Salam dan selamat Nyepi buat semua.
Oka Negara
andrology and sexology department
> To: baliblogger@yahoogroups.com
> CC: bali-bali@yahoogroups.com; akademikaunud@yahoogroups.com
> From: antonemus@gmail.com
> Date: Wed, 25 Mar 2009 15:08:35 +0800
> Subject: [baliblogger] Apa Kabar Intelektual (Hindu) Bali?
>
> http://www.balebengong.net/opini/2009/03/25/apa-kabar-intelektual-hindu-bali.html
>
> Apa Kabar Intelektual (Hindu) Bali?
>
> Oleh I Ngurah Suryawan
>
> Jauh dari bernas saya kira peran intelektual Bali di kancah nasional
> selama ini. Kegundahan ini saya pendam dari dulu. Terus terang, saya
> kadang-kadng iri melihat begitu lihai dan dinamisnya "dunia
> persilatan" intelektual di negeri ini, dan hanya minim sekali—untuk
> tidak mengatakan tidak sama sekali—melibatkan warna dan pikiran dari
> intelektual Bali, atau lebih tepatnya intelektual Hindu Bali. Segudang
> pertanyaan muncul, tapi yang membuat saya penasaran adalah kenapa bisa
> demikian adanya?
>
> Pertanyaan itulah yang kemudian menambah keinginan saya untuk mencoba
> melakukan penelitian kecil tentang intelektual dan kekuasaan di Bali.
> Saya rasa ada situasi yang membuat mandeg dan "mati suri"nya
> pergulatan intelektualita di Bali. Apakah saya salah?
>
> Intelektual, Pariwisata, Pembangunan, dan Kekuasaan
> Mandeg dan senyapnya suara intelektual Bali di kancah nasional banyak
> dipengaruhi dari kondisi yang membentuk Bali di zaman Orde Baru. Dari
> tahun 1970-an, saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru pasca pembantaian
> massal 1965, terjadi manipulasi luar biasa dalam pembentukan pola
> pikir manusia Bali. Orde Baru melakukan pembentukan "industri manusia
> Orde Baru" dengan sangat canggih. Manusia Bali dibentuk menjadi sangat
> penurut dan apolitis. Ini tentunya seiring dengan gemuruhnya industri
> pariwisata yang membutuhkan "pelayan-pelayan" yang tampak manis,
> sopan, dan baik hati di mata wisatawan.
>
> Intelektual yang bermukim di institusi pendidikan "dibonsai",
> "dikandangkan", dibuatkan panggung untuk mendukung proyek
> pembangunanisme dan pariwisata. Perguruan tinggi menyediakan
> "argumentasi akademik" untuk mendukung pembangunan pariwisata. Lalu,
> intelektual membuat berbagai studi-studi yang menghubungkan bagaimana
> pariwisata mendukung pembangunan, pariwisata menumbuhkan budaya, dan
> segala hal yang "membaik-baikkan" pariwisata dan pembangunan. Maka
> tidak heran jika saat itu, antara tahun 1980-1990-an banyak
> intelektual Bali yang merasa bangga mendapatkan proyek penelitian
> pariwisata atau para profesornya yang menjadi tim ahli. Jargon
> "intelektual pariwisata" atau "intelektual pembangunisme" adalah
> julukan yang pantas untuk masa ini.
>
> Dhakidae (2003) secara jernih dan tajam menunjukkan bagaimana potret
> intelektual pada masa rezim otoritarian Orde Baru dalam tiga macam:
> intelektual tukang yang benar-benar menjadi "buruh kekuasaan", yang
> mengabdikan diri sepenuhnya dan berani mati pada kekuasaan (baca:
> rezim Orde Baru), intelektual yang mencoba untuk melakukan "langkah
> subversif" dengan masuk ke lingkaran kekuasaan dan mencoba merubah
> kekusaan dari dalam, dan intelektual idealis yang tetap memegang teguh
> nilai-nilai intelektual dan berada di luar jalur kekuasaan (Dhakidae
> via Amagola, 2003).
>
> Praktik dari pernyataan itu di Bali salah satunya adalah pada bidang
> institusional pendidikan di perguruan tinggi. Iklim akademik dan
> suasana perkuliahan—khususnya di Universitas Udayana—mempunyai
> tanggungjawab moral terhadap pembusukan intelektual Bali pada masa
> itu. Suasana perkulihan yang stagnan memandulkan daya kritis
> mahasiswa. Maka tidaklah heran jika muncul kelompok-kelompok studi di
> kalangan mahasiswa Bali yang tidak puas dengan iklim akademik di
> kampus yang normatif dan berada di menara gading.
>
> Kelompok-kelompok studi seperti Forum Merah Putih, personal
> dosen-dosen, kalangan LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat yang kritis
> mempunyai andil besar dalam dinamika intelektual di Bali. Kehadirannya
> mendorong munculnya lingkaran mahasiswa dan intelektual Bali yang
> gundah dengan eksploitasi besar-besaran pariwisata yang menimpa tanah
> Bali. Rangkaian diskusi berlangsung dan beragam organisasi mahasiswa
> merespon proyek pembangunan industri pariwisata yang meminggirkan
> manusia dan menjual tanah Bali. Diantaranya yang mencuat adalah
> perlawanan terhadap pembangunan proyek Bali Nirwana Resort (Mudana,
> 2005; Picard, 2006) dan mulai tumbuh suburnya iklim akademik yang
> kritis dan relasi yang penting dengan beragam kelompok masyarakat. Hal
> ini ditunjukkan dengan turunnya kelompok-kelompok LSM dan mahasiswa
> untuk melakukan advokasi terhadap beberapa kelompok masyarakat yang
> menjadi korban struktur kekuasaan pemerintah, pembangunan dan
> pariwisata.
>
> Intelektual Kapling dan Saling Sikut
> Sebenarnya ada hal yang potensial untuk menggairahkan dunia
> intelektualisme di Bali. Hal yang potensial itu adalah para orang Bali
> yang memilih untuk keluar merantau dan menjadi tenaga pengajar,
> peneliti atau bekerja di luar Bali bahkan di luar negeri. Ilmuwan ini
> bukan hanya pada bidang ilmu-ilmu sosial tapi berbaagai bidang
> lainnya. Sumbang saran dan peran serta mereka tentu sangat penting
> untuk Bali, memberikan ide-ide perbaikan untuk membangun Bali.
>
> Tapi coba simak apa yang yang dikeluhkan seorang ilmuwan sosial dan
> politik dari Bali yang menjadi dosen di sebuah universitas bergengsi
> di Jawa, "Mekejang be mekapling, sing nyak ngawag nyemak lahanne."
> (Semua sudah dikapling, tidak mau sembarangan mengambil lahan mereka).
> Siapakah yang dimaksud?
>
> Dalam dunia ilmuwan, para intelektual ini ternyata juga "saling
> sikut", merasa punya "wilayah kekuasaan" masing-masing yang tidak bisa
> dimasuki. Kok seperti preman ya? Kalau wilayah integritas dan keahlian
> bidang keilmuan, saya kira sudah sepantasnyalah saling kapling dan
> menekuni bidangnya masing-masing. Tapi saya kira yang disampaikan Bli
> ini adalah soal kapling proyek penelitian atau yang lainnya.
>
> Ada kesan—semoga saya salah—"lahan Bali" telah dikusai oleh
> intelektual-intelektual yang berdomisili Bali, dan dosen-dosen atau
> peneliti di universitas-universitas di Bali adalah salah salah
> satunya. Ini menyebabkan ruang gerak intelektual asal Bali yang
> berkiprah di luar untuk memberikan sumbangsih pemikirannya dianggap
> merongrong kekuasaan intelektual lokal Bali yang telah menguasai lahan
> tersebut. Pernyataan ini memang agak tendensius, tapi sebenarnya
> inilah yang terjadi. Secara tanpa sengaja, ruang bagi intelektual Bali
> di luar Bali untuk memberikan sumbangan terhadap apa yang terjadi di
> Bali menjadi terbatas karena proyek kapling lahan-lahan proyek
> tersebut.
>
> Grup-grup atau kelompok-kelompok intelektual juga menjadi persoalan
> lain. Ini tentu sah pada dunia akademik yang penuh subjektifitas dan
> beragam kepentingan tumbuh berkembang. Namun yang disayangkan,
> pengkotakan dan rivalitas tersebut justru mengkerdilkan Bali, bukan
> mengembangkan Bali dengan pikiran-pikiran dan studi mereka.
>
> Mengambil Tanggungjawab dan Tidak Balisentris
> Buktinya adalah apa yang sudah dilakukan intelektual Bali dalam
> menyikapi fenomena bangsa ini? Praktis sangat minim kalau tidak
> dikatakan nol besar. Saya jadi iri dengan beragam potret intelektual
> atau lembaga riset yang mempunyai perhatian soal ini. Jaringan Katolik
> dan Kristen memiliki jaringan Kompas, Kanisius, STF Driyarkara, Sanata
> Dharma, Atmajaya, CSIS atau yang lainnya. Jaringan muslim memiliki
> Paramadina, Muhamadiyah, intelektual UIN, Jaringan Islam Liberal dan
> banyak lagi yang lain.
>
> Argumen "minoritas" yang diajukan adalah bukti kekalahan,
> keterpinggiran. Memang ada relasi kuasa dalam jaringan intelektual,
> namun jika mengedepankan Hindu adalah minoritas sungguhlah argumentasi
> yang naif dan kekalahan sebelum bertanding.
>
> Sepantasnyalah sekarang intelektual Hindu Bali mengambil tanggungjawab
> moral untuk menyumbangkan pikirannya terhadap fenomena bangsa hari
> ini. Ruang-ruang publik untuk hal itu harus direbut, seperti merebut
> media massa untuk menulis opini atau berbagai cara lain. Ini tentunya
> dengan bidang keahlian masing-masing. Sudah pasti hal itu kini telah
> terjadi dan banyak intelektual Hindu Bali yang berintegritas dalam
> bidangnya dan mewarnai perdebatan fenomena kebangsaan kita. Agar
> jangan intelektual Bali selalu lekat dengan "Menteri Pariwisata dan
> Kebudayaan" atau bidang-bidang yang berada dalam ruang lingkupnya.
>
> Selain mengambil tanggungjawab moral tersebut, menjadi tidak
> Balisentris juga sangat penting. Artinya adalah jangan mengganggap
> persoalan Bali selalu penting, atau jika ada yang menyinggung Bali,
> pastilah intelektual Bali atau komponen masyarakat Bali akan
> meresponnya. Sementara jika ada persoalan di daerah lain, suara dari
> Bali praktis tidak ada. Inilah sikap Balisentris yang memandang
> daerahnyalah yang paling penting untuk direspon, ditanggapi. Kesan itu
> muncul dari jarangnya intelektual Bali untuk "memandang keluar" dan
> belajar dari kebudayaan lain, jangan hanya melihat dan mempelajari
> kebudayaan sendiri saja.
>
> Rahajeng…
>
> I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas
> Gadjah Mada Yogyakarta. Bukunya, Bali Pascakolonial: Jejak Kekerasan
> dan Sikap Kajian Budaya segera terbit.
>
> --
> Anton Muhajir
> www.rumahtulisan.com - Personal Blog
> www.balebengong.net - Balibased Citizen Journalism
>
>
> ------------------------------------
>
> Yahoo! Groups Links
>
> <*> To visit your group on the web, go to:
> http://groups.yahoo.com/group/baliblogger/
>
> <*> Your email settings:
> Individual Email | Traditional
>
> <*> To change settings online go to:
> http://groups.yahoo.com/group/baliblogger/join
> (Yahoo! ID required)
>
> <*> To change settings via email:
> mailto:baliblogger-digest@yahoogroups.com
> mailto:baliblogger-fullfeatured@yahoogroups.com
>
> <*> To unsubscribe from this group, send an email to:
> baliblogger-unsubscribe@yahoogroups.com
>
> <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
> http://docs.yahoo.com/info/terms/
>
Chat online and in real-time with friends and family! Windows Live Messenger
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar