Apa Kabar Intelektual (Hindu) Bali?
Oleh I Ngurah Suryawan
Jauh dari bernas saya kira peran intelektual Bali di kancah nasional
selama ini. Kegundahan ini saya pendam dari dulu. Terus terang, saya
kadang-kadng iri melihat begitu lihai dan dinamisnya "dunia
persilatan" intelektual di negeri ini, dan hanya minim sekali—untuk
tidak mengatakan tidak sama sekali—melibatkan warna dan pikiran dari
intelektual Bali, atau lebih tepatnya intelektual Hindu Bali. Segudang
pertanyaan muncul, tapi yang membuat saya penasaran adalah kenapa bisa
demikian adanya?
Pertanyaan itulah yang kemudian menambah keinginan saya untuk mencoba
melakukan penelitian kecil tentang intelektual dan kekuasaan di Bali.
Saya rasa ada situasi yang membuat mandeg dan "mati suri"nya
pergulatan intelektualita di Bali. Apakah saya salah?
Intelektual, Pariwisata, Pembangunan, dan Kekuasaan
Mandeg dan senyapnya suara intelektual Bali di kancah nasional banyak
dipengaruhi dari kondisi yang membentuk Bali di zaman Orde Baru. Dari
tahun 1970-an, saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru pasca pembantaian
massal 1965, terjadi manipulasi luar biasa dalam pembentukan pola
pikir manusia Bali. Orde Baru melakukan pembentukan "industri manusia
Orde Baru" dengan sangat canggih. Manusia Bali dibentuk menjadi sangat
penurut dan apolitis. Ini tentunya seiring dengan gemuruhnya industri
pariwisata yang membutuhkan "pelayan-pelayan" yang tampak manis,
sopan, dan baik hati di mata wisatawan.
Intelektual yang bermukim di institusi pendidikan "dibonsai",
"dikandangkan", dibuatkan panggung untuk mendukung proyek
pembangunanisme dan pariwisata. Perguruan tinggi menyediakan
"argumentasi akademik" untuk mendukung pembangunan pariwisata. Lalu,
intelektual membuat berbagai studi-studi yang menghubungkan bagaimana
pariwisata mendukung pembangunan, pariwisata menumbuhkan budaya, dan
segala hal yang "membaik-baikkan" pariwisata dan pembangunan. Maka
tidak heran jika saat itu, antara tahun 1980-1990-an banyak
intelektual Bali yang merasa bangga mendapatkan proyek penelitian
pariwisata atau para profesornya yang menjadi tim ahli. Jargon
"intelektual pariwisata" atau "intelektual pembangunisme" adalah
julukan yang pantas untuk masa ini.
Dhakidae (2003) secara jernih dan tajam menunjukkan bagaimana potret
intelektual pada masa rezim otoritarian Orde Baru dalam tiga macam:
intelektual tukang yang benar-benar menjadi "buruh kekuasaan", yang
mengabdikan diri sepenuhnya dan berani mati pada kekuasaan (baca:
rezim Orde Baru), intelektual yang mencoba untuk melakukan "langkah
subversif" dengan masuk ke lingkaran kekuasaan dan mencoba merubah
kekusaan dari dalam, dan intelektual idealis yang tetap memegang teguh
nilai-nilai intelektual dan berada di luar jalur kekuasaan (Dhakidae
via Amagola, 2003).
Praktik dari pernyataan itu di Bali salah satunya adalah pada bidang
institusional pendidikan di perguruan tinggi. Iklim akademik dan
suasana perkuliahan—khususnya di Universitas Udayana—mempunyai
tanggungjawab moral terhadap pembusukan intelektual Bali pada masa
itu. Suasana perkulihan yang stagnan memandulkan daya kritis
mahasiswa. Maka tidaklah heran jika muncul kelompok-kelompok studi di
kalangan mahasiswa Bali yang tidak puas dengan iklim akademik di
kampus yang normatif dan berada di menara gading.
Kelompok-kelompok studi seperti Forum Merah Putih, personal
dosen-dosen, kalangan LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat yang kritis
mempunyai andil besar dalam dinamika intelektual di Bali. Kehadirannya
mendorong munculnya lingkaran mahasiswa dan intelektual Bali yang
gundah dengan eksploitasi besar-besaran pariwisata yang menimpa tanah
Bali. Rangkaian diskusi berlangsung dan beragam organisasi mahasiswa
merespon proyek pembangunan industri pariwisata yang meminggirkan
manusia dan menjual tanah Bali. Diantaranya yang mencuat adalah
perlawanan terhadap pembangunan proyek Bali Nirwana Resort (Mudana,
2005; Picard, 2006) dan mulai tumbuh suburnya iklim akademik yang
kritis dan relasi yang penting dengan beragam kelompok masyarakat. Hal
ini ditunjukkan dengan turunnya kelompok-kelompok LSM dan mahasiswa
untuk melakukan advokasi terhadap beberapa kelompok masyarakat yang
menjadi korban struktur kekuasaan pemerintah, pembangunan dan
pariwisata.
Intelektual Kapling dan Saling Sikut
Sebenarnya ada hal yang potensial untuk menggairahkan dunia
intelektualisme di Bali. Hal yang potensial itu adalah para orang Bali
yang memilih untuk keluar merantau dan menjadi tenaga pengajar,
peneliti atau bekerja di luar Bali bahkan di luar negeri. Ilmuwan ini
bukan hanya pada bidang ilmu-ilmu sosial tapi berbaagai bidang
lainnya. Sumbang saran dan peran serta mereka tentu sangat penting
untuk Bali, memberikan ide-ide perbaikan untuk membangun Bali.
Tapi coba simak apa yang yang dikeluhkan seorang ilmuwan sosial dan
politik dari Bali yang menjadi dosen di sebuah universitas bergengsi
di Jawa, "Mekejang be mekapling, sing nyak ngawag nyemak lahanne."
(Semua sudah dikapling, tidak mau sembarangan mengambil lahan mereka).
Siapakah yang dimaksud?
Dalam dunia ilmuwan, para intelektual ini ternyata juga "saling
sikut", merasa punya "wilayah kekuasaan" masing-masing yang tidak bisa
dimasuki. Kok seperti preman ya? Kalau wilayah integritas dan keahlian
bidang keilmuan, saya kira sudah sepantasnyalah saling kapling dan
menekuni bidangnya masing-masing. Tapi saya kira yang disampaikan Bli
ini adalah soal kapling proyek penelitian atau yang lainnya.
Ada kesan—semoga saya salah—"lahan Bali" telah dikusai oleh
intelektual-intelektual yang berdomisili Bali, dan dosen-dosen atau
peneliti di universitas-universitas di Bali adalah salah salah
satunya. Ini menyebabkan ruang gerak intelektual asal Bali yang
berkiprah di luar untuk memberikan sumbangsih pemikirannya dianggap
merongrong kekuasaan intelektual lokal Bali yang telah menguasai lahan
tersebut. Pernyataan ini memang agak tendensius, tapi sebenarnya
inilah yang terjadi. Secara tanpa sengaja, ruang bagi intelektual Bali
di luar Bali untuk memberikan sumbangan terhadap apa yang terjadi di
Bali menjadi terbatas karena proyek kapling lahan-lahan proyek
tersebut.
Grup-grup atau kelompok-kelompok intelektual juga menjadi persoalan
lain. Ini tentu sah pada dunia akademik yang penuh subjektifitas dan
beragam kepentingan tumbuh berkembang. Namun yang disayangkan,
pengkotakan dan rivalitas tersebut justru mengkerdilkan Bali, bukan
mengembangkan Bali dengan pikiran-pikiran dan studi mereka.
Mengambil Tanggungjawab dan Tidak Balisentris
Buktinya adalah apa yang sudah dilakukan intelektual Bali dalam
menyikapi fenomena bangsa ini? Praktis sangat minim kalau tidak
dikatakan nol besar. Saya jadi iri dengan beragam potret intelektual
atau lembaga riset yang mempunyai perhatian soal ini. Jaringan Katolik
dan Kristen memiliki jaringan Kompas, Kanisius, STF Driyarkara, Sanata
Dharma, Atmajaya, CSIS atau yang lainnya. Jaringan muslim memiliki
Paramadina, Muhamadiyah, intelektual UIN, Jaringan Islam Liberal dan
banyak lagi yang lain.
Argumen "minoritas" yang diajukan adalah bukti kekalahan,
keterpinggiran. Memang ada relasi kuasa dalam jaringan intelektual,
namun jika mengedepankan Hindu adalah minoritas sungguhlah argumentasi
yang naif dan kekalahan sebelum bertanding.
Sepantasnyalah sekarang intelektual Hindu Bali mengambil tanggungjawab
moral untuk menyumbangkan pikirannya terhadap fenomena bangsa hari
ini. Ruang-ruang publik untuk hal itu harus direbut, seperti merebut
media massa untuk menulis opini atau berbagai cara lain. Ini tentunya
dengan bidang keahlian masing-masing. Sudah pasti hal itu kini telah
terjadi dan banyak intelektual Hindu Bali yang berintegritas dalam
bidangnya dan mewarnai perdebatan fenomena kebangsaan kita. Agar
jangan intelektual Bali selalu lekat dengan "Menteri Pariwisata dan
Kebudayaan" atau bidang-bidang yang berada dalam ruang lingkupnya.
Selain mengambil tanggungjawab moral tersebut, menjadi tidak
Balisentris juga sangat penting. Artinya adalah jangan mengganggap
persoalan Bali selalu penting, atau jika ada yang menyinggung Bali,
pastilah intelektual Bali atau komponen masyarakat Bali akan
meresponnya. Sementara jika ada persoalan di daerah lain, suara dari
Bali praktis tidak ada. Inilah sikap Balisentris yang memandang
daerahnyalah yang paling penting untuk direspon, ditanggapi. Kesan itu
muncul dari jarangnya intelektual Bali untuk "memandang keluar" dan
belajar dari kebudayaan lain, jangan hanya melihat dan mempelajari
kebudayaan sendiri saja.
Rahajeng…
I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Bukunya, Bali Pascakolonial: Jejak Kekerasan
dan Sikap Kajian Budaya segera terbit.
--
Anton Muhajir
www.rumahtulisan.com - Personal Blog
www.balebengong.net - Balibased Citizen Journalism
------------------------------------
Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
mailto:bali-bali-digest@yahoogroups.com
mailto:bali-bali-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
bali-bali-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar