Teman2 - dari milis tetangga
Salam
HAPUS KOLOM AGAMA Di KTP
Posted by: "Sunny" ambon@tele2.se
Tue Oct 28, 2008 6:32 pm (PDT)
Refleksi: Hapus kolom agama di KTP harus disertakan dengan pemusnahan Departemen Agama [Depag]. Agama berkembang di kepulauan nusantara tanpa danya departemen yang mengatur. Departemen agama adalah ciptaan untuk pemboroskan uang kas negara, karena selama ini tidak dibuktikan kehidupan umat beragama bertambah baik malah sebalikn ya toleransi kaum beragama tidak hidup rukun, aman dan sejahtera. Jadi kalau kalau untuk kehidupan duniawi saja tidak bisa diurus oleh Depag, maka tentu saja tidak ada jaminan Depag bagi umat beragama untuk bisa masuk surga. Jadi membuang-buang uang negara yang sepatutnya dipakai untuk mempertinggi mutu pendidikan ilmu berfaedah untuk mempertinggi kehidupan hidup manusia (umat) dari miskin menjadi sejahtera, damai dan aman.
Patut diperhatikan bahwa setiap kali ada jemah haji selalu saja ada problem yang merugikan jemah haji. Depag tercatat sebagai sarang koruptor, lihat saja pada mantan menteri agama Sadi Agil Husni Al Munawar sikat uang sebanyak Rp 50.000.000.000.000. Di negeri-negeri yang tidak ada Depag, pengririman jemah haji tanpa ada problem seperti apa yang biasa dialami oleh jemah haji dari Indonesia. Sebagai contoh ialah India, mempunyai jumlah umat beragama Islam hampir sama besarnya dengan di Indonesia, tetapi tidak mempunyai Depag. Semua urusan diatur oleh perusahaan touris.
Jangan mau dipermainkan oleh para penjahat masyarakat yang memakai lambang agama dan nama Allah untuk menindas Anda, menjadi lebih miskin dalam kebudayaan, sirpitual dan material kehidupan sehari-hari. Bubarkan Departeman Agama! Hapus kolom agama di KTP. Pemusnahan Depag bukan dosa dengan kemurkaan Alloh, tetapi malah Allah akan gembira karena manusia beragama berani menghancurkan instansi yang merugikan kehidupan kaum beragama.
Amin
- - - -
Suara Merdeka
HAPUS KOLOM AGAMA Di KTP
Ditulis Oleh Gendhotwukir
27-10-2008,
Di kolom agama tersebut hanya dimungkinkan tertulis: Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan belakangan ini Konghucu. Padahal kenyataan di masyarakat tidak sedikit orang yang menganut kepercayaan lokal, menganut kejawen, Sikh, Sinto dan lain sebagainya. Di beberapa negara selain Indonesia, identitas diri semacam KTP-nya Indonesia sudah tidak mencantumkan kolom agama.
Kita tentu tahu tokoh kejawen Permadi yang sering disebut penyambung lidah Bung Karno itu. Pada tahun 2002 dia menjadi korban diskriminasi soal KTP. Ketika ia hendak menikahkan anak perempuannya ia dilarang ketua KUA. Permadi dilarang mengawinkan anaknya karena ia pengikut kejawen. Penulis yakin tidak hanya Permadi seorang yang mengalami diskriminasi semacam ini, mengingat penganut kepercayaan lokal, kejawen, Sikh, Sinto dan lainnya cukup banyak.
Tapi ya begitulah, di Indonesia agama sudah menjadi ketentuan atau konvensi yang sudah berakar. Dalam banyak ketentuan dan undang-undang, teristimewa untuk rekruitmen tenaga kerja pun mesti disebutkan agamanya apa. Selain itu pelayanan publik lantas juga tidak maksimal tatkala mentalitas pegawainya yang religion oriented. Pelayanan untuk pengurusan surat-surat di instansi tertentu lantas menjadi ribet dan molor karena seseorang beragama tertentu dan berbeda dengan pegawai yang melayani. Ini memang jaman reformasi, tapi yang utama direformasi itu seharusnya juga cara pandang dan mentalitas orangnya.
Selain diskriminasi di atas, suatu fakta yang tak dapat ditutup-tutupi, kolom agama dalam KTP berpotensi menimbulkan konflik horisontal. Ini telah terjadi tidak hanya di Poso tapi juga di mana-mana. Orang yang dicurigai diminta menunjukkan KTP. Kalau orang yang bersangkutan beragama sama kadang bisa aman, tetapi kalau berbeda bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apalagi dalam situasi konflik yang berbau SARA.
Mentalitas religion oriented ini, entah kenapa telah cukup berakar di sebagian masyarakat Indonesia. Pergaulan kadang menjadi berjarak ketika seseorang berbeda agama. Penulis melihat kecenderungan ini. Entah ketika di dalam negeri maupun di luar negeri, ketika bertemu orang baru yang notabene berasal dari Indonesia pertanyaan mengenai agama yang saya anut seperti kok menjadi prioritas pertanyaan.
Bukannya penulis tidak bangga dengan agama yang penulis anut, tetapi penulis melihat mentalitas seseorang yang religion oriented itu malah acap kali mengesampingkan aspek kemanusiaan. Tidak jarang penulis bertemu seorang yang beragama lain dengan penulis yang tiba-tiba menjadi canggung dan menjaga jarak ketika tahu agama yang saya anut beda dengan dia, padahal sebelumnya akrab.
Karena seringnya ketemu seseorang yang lantas ujung-ujungnya tanya agama, penulis lebih sering menjawab, "this is not your business". Untuk kelancaran pelayanan publik menyangkut hak sipil penulis sebagai warga negara, penulis lebih sering kompromi untuk memberikan identitas lain seperti Surat Ijin Mengemudi (SIM) atau Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Di SIM dan KTM jelas-jelas tidak terdapat kolom agama. Lebih gila lagi seorang teman yang lantas mengisi kolom agama di KTP dengan agama lain agar bisa masuk dan bekerja di instansi tertentu.
Sekali lagi penulis tidak malu dengan agama yang penulis anut. Penulis bangga dengan agama yang penulis anut. Tapi kalau fakta kehadiran KTP yang mencantumkan kolom agama itu ternyata menjadi bibit diskriminasi, konflik horisontal, pelayanan publik kurang maksimal dan kemanusiaan diabaikan, menurut penulis sudah waktunya kolom agama di KTP itu dihapus. Alasan administrasi kependudukan juga tak bisa menghalangi desakan penghapusan kolom agama ini. Soal administrasi kependudukan, asal orang-orangnya di instansi bersangkutan bekerja dengan becus, sebenarnya kolom agama di KTP tidak diperlukan lagi. Jadi, sebaiknya kolom agama di KTP itu dihapuskan saja!
Halaman 2 dari 2
Di kolom agama tersebut hanya dimungkinkan tertulis: Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan belakangan ini Konghucu. Padahal kenyataan di masyarakat tidak sedikit orang yang menganut kepercayaan lokal, menganut kejawen, Sikh, Sinto dan lain sebagainya. Di beberapa negara selain Indonesia, identitas diri semacam KTP-nya Indonesia sudah tidak mencantumkan kolom agama.
Kita tentu tahu tokoh kejawen Permadi yang sering disebut penyambung lidah Bung Karno itu. Pada tahun 2002 dia menjadi korban diskriminasi soal KTP. Ketika ia hendak menikahkan anak perempuannya ia dilarang ketua KUA. Permadi dilarang mengawinkan anaknya karena ia pengikut kejawen. Penulis yakin tidak hanya Permadi seorang yang mengalami diskriminasi semacam ini, mengingat penganut kepercayaan lokal, kejawen, Sikh, Sinto dan lainnya cukup banyak.
Tapi ya begitulah, di Indonesia agama sudah menjadi ketentuan atau konvensi yang sudah berakar. Dalam banyak ketentuan dan undang-undang, teristimewa untuk rekruitmen tenaga kerja pun mesti disebutkan agamanya apa. Selain itu pelayanan publik lantas juga tidak maksimal tatkala mentalitas pegawainya yang religion oriented. Pelayanan untuk pengurusan surat-surat di instansi tertentu lantas menjadi ribet dan molor karena seseorang beragama tertentu dan berbeda dengan pegawai yang melayani. Ini memang jaman reformasi, tapi yang utama direformasi itu seharusnya juga cara pandang dan mentalitas orangnya.
Selain diskriminasi di atas, suatu fakta yang tak dapat ditutup-tutupi, kolom agama dalam KTP berpotensi menimbulkan konflik horisontal. Ini telah terjadi tidak hanya di Poso tapi juga di mana-mana. Orang yang dicurigai diminta menunjukkan KTP. Kalau orang yang bersangkutan beragama sama kadang bisa aman, tetapi kalau berbeda bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apalagi dalam situasi konflik yang berbau SARA.
Mentalitas religion oriented ini, entah kenapa telah cukup berakar di sebagian masyarakat Indonesia. Pergaulan kadang menjadi berjarak ketika seseorang berbeda agama. Penulis melihat kecenderungan ini. Entah ketika di dalam negeri maupun di luar negeri, ketika bertemu orang baru yang notabene berasal dari Indonesia pertanyaan mengenai agama yang saya anut seperti kok menjadi prioritas pertanyaan.
Bukannya penulis tidak bangga dengan agama yang penulis anut, tetapi penulis melihat mentalitas seseorang yang religion oriented itu malah acap kali mengesampingkan aspek kemanusiaan. Tidak jarang penulis bertemu seorang yang beragama lain dengan penulis yang tiba-tiba menjadi canggung dan menjaga jarak ketika tahu agama yang saya anut beda dengan dia, padahal sebelumnya akrab.
Karena seringnya ketemu seseorang yang lantas ujung-ujungnya tanya agama, penulis lebih sering menjawab, "this is not your business". Untuk kelancaran pelayanan publik menyangkut hak sipil penulis sebagai warga negara, penulis lebih sering kompromi untuk memberikan identitas lain seperti Surat Ijin Mengemudi (SIM) atau Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Di SIM dan KTM jelas-jelas tidak terdapat kolom agama. Lebih gila lagi seorang teman yang lantas mengisi kolom agama di KTP dengan agama lain agar bisa masuk dan bekerja di instansi tertentu.
Sekali lagi penulis tidak malu dengan agama yang penulis anut. Penulis bangga dengan agama yang penulis anut. Tapi kalau fakta kehadiran KTP yang mencantumkan kolom agama itu ternyata menjadi bibit diskriminasi, konflik horisontal, pelayanan publik kurang maksimal dan kemanusiaan diabaikan, menurut penulis sudah waktunya kolom agama di KTP itu dihapus. Alasan administrasi kependudukan juga tak bisa menghalangi desakan penghapusan kolom agama ini. Soal administrasi kependudukan, asal orang-orangnya di instansi bersangkutan bekerja dengan becus, sebenarnya kolom agama di KTP tidak diperlukan lagi. Jadi, sebaiknya kolom agama di KTP itu dihapuskan saja!
* Gendhotwukir, penyair dan jurnalis dari Komunitas Merapi. Penulis pernah mengenyam pendidikan di Philosophisch-Theologische Hochschule Sankt Augustin Jerman dan saat ini di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
New Email names for you!
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/
------------------------------------
Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
mailto:bali-bali-digest@yahoogroups.com
mailto:bali-bali-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
bali-bali-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar