Oleh
Inno Jemabut/Vidi Vici
Jakarta – Sejumlah elemen masyarakat yang bergabung dalam puluhan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menunggu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani UU Pornografi yang disahkan DPR, Kamis (30/10), untuk mengajukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejumlah pakar hukum pun sudah bergabung agar UU tersebut dibatalkan oleh MK.
Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan Valentina Sagala, Jumat (31/10) mengatakan, selain LSM, yang akan mengajukan judicial review juga perorangan. Bahkan, Gubernur Bali Made Mangku Pastika akan mengajukan judicial review atas nama masyarakat Bali.
LSM yang bergabung di antaranya LBH Apik Jakarta, ELSAM, Kontras, LBH Jakarta, PBHI, Setara Institut, Perempuan Mahardhika, Arus Pelangi dan Mitra Imadei.
Ada sekitar 40-an LSM yang akan bergabung untuk ajukan judicial review begitu pemerintah menandatanganinya. Kalau kami tahu hari pemerintah menandatangani, hari itu juga kami ajukan judicial review," tegas Valentina Sagala.
Rencana sejumlah LSM tersebut akan mendapat dukungan kuat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Anggota Fraksi PDIP Eva Kusumah Sundari mengatakan akan mendukung penuh jika ada anggota masyarakat yang melakukan judicial review atas UU tersebut. Wakil Ketua Umum DPP PDS Denny Tewu mengatakan tidak ada alasan bagi MK untuk tidak membatalkan UU itu nantinya. "Terlalu banyak kelemahan yang ada dalam UU itu. Kami akan sangat mendukung setiap upaya uji materiil atas UU itu," tegas Denny Tewu.
Seharusnya masalah pornografi sudah cukup diatur melalui UU Penyiaran, UU Pers dan UU Perlindungan Anak. Dalam skala tertentu UU Pornografi, tegas Denny, akan menyuburkan keinginan berpisah dari negara Indonesia di beberapa wilayah.
Pendapat senada disampaikan GKR Hemas. Menurut dia, disahkannya RUU Pornografi menjadi UU tak membuat para aktivis perempuan berhenti. Mereka akan menempuh jalur hukum untuk membatalkan UU Pornografi tersebut, yakni segera mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini ditegaskan oleh GKR Hemas, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono X, kepada wartawan, Kamis (30/10) malam. "Kami menilai jika UU Pornografi ini diberlakukan maka justru meng-ancam kesatuan bangsa," ujarnya.
Menurut Eva, Undang-undang Pornografi sama sekali tidak menjamin perlindungan terhadap anak. Malah sebaliknya, UU ini memperbolehkan pornografi terhadap anak. "UU ini tidak menyelesaikan persoalan" katanya.
Eva melihat sejumlah kontradiksi dari isi UU. Misalnya pada pasal 4 ayat 1, berbunyi: Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi dan onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin dan pornografi anak." Namun, pada penjelasan frasa "Membuat" mengecualikan larangan jika digunakan untuk kepentingan sendiri.
"Ini berarti semua bisa memiliki materi pornografi anak jika untuk kepentingan sendiri," ujarnya.
Aktivis Lembaga Ban-tuan Hukum Asosiasi untuk Perempuan dan Keadilan (LBH APIK) Umi Farida mengatakan UU ini masih menyimpan sejumlah permasalahan, antara lain masih memuat pengaturan tentang pornoaksi yang dapat menimbulkan beragam interpretasi. UU ini juga memuat peran serta masyarakat dalam melakukan pencegahan.
Menurut Farida ini dapat memicu konflik di masyarakat. Aplagi masyarakat diberikan hak melakukan pembinaan yang sebenarnya adalah tugas pemerintah. "Masyarakat juga bisa melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan, ini bisa jadi lahan bisnis," kata Farida.
Adanya kontradiksi dalam UU ini juga melukiskan keterburu-buruan DPR dalam menyusun undang-undang. Farida menunjukkan Pasal 43 bertentangan dengan pasal 4 ayat 1. Karena pasal 4 ayat 1 memerintahkan semua pemilik materi pornografi mengembalikannya kepada negara, sedangkan penjelasan pasal 4 ayat 1 memperbolehkan seseorang menyimpan jika untuk kepentingan sendiri. "Saking buru-burunya DPR sampai lupa men-delete pasal 43, ada apa di balik keterburu-buruan ini?" kata Farida.
Ketua Fraksi PDIP Tjahyo Kumolo menyatakan siap mendukung kelompok masyarakat yang ingin melakukan judicial review. "Upaya itu akan kita dukung, kita juga mencatat secara substansi dan prosedural UU ini bermasalah," kata Tjahyo.
Tak Berlaku di Sulut
Ketua DPRD Sulawesi Utara (Sulut) Syachrial Damopolii menegaskan, sikap penolakan terhadap UU Pornografi tak akan berubah dan tetap akan diperjuangkan, walaupun sudah disah-kan DPR RI, Kamis (30/10). Salah satu cara, bersama daerah-daerah lain yang menolak untuk memusya-warahkannya.
"Saya sudah menelepon ke daerah yang menolak seperti Bali, Papua untuk menggelar musyawarah bersama agar menjadi satu suara tetap menolak UU ini," jelas Damopolii.
Menurut dia, musyawarah diupayakan berlangsung di Sulut itu, putusannya akan dibawa langsung ke Ketua DPR serta akan dibahas juga kemungkinan langkah hukum yang akan diambil. "Termasuk meminta hak istimewa bagi daerah-daerah yang menolak untuk tidak menerapkannya, seperti di Sulut," tandasnya.
Politisi muda Sulut, Herry Kereh, sependapat UU Pornografi tak pantas diterapkan di Bumi Kawanua. Masyarakat Sulut menolaknya. "Sangat aneh jika diterapkan, tapi justru masyarakat yang akan menjalani justru menolaknya. Ini jelas melanggar hak asasi manusia," tegasnya.
Pendapat senada disampaikan masyarakat Bali. Segenap rakyat Bali yang tergabung dalam Komponen Rakyat Bali (KRB) menyesalkan sikap DPR dan pemerintah yang mengesahkan RUU Pornografi menjadi UU melalui sidang paripurna DPR. Terkait dengan hal ini, KRB akan menempuh jalur hukum dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kita sangat menyesalkan pengesahan RUU Pornografi ini karena pemerintah dan DPR terkesan mengabaikan keinginan kelompok minoritas," tegas Ketua KRB, I Gusti Ngurah Harta kepada SH, Jumat (31/10), di Denpasar.
Di bagian lain, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Kemala Chandrakirana, mengingatkan Kepala Polri, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung agar aparat penegak hukum di seluruh Indonesia menindak segala bentuk kekerasan dan kejahatan yang mengatasnamakan moralitas dan agama. Selain itu, menegakkan Pasal 21 Ayat (2) UU Pornografi, yaitu peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan, yang sesuai dengan Penjelasan "agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindak hukum lainnya.
Menteri Dalam Negeri juga harus mengevaluasi rancangan peraturan daerah (ranperda) untuk menghindari munculnya perda-perda yang melanggar hak-hak perempuan dan minoritas, dengan mengatasnamakan moralitas dan agama. Ini juga penting untuk menjamin hak konstitusional seluruh warga negara tanpa kecuali.
Kamala menyesalkan pengesahan RUU Pornografi tersebut, karena pengesahan dilakukan di tengah kontroversi yang masih sangat besar di kalangan masyarakat tentang perlu atau tidaknya UU tersebut. Apalagi di dalam tubuh DPR juga masih ada kontroversi, terbukti dari walk out-nya F-PDIP, F-PDS, serta beberapa anggota F-Partai Golkar, dan ketidaksetujuan F-KB terhadap pengesahan RUU itu.
Menurutnya, itu menunjukkan banyaknya wakil rakyat di legislatif maupun eksekutif yang terjebak dalam politisasi moralitas dan agama, di mana moralitas dan agama hanya dijadikan kendaraan politik untuk merebut kekuasaan.
(yuyuk sugarman/novi waladow/cinta malem
ginting/stevani elisabeth)
Bali Bekukan Undang-Undang Pornografi
Renon, Gubernur Bali Made Mangku Pastika pada Jumat sore (31/10) di DPRD Bali secara resmi membaca pernyataan sikap rakyat Bali. Dalam pernyataan sikap tersebut pemerintah daerah Bali secara tegas menyatakan tidak dapat melaksanakan Undang-Undang Pornografi.
Dalam surat pernyataan tertanggal 31 Oktober yang ditandatangani langsung Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Ketua DPRD Bali Ida Bagus Putu Wesnawa disebutkan alasan yang menjadi penyebab Bali tidak dapat melaksanakan Undang-Undang Pornografi adalah Undang-Undang tersebut tidak sesuai dengan filosofi dan sosiologis masyarakat Bali.
Made Mangku Pastika juga berharap masyarakat Bali tetap tenang dan tidak terprovokasi. "menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat Bali agar tetap tenang, waspada, tidak terprovokasi dan tetap menjaga suasana kondusif demi tetap tegaknya Negara kesatuan Republik Indonesia,"Kata mantan Kapolda Bali ini.
Sebelum mengeluarkan pernyataan sikap secara resmi Made Mangku Pastika melakukan pertemuan tertutup dengan Ketua DPRD Bali Ida Bagus Putu Wesnawa dan Ketua-ketua Komisi di DPRD Bali. (mlt)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar