar.
Hal senada juga diungkapkan perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali, Raichan Muchlis. Ia setuju tidak boleh adanya diskriminasi terhadap pengidap maupun yang meninggal karena HIV/AIDS ini. "Makanya penting untuk melakukan gerakan bersama untuk meyakinkan masyarakat penularan HIV/AIDS itu tidak secara langsung. Bahkan orang yang telah meninggal pun tidak akan menulari yang masih hidup," tegasnya.
Sejak Januari hingga Juli tahun ini, sekitar enam jenazah ODHA yang meninggal di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah tidak diterima di keluarganya maupun desa adat tempat korban tinggal. Penolakan ini menyulitkan pihak rumah sakit dan aktivis LSM yang menangani.
Roy Noldy, aktivis ODHA, menyesalkan keputusan warga desa adat yang menolak pasien meninggal tersebut. Bahkan, ia tidak menyangka pihak keluarga juga ikut tidak menerima kedatangan jenazah.
Pada Februari lalu, seorang jenazah ODHA terpaksa dikremasi di Krematorium Mumbul karena keluarga dan desa adatnya tidak bersedia mendoakan dan melakukan upacara ngaben untuk korban. Keluarga membayar petugas krematorium untuk mengurus jenazah dengan biaya sekitar Rp 12 juta. "Kami benar-benar tidak habis pikir sehingga berharap para pemuka agama di seluruh Bali bisa membantu penyebaran informasi yang benar," ujar Noldy.
Jumlah pengidap HIV di Bali dari 1987 sampai bulan Mei 2009 tercatat 2.829 orang dan sebagian besar berada diusia 20 tahun hingga 39 tahun. Sepanjang tahun 2008 kematian akibat HIV ini berjumlah 255 orang.
start: 0000-00-00 end: 0000-00-00
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar