Kenapa FPI 'Keras Kepala'? Mengkritisi Menguatnya Neo-Wahabisme di Indonesia (1) Ahluwalia | | (dok.AKK-BB) | | INILAH.COM, Jakarta – Mengerasnya radikalisme Islam makin sering diasosiasikan dengan menguatnya Neo-Wahabisme di Indonesia. Paham beraliran keras ini muncul dalam aktivitas berbagai organisasi massa, termasuk FPI dan parpol macam PKS. Pekan ini, perbincangan publik politik tentang Wahabisme meluas. Salah satu fokus perbincangan itu bisa dilihat pada kebrutalan para anggota Front Pembela Islam (FPI) terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang melakukan aksi damai di Taman Monas, Minggu (1/6). Belasan orang jadi korban kekerasan itu, termasuk ibu-ibu dan anak-anak tak berdosa. Sejak lama fenomena FPI diasosiasikan dengan maraknya Wahabisme di Indonesia. "Kami mengutuk dan mengecam aksi kekerasan yang dilakukan FPI. Apalagi, ibu-ibu dan anak-anak ikut jadi korban. Aksi pemukulan itu biadab," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M Zein kepada INILAH.COM, Senin (2/6). Jangan lupa, Neo-Wahabisme juga amat erat kaitannya dengan lahirnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia. Aktivis parpol ini sering disebut 'kaum wahabi' oleh aktivis PDI-P, Partai Demokrat, Partai Bintang Reformasi, Golkar, PAN, PKB, dan PPP. Dalam kancah politik, maraknya Neo-Wahabisme bahkan diasosiasikan dengan berkembangnya PKS. Para sarjana dan peneliti di Indonesia menyatakan, bukan tanpa dasar jika PKS memang dijuluki Wahabi. Hidayat Nurwahid, salah satu pendiri PKS yang kini menjabat Ketua MPR-RI, adalah alumni Arab Saudi yang dianggap oleh banyak orang sebagai bagian dari faksi Neo-Wahabisme. Bersama Muzamil Yusuf, alumni Arab di Mesir, Hidayat disebut sebagai sosok Wahabi dalam kutub puritan PKS dengan pembawaan diri yang santun dan perilaku yang tenang. "Kedua sosok itu sering dianggap mewakili Neo-Wahabisme dalam PKS yang merupakan arus kuat," kata Muslim Abdurrahman PhD, inteligensia Islam dan kini politisi PKB. Meski keduanya menolak disebut Neo-Wwahabis, persepsi publik sudah menilai demikian. Dalam politik, persepsi lebih penting ketimbang fakta itu sendiri. "Perception is more important than the fact itself," kata Greg Fealy, profesor studi Asia Tenggara di Australian National University, Canberra. Ini berbeda dengan karakter parpol Islam lain sebagaimana diwakili PPP. "PPP sangat berbeda dengan PKS yang bercorak Wahabisme. Sebab, PPP justru mendorong Muhammadiyah, NU, dan golongan Islam lainnya yang toleran untuk mewujudkan Islam Indonesia sebagaimana diyakini para ulama NU dan Muhamadiyah dalam PPP," kata Tengku Taufiqulhadi, Wakil Sekjen DPP PPP. Bergulirnya gerakan reformasi Mei 1998 ternyata dibarengi pula dengan munculnya berbagai aliran gerakan, termasuk di dalamnya aliran Islam. Gerakan-gerakan baru Islam ini umumnya mengusung paham yang disebut Salafi. Tercatat sejumlah gerakan dalam aliran ini seperti Front Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lasykar Ahlussunah wal Jamaah, dan lain-lain. "Dan PKS masuk kategori gerakan ini," kata M Imadudin Rakhmat, aktivis NU dan peneliti di Lakpesdam PB NU. Jika dicermati secara mendalam, gerakan-gerakan Neo-Wahabi ini sangat cepat masuk dalam akar-akar kehidupan masyarakat. Barangkali, itu disebabkan tawaran mereka yang riil, yakni 'kembali kepada Allah'. Sasaran mereka adalah masyarakat awam agama yang cenderung berpandangan sinis dalam melihat globalisasi. Kemajuan Iptek dianggap makin mengikis moralitas masyarakat dan 'westernisasi' yang liberal dan sekuler. Doktrin-doktrin Neo-Wahabi kini telah banyak disuntikkan melalui sistem aturan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Dukungan terhadap Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) salah satunya. Di beberapa daerah di Indonesia juga telah banyak diterbitkan peraturan daerah yang berbasis syari'at Islam. Sebutlah di Tangerang (Banten), Cianjur, Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Pamekasan (Jawa Timur). Sejatinya, jauh-jauh hari sebelum Neo-Wahabisme marak di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU) sudah didirikan oleh para ulama tradisional pada 1926, persis untuk mengantisipasi dan menahan ekspansi Wahabisme itu di negeri ini. Fenomena yang demikian patut disikapi oleh segenap umat muslim. Mereka semestinya sadar dan tanggap, dengan karakternya yang keras dan radikal, gerakan Neo-Wahabisme berpotensi mencederai ruh Islam yang rahmatan lil'alamin. [Bersambung/ P1] PKS 'Anak Kandung' Wahabisme? Mengkritisi Menguatnya Neo-Wahabisme di Indonesia (2-Habis) Ahluwalia
INILAH.COM, Jakarta – Perkembangan PKS selalu dikaitkan dengan menguatnya Neo-Wahabisme. Ini karena Hidayat Nurwahid, salah satu pendiri PKS, alumni Arab Saudi yang acap dipersepsikan sebagai bagian dari faksi Neo-Wahabisme PKS. Sejatinya, di level global, sejak tragedi 11 September 2001, Wahabisme makin sering dibicarakan. Banyak analis mengkaitkan pengaruh ajaran itu dengan pertumbuhan dan praktik Islam radikal, bahkan gerakan-gerakan terorisme, di berbagai belahan dunia. Dua tahun lalu, misalnya, Khaled Abou El Fadl, seorang akademisi Muslim yang mengajar di Universitas California Los Angeles, menulis dengan nada geram tentang pengaruh itu. "Setiap kelompok (radikal) Islam hingga tingkat yang berbeda dikecam dunia, seperti Taliban dan al-Qaida, amat dipengaruhi oleh pemikiran Wahabi." Dalam buku tentang Wahabisme, Prof Hamid Algar dari University of California Berkeley secara umum menyingkapkan tempat Wahabisme di dunia Islam. Algar bahkan menyajikan riwayat hidup Muhammad bin Abd al-Wahhab yang dikenal berwatak keras, puritan, dan intoleran. Wahabisme merupakan ideologi tertutup karena tidak bisa menerima paham lain di luar ajarannya. Bahkan, pada titik yang paling ektrem, ia menyerukan untuk memerangi paham apa pun di luar dirinya. Kalaupun kemudian di Indonesia Neo-Wahabisme disesuaikan dengan situasi sosial-kultural setempat, para penganut paham ini tetap berwatak eksklusif seperti ditunjukkan oleh sayap gerakan dalam PKS, jaringan usroh dan harakah-harakahnya. Sebagai sebuah ideologi tertutup, menurut Mohamad Nabil, periset dari Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri Jakarta, Wahabisme punya implikasi politis yang sangat besar. Terlebih lagi ketika Wahabisme sendiri diberlakukan secara paksa kepada semua orang. Sebab, di samping bergerak pada wilayah pemurnian agama, Wahabisme juga punya ambisi besar dalam kekuasaan. Hal itu terlihat ketika Abd Wahhab –sebagai pemimpin Wahabisme– melakukan kompromi poltik dengan Muhammad Ibn Sa'ud, penguasa di salah satu daerah di daratan Arabia. Berdasarkan catatan Prof Hamid Algar, selain melakukan kompromi politik, Abd Wahhab juga mempersunting putri Muhammad Ibn Sa'ud. Kompromi politik dan perkawinan ini menandai awal penyebaran ide-ide Wahabisme dengan ekspansi militer besar-besaran ke seluruh semenanjung Arab. Keberhasilan itu memuncak setelah Wahabisme memperluas kekuasaannya sampai batas wilayah Dinasti Turki Utsmani. Pada 1802, Wahabisme menguasai Karbala, makam suci Imam Husain di Irak. Pada 1803, mereka bahkan merebut Mekkah, ditandai dengan memasang kis'wah merah di Ka'bah. Pada masa itu, meminjam perspektif (alm) Prof Harun Nasution, para penguasa Turki jadi khawatir. Atas nama pemerintahan, Dinasti Utsmani berusaha menghentikan kekuasaan Wahabisme dengan merebut kembali Hijaz pada 1813. Tapi, usaha itu gagal. Yang terjadi hanyalah penghancuran Kota Dir'iyyah oleh Ibrahim Pasha pada 1818. Menjelang 1902, Abd Aziz Ibn Sa'ud merebut Kota Riyadh dari tangan Al-Rasyid, penguasa Najd utara. Gelombang penaklukkan yang mencapai klimaksnya dengan tunduknya penguasa Syarif Hasyimiyah di Hijaz pada akhir 1924. Abd Aziz kemudian menjadikan Riyadh sebagai pusat kebangkitan agama. Keselarasan perilaku keagamaan yang disebarluaskan oleh kerajaan pada era sebelumnya terabadikan. Wahabisme menghidupkan kembali gagasan tentang sebuah komunitas beriman yang disatukan oleh ketaatan kepada Allah dan kemauan untuk hidup selaras dengan hukum-hukum Allah. Ideologi Wahabisme yang tumbuh-subur di bawah kepemimpinan Abd Aziz membentuk sebuah identitas kebangsaan di antara masyarakat Semenanjung Arabia. Studi Mohamad Nabil dari CSRC menyingkapkan bahwa Wahabisme, selain mengundang resistensi dari sebagian kaum Muslim, juga mengundang simpati dari kaum muslim di luar tanah Arabia. Terbukti ketika tiap kali musim haji usai, banyak Muslim tertarik sekaligus membawa pulang ideologi puritan itu. Beberapa tokoh di luar tanah Arab yang menganut Wahabisme, antara lain, Sayyid Ahmad di Punjab (India Utara), Imam Sanusi (Aljazair), Moh Abduh (Mesir), dan Usman Danfuju (Sudan). Di Indonesia, Wahabisme dibawa antara lain oleh tokoh-tokoh dari Sumatera Barat. Dalam upayanya mengungkap sejarah dan implikasi negatif ekspansi Wahabisme, Prof Algar tidak sendirian. Belakangan, seperti dicatat Ihzan Ali Fauzi MA, Direktur Program Yayasan Paramadina, makin banyak sarjana terlibat proyek ini. Karya Abou El Fadl, Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (2005), bahkan menunjukkan bahwa Islam kini telah 'dibajak' kalangan Muslim ekstremis. Hal ini tentu saja tidak bisa dibenarkan. Karenanya, menurut El Fadl, kaum Muslim moderat harus bahu-membahu merebut kembali Islam dari dominasi kaum ekstremis ini, antara lain dengan mengkritisi paham Wahabisme. [Habis/P1]
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar