Minggu, 01 Maret 2009

[bali-bali] NKRI, Islamisme, dan Fenomena PKS

"Ada Kolam, ada Ikan
Aku Islam, bukan Taliban.
Ada Ulam, ada Ubi
Aku Islam, bukan Wahhabi
Ada Angsa makannya Urab
Kita Indonesia bukannya Arab."

(Fatwa Majlis al-Fesbuqiyah)
***

Menjelang momen Pemilihan Umum, sebuah pesta demokrasi lima tahunan yang segera digelar, nampaknya iklan-iklan politik kian membanjiri media-media massa kita. Pelbagai partai seakan berlomba menampilkan visi dan misi mereka sedemikian sempurna dan serba ideal. Klaim-klaim memikat serta janji-janji manis yang menghibur itu, terus terang masih menerbitkan tanda tanya besar dalam diri saya, apakah itu semua sesuai dengan realitas yang sebenarnya?

Iklan politik yang menarik perhatian saya diantaranya adalah yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebuah partai besar Islam yang selama ini ditengarai berada di lingkaran utama kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disamping PD dan beberapa partai besar berbasis Islam lainnya.

Dalam beriklan, PKS terlihat begitu apik mengemas gagasannya melalui plesetan bergaya pop, sebut saja Partai Kita Semua, Partai Kalem dan Santun, Palestina Kita Sayangi dan seterusnya seraya menampilkan orang-orang yang beragam, dari yang berjilbab hingga pria funky dengan tataan rambut bercat.

Barangkali pencitraan keberagaman yang ditampilkan tersebut adalah dalam kerangka mewujudkan visi dan misi PKS sebagai "Partai Dakwah Penegak Keadilan dan Kesejahteraan dalam Bingkai Persatuan Ummat dan Bangsa". Partai ini biasa dikategorikan sebagai kelompok "moderat" (Collins, 2004; ICG, 2005), dalam pengertian menerima demokrasi dan bekerja dalam kerangka konstitusional dan non-kekerasan demi memperoleh simpati masyarakat.

Dalam sebuah kesempatan di Hotel Inna Grand Bali Beach tahun lalu, Presiden PKS Tifatul Sembiring juga menandaskan,"Sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang, partai politik tidak boleh membatasi diri pada ras, suku dan agama. Karena itu dari non-muslim tetap akan diakomodir." Menurut dia, kader non-muslim itu tidak hanya bisa menjadi pengurus partai. Namun, lanjut dia, juga bisa dijadikan sebagai caleg, meskipun non-muslim.

Saya merenungkan kata-kata Presiden PKS tersebut kemudian ditemalikan dengan tuturan pengalaman seorang teman bernama Arbania Fitriani di media ini beberapa waktu lalu. Rupanya saya menemukan adanya kejanggalan dan ketidakselarasan antara idealisme partai tersebut dengan pengalaman teman tadi. Arbania Fitriani dalam kesaksiannya mengaku seorang "Ex PKS Cadre" dengan amat berani membeberkan secara gamblang seputar "bau busuk" partai yang cukup lama ditinggalkannya itu dengan pelbagai alasan yang diyakininya tepat.

Dari tulisannya berjudul "Benarkah PKS Pro Rakyat Indonesia?", di sini saya kutipkan poin-poin yang dianggap penting. Arbania menegaskan: (1) Agenda utama PKS adalah menghancurkan budaya Indonesia melalui invasi budaya Arab Saudi. (2) PKS ini sebagai perpanjangan tangan dari Kerajaan Saudi tujuan utamanya adalah agar kekuasaan Arab bisa mencapai Indonesia (yang kaya sumber daya alam itu) mengingat satu-satunya sumber devisa Arab adalah minyak yang diperkirakan akan habis pada tahun 2050 dan melalui jamaah haji. (3) Mereka (para kader PKS) menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan agar dapat lebih memudahkan agendanya. Sentimen keagamaan terus dipakai untuk meraih simpati masyarakat.

Dalam tulisan ini, saya tidak dalam kapasitas untuk menghakimi tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Sudah semestinya, hak jawab diberikan kepada PKS untuk mengklarifikasi "penemuan" Arbania tersebut. Sudah sepantasnya pula, suara lirih Arbania diberikan ruang yang luas untuk mengungkap kebenaran lain. Saya pribadi sebagai warga negara yang tidak rela negara ini bubar, mengajak kepada seluruh anak bangsa agar sungguh-sungguh melihat persoalan ini dengan serius namun tetap dengan hati yang tenang dan pikiran yang jernih.

Sebagaimana diingatkan Guillarmo O'Donnel (1993), bahwa transisi menuju demokrasi tidak selalu berlangsung mulus. Pendapat O'Donnel menemukan relevansinya dengan situasi politik saat ini di negeri kita. Saya mengkhawatirkan partai-partai terutama yang berbasis agama tertentu akan memanfaatkan momentum demokrasi untuk mendesakkan agenda formalisasi syariat yang nyata-nyata bertentangan dengan falsafah negara dan konstitusi. Ini namanya pembajakan demokrasi. Membajak demokrasi lewat pemilu.

Seperti kita ketahui, pemilu adalah mekanisme yang sah untuk meraih kekuasaan dan legitimasi. Bagi para pembajak ini, demokrasi identik dengan kekuasaan itu sendiri. Saya teringat fenomena IM (Ikhwanul Muslimin) dan Hamas di Mesir yang belum dipercaya sebagian rakyat, bahwa mereka akan setia pada demokrasi. IM dan Hamas diyakini akan menjadikan demokrasi sebagai alat untuk meraih kekuasaan belaka, lantas mendesakkan agenda-agenda bias agama. Bagi partai-partai berbasis agama ini, demokrasi sekedar sarana memuluskan mimpinya menuju pemerintahan Allah-krasi.

Di Iran, peran ulama yang meraih kekuasaan dan malah melanggengkan hegemoni konservatisme barangkali layak dijadikan pelajaran. Tahun 1979, tatkala mereka melakukan revolusi Islam, sesungguhnya pemerintahan baru yang lebih demokratis dan memihak rakyat amatlah diidam-idamkan rakyat. Namun dengan pelembagaan ulama dalam wilayat al-faqih yang bertindak sebagai otoritas utama pemerintah, rakyat harus menelan rasa kecewa, karena yang terjadi tak sesuai harapan.

Dengan semena-mena para ulama memecat orang yang sebetulnya didukung rakyat tapi dianggap merintangi aspirasi mereka. Sebagai contoh bentuk-bentuk hegemoni itu bisa diungkap disini, diantaranya kasus pencoretan calon anggota legislatif dari kalangan reformis, pengusiran Bani Sadr, pengucilan kekuasaan Mohamad Khatami, serta pelarangan protes mahasiswa dan pengebirian kebebasan pers. Kembali, momentum demokrasi bagi mereka hanyalah jalan meraih kekuasaan untuk pemuasan ambisi pribadi dan kelompoknya.

Ditarik lagi ke belakang, sistem khilafah yang pernah diuji coba dalam pemerintahan Dawlah Umawiyah dan Dawlah Abbasiyah justru hanya melahirkan sejarah kelabu yang menyengsarakan rakyat. Atas nama syariat, tindakan represif berupa mihnah (inkuisisi) pun dijalankan.

Mark Woodward (2001) dan Peter G Riddel (2002) misalnya, dalam mengelompokkan respon Islam atas perubahan pasca Orde Baru sepakat menyebut jenis Islam konservatif sebagai Islamisme atau Islamis. Gerakan ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme, tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad dan penerapan Syariat Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagai musuh Islam yang tentunya berdasarkan definisi mereka sendiri.

Definisi lain tentang Islamisme adalah sebentuk keyakinan yang memposisikan Islam sebagai sistem kehidupan yang total dan integral dalam seluruh aras kehidupan, termasuk politik, sebagai subordinasi dari agama (Roy, 1993; Kramer, 1997; Monshipuri, 1998). Dalam konteks ini, maka "specificity" Islam ---meminjam istilah Gellner (1981)---dipahami sebagai cetak-biru dari sebuah tertib sosial. Dus, konsep al-diin wa al-daulah dan dakwah adalah password kaum Islamis untuk masuk ke dalam pelbagai aktivitas politik.

Di masa lalu, kaum Islamis bersekte Wahhabi acapkali memakai cara-cara kasar dan kekerasan. Karenanya, ketika tiga tokoh utama Wahhabi Indonesia, yakni Haji Miskin dari Luhak Agam, Haji Piobang dari Luhak Lima Puluh Kota dan Haji Sumanik dari Luhak Tanah Datar, menyebarkan doktrin Wahhabi di tempat kelahiran mereka, Minangkabau, akhirnya justru meletupkan perang Padri karena mendapatkan perlawanan dari kaum Adat yang memegang teguh tradisi mereka. Perilaku Wahhabi tersebut jelas mengingkari sabda Nabi Saw, "Inni bu'itstu bi hanfiyatil samhah" (Saya diutus dengan membawa agama yang cenderung toleran). Karena itu, perilaku yang mengarah kepada kekerasan, terorisme, kedzaliman, keangkuhan, diskriminasi, intoleransi selalu dianggap sebagai "contradicto in terminis" dengan agama.

Sejarah kelam tersebut tidak perlu terulang lagi di negeri ini. Berkali-kali para kiai NU (Nahdlatul Ulama) menegaskan bahwa Indonesia dengan Pancasila dan NKRI-nya merupakan keputusan final. Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) beberapa waktu silam juga menyatakan bahwa NKRI sudah final. Bagi NU, Pancasila bukanlah ideologi transisi yang terpaksa diterima karena keadaan politik belum memungkinkan untuk menegakkan ideologi definitif, ideologi Islam misalnya. Sudah ada konsensus di kalangan NU, bahwa ideologi Pancasila bagi negara Indonesia adalah qath'i.

K.H. Hasyim Muzadi (2007), menyebut dewasa ini gerakan transnasional semacam Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda sebagai bagian dari international political movement (gerakan politik dunia) yang tak memiliki akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan itu ditengarai sedang merongrong keutuhan negara ini. Menurut Hasyim, organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sebagai ideologi politik dan bukan sebagai jalan hidup.

Agak senada dengan pandangan NU, pada suatu kesempatan Presiden SBY menegaskan kembali adanya empat pilar yang harus dipertahankan di negara ini, yakni Pancasila, UUD l945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Namun pernyataan di atas nyaris kehilangan maknanya, ketika presiden membuka Rakernas MUI belakangan ini, ia menyatakan akan mengikuti fatwa-fatwa MUI, termasuk dalam hal pemberantasan aliran sesat. Hal ini sebenarnya sangat ironis karena panduan kerja seorang presiden adalah konstitusi dan undang-undang, bukan fatwa MUI. Pernyataan presiden tersebut mengindikasikan betapa ia memilih cara pragmatis dalam menghadapi kaum Islamis.

Ahmad Suaedy (2008) mengemukakan pemerintahan SBY sekarang ini diduga kuat memiliki pemahaman yang sejalan dengan Islamis. Imbuhnya lagi, SBY tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam dan gerakan Islam. Sehingga apapun yang menguntungkannya akan diambil, bahkan dalam hak yang prinsipil sekalipun seperti hak untuk beragama dan berkeyakinan. Jika tidak ada keberanian untuk mengubah orientasi pemerintahan sekarang atas gerakan Islamis, lanjut Suaedy, mereka akan segera masuk lebih dalam ke dalam keseluruhan badan negara dan pemerintahan ini.

Saya bisa membayangkan, jika ada kaum Islamis hendak mengubah Pancasila dengan ideologi Islam dan merontokkan NKRI lantas menyulapnya menjadi dawlah islamiyah atau khilafah islamiyah, maka mereka harus bertumbukkan dengan para kiai NU dan mesti berhadap-hadapan dengan ormas keagamaan terbesar itu. Benturan ini mungkin saja tak terelakkan.

Belasan tahun silam, seperti dituturkan Abd Moqsith Ghazali (2007), dalam suatu pertemuan di Auditorium PP Salafiyah Syafiiyah Asembagus Situbondo, dengan suara lantang dan bergetar membaca Al-Qur'an surah Thaha ayat 17-21, Kiai As'ad (kini telah Almarhum) mengumpamakan NU sebagai "Tongkat Musa" yang siap melawan pihak-pihak yang merongrong keutuhan NKRI.

Keinginan sekelompok kaum Islamis, baik yang mengaku atau memungkiri bersekte Wahhabisme untuk mengubah ideologi negara, konstitusi dan meruntuhkan NKRI dengan membajak demokrasi, menurut saya adalah orang-orang yang enggan berterima kasih, tidak bersyukur.

Kaum Islamis "berwajah ganda" itu telah mengkhianati bangsa ini. Adalah sikap yang menggelikan, di satu sisi mereka jumawa mengecam demokrasi sebagai sistem kafir, namun di saat yang sama menikmati pula fasilitas demokrasi tanpa memberi sumbangsih apapun. Mentalitas hipokrit semacam ini terkena tamparan hadis yang beken, "man lam yasykur al-nas lam yasykur al-Lah", barangsiapa tak mensyukuri manusia (yang telah berbuat baik pada dia), maka dia sama saja tak mensyukuri Tuhan.

Simak saja. Kendati motif makar kaum Islamis begitu jelas, di negara yang demokratis ini toh mereka dibiarkan bebas. Suatu reaksi yang tak pernah mereka dapatkan di negara-negara lain yang konon "islami" itu. Di Arab Saudi yang berpaham Wahhabi, hukuman yang pantas untuk pembuat makar tak lain kecuali dipancung kepalanya di lapangan terbuka. Mereka tidak berterima kasih malah membombardir NKRI yang telah memberikan udara kebebasan seperti itu.

Hemat saya, partai-partai Islamis ini hadir semata-mata karena persoalan strategi sembari memancing di air keruh. Kaum Islamis ada yang menempuh jalan pintas berbekal senjata, ada juga yang melalui pintu demokrasi yang berliku. Realitasnya partai-partai Islamis belum memberi kontribusi kerakyatan yang jelas. Sebagaimana dibilang Arbania," Saat ini PKS belum menghasilkan produk yang dapat memajukan ekonomi, menyelesaikan permasalahan kesehatan, pendidikan, pencegahan bencana alam, korupsi, traficking, tayangan TV yang semakin memperbodoh masyarakat, dan permasalahan lain yang lebih riil dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita".

Barangkali opini Arbania itu bisa dikait-kelindankan dengan sebuah survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia tahun 2006 lalu, diketahui bahwa akuntabilitas dan pertanggungjawaban partai politik (termasuk yang berbasis agama) terhadap pemilihnya sangat rendah. Dengan demikian, pemilih tidak mengetahui kebijakan partai politik dan alasan-alasannya terkait dengan isu penting, seperti impor beras dan kenaikan harga bahan bakar minyak. Padahal agama begitu mempersoalkan posisi tanggung jawab dalam konteks kepemimpinan dan perwakilan. Dalam kaidah ushul fiqh tertera "tasharruful imam manuuthun bil mashlahah" yang berarti kebijakan dan performance pemerintah haruslah selalu mengacu kepada pemenuhan kemaslahatan rakyat.

Demikianlah, arus konservatif agama atau khususnya Islamisme baik bersekte Wahhabisme, Talibanisme, Salafi radikal, Islamis berwajah ganda maupun lainnya tak pelak lagi merupakan ancaman serius bagi rumah NKRI yang dihuni bangsa ini. Jika kawanan pencuri sudah menjarah dan melukai seisi rumah, lalu mereka pun memperkosa Ibu Pertiwi, maka sikap lembek kita sebagai anak-anaknya tak bisa dibenarkan. Hukum dan keadilan mesti ditegakkan sebagaimana disitir dalam Al-Qur'an "Berbuat adillah karena keadilan itu lebih dekat pada ketakwaan" (QS, al-Ma'idah [5]: 8).

Untuk menghalau gerakan mereka, demikian menurut K.H. Hasyim Muzadi, sekurangnya ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, pemantapan ideologi negara Pancasila. Dan semua gerakan politik di negeri ini harus berasaskan dan berdasarkan Pancasila, bukan yang lain. Kedua, perlunya mengukuhkan sendi-sendi Islam moderat hingga ke level bawah masyarakat. Yaitu, sejenis Islam yang berpandangan toleran (tasamuh) terhadap pluralitas yang ada di Indonesia. Akhirul kalam, marilah kita bermunajat,"Ya Ilahi, Tuhan segala agama, lindungilah negeri kami dari tangan-tangan jahil. Amin".[]

Arief Rahman
Desa Kecomberan-Cirebon, 28 Februari 2009


Get your new Email address!
Grab the Email name you've always wanted before someone else does!

__._,_.___


Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Tidak ada komentar: