__._,_.___----- Original Message -----Sent: Sunday, September 28, 2008 9:07 PMSubject: [bali-bali] Re: Balkanisasi NKRIhe he he
kalo dilanjutkan ntar bisa jadi panjang
kapan-kapan kita ketemu aja di kampus untuk melanjutkan perdebatan
ini, ato mengeluhkan kemunduran organisasi intra kampus, ato sekedar
mencerca yunior-yunior yang mengelola senat ato hmj saat ini,
nostalgia lah.
--- In bali-bali@yahoogroups.com , "Gmail" <nengah.sumerta@...> wrote:
>
> Halah
>
> Kok jadi njelimet. dialektika komparatif nich?
>
>
> --untuk Bli Nengah
> >
> > Pertanyaanya, apakah untuk hal yang sensitive, yang ekses
> negativenya sudah sangat clear, voting masih tetap bisa dijadikan
> sebagai solusi?!
>
> negative bagi siapa, yang negative bagi satu pihak mungkin adalah
> positive bagi pihak yang berseberangan. ketika kesepakatan tidak
> tercapai berarti ada pertentangan, adu kekeutan melalui voting tidak
> terhindarkan. ya voting adalah solusi jika kesepakatan tak tercapai.
>
> nah tu dia bro, ketika pertentangan itu menciptakan polarisasi
benar-atau salah, kita tidak bisa menyelesaikanya begitu saja dengan
voting, terus menitikberatkan alasanya pada sistem demokrasi 50% +1
>
> > Apakah voting punya "rasa" keadilan ketika di sebuah pembahasan ad
> pihak yang secara jelas akan menjadi korban?! jangan bahas collateral
> damage untuk case ini, kerusakan yang ditimbulkan sudah tidak bisa
> dikategoriakn sebagai collateral, tapi lebih pada primari.
>
> keadilan? apakah pihak yang lemah sudah pasti benar, lalu siapa yang
> menentukan benar dan salah? yang benar dan menguntungkan salah satu
> pihak mungkin salah dan merugikan bagi pihak lain. ini hanyalah
> masalah kepentingan. kalau mau menghindari korban capailah
> kesepakatan, jangan melakukan voting; sudah menjadi resiko bagi
> minoritas untuk kalah dalam voting.
>
> Itu dia, ketika sebuah "kebenaran" masih multi tafsir, dalam
artian orang lain bisa menyatakanyasebagai "ketidakbenaran" maka hal
itu sudah tentu belum bisa dipaksakan sebagai sebuah keputusan yang
nantinya "mau atau tidak mau" harus diikuti oleh semua pihak, apalagi
oleh mereka yang sedari awal tidak menyepakati hal tersebut.
>
>
> > Perlu juga digarisbawahi, Ketika sebuah pembahasan sudah sangat
> sulit untuk menghasilkan kata mufakat (bahasa apa pula mufakat itu)
> saya rasa ada yang salah dengan topik yang di bahas, klo memang topik
> yang di bahas itu logis dan memayungi kepentingan mayoritas, sudah
> barang tentu tidak akan sulit untuk menciptakan kemufakatan, ya toh?
> logis? dari sudut pandang siapa? sulit mencapai kata mufakat menurut
> saya bukan masalah topiknya tapi adanya dua kepentingan yang
> berseberangan yang tidak bisa direkonsilisiakan atas topik tersebut.
> topik yang paling tidak logispun bisa dicapai permukatan kalo tidak
> ada kepentingan yang saling berseberangan dari orang2 yg membahas
> topik tersebut.
> Jelas bukan sekarang! kita sedang membahas kepentingan pihak
tersebut yang dengan liciknya memakai topeng demokrasi, lalu kenapa
kita harus bermufakat?!
>
>
> > Saya sama sekalitidak melihat urgensitas dan atau kebutuhan yang
> mendesak atas ditetapkany RUU Pornografi ini.
>
> untuk yang ini saya setuju
>
> > Kita sudah punya begitu banyak undang-undang yang secara jelas sudah
> mengatur hal-hal tersebut diatas,
>
>
> Minta tolong saudara Gendo dan Ancak untuk hal Ini, saya tidak
bisa menyebutkan secara jelas bukti pasal berapa kitab hukum yang
mana, tapi kita semua sepakat, bahwa aturan untuk hal-hal termaktub
dalam RUU Pornografi sudah diatur di Kitab perundangan lainya.
>
>
> harus di verifikasi dulu pernyataan ini dengan bukti
>
> pertanyaanya adalah, sejauh manakah konsistensi dan ketegasan
> pemerintah dalam melaksanakan aturan perundangan itu?
>
> akan sangat sulit menetukan parameter dari suatu ketegasan kalo
> konsistensi sih lebih memungkinkan
>
> Misalkan saja begini blonk, Kita punya undang-undang perlindungan
anak, tapi sebagain dari kita juga tahu bahwa banyak sekali anak yang
di eksploitasi, atau tanpa sengaja tereksploitasi menjadi pekerja di
bawah umur, Misalkan saja di daerahku, ada proyek dari Dinas PU untuk
perbaikan jalan, yang dikelola oleh CV XXX semua orang yang melintas
di jalan itu, mulai dari guru, murid, mahasiswa, dosen, polisi,
mungkin juga jaksa, hakim dan lain sebagainya, melihat dengan mata
kepala mereka sendiri ada seorang bocah usia 10-14 tahun menjadi
pengangkut batu di jam dimana mereka seharusnya bersekolah, tapi hal
itu tetap berlangsung, no body care, padahal sudah jelas ada
undang-undang perlindungan anak.
>
> > Klo memang masalahnya konsistensi, maka kita tambahakan 1100 undang
> undang barupun tidak akan mampu mengubah prilaku warga negara!
>
> ketidakjelasan logika, perlu diperjelas hubunggan konsistensi
> pemerintah dengan perubahan perilaku warga negara
> dan perlu diperjelas juga apakah undang-undang dibuat untuk mengubah
> perilaku warga negara? atau sekedar sebagai suatu aturan main?
> Pih pelit sekali sich sama ruang gerak pembahasan? macam bikin
AD/ART senat jaman dulu gen ne!
>
> Sekedar aturan main....ehm enaknya di mulai dari sini kali ya?
memang benar aturan perundang-undangan dibuat sebagai aturan main
dalam menjalankan roda pemerintahan, tapi esensi lebih jauhnya adalah
menciptakan keteraturan, nah logika gobloknya keteraturan diciptakan
dari ketidak teraturan, atau dari keteraturan yang kurang teratur (
nah apalagi tuh?!)
>
> Trus rentetanya ketidak teraturan pastinya bukan merupakan sesuatu
yang secara sadar direncanakan oleh sekelompok orang utuk dilaksanakan
secara konsisten. Artinya keteraturan cenderung berasal dari Prilaku
tidak teratur.
>
> Semisal saja di makassar ada semacam hukum adat tidak tertulis
tentang Siri yaitu semacam kesepakatan tentang harga diri, jika
sesorang sudah disinggung tentang harga dirinya, maka nyawa sudah
tidak lagi menjadi hal yang berharga. Sudah sangat jelas ini merupakan
prilaku meyimpang sekelompok masyarakat, yang oleh KUHP ingin di ubah
dan dipolakan supaya pembunuhan atas nama harga diri bisa ditekan dan
atau dicegah. terkolerasi?
>
>
>
>
> > Jangankhan RUU Pornografi yang masih kontroversial, KUHP dan KUHAP
> yang sudah di akui dan memiliki kekuatan hukum tetap saja masih belum
> bisa dilaksanakan dengan konsisten,
>
> diperlukan contoh kasus dan bukti untuk pernyataan ini, parameter
> konsistensi apa?
>
> Wah kalo ngomongin ketidakkonsistenan pemerintah dalam
melaksanakan hukum di negeri ini sich kayaknya hampir semua orang juga
bisa tunjuk satu bintang blonk (pasti ntar reply-anya, mohon contoh
konkrit, ya khan?)
>
> apalagi Undang-undang baru yang oileh sebagian warga negaranya
> dianggap tidak perlu?!
>
> akhirnya ada pernyataan yang logis
>
> xixixix emang dari tadi tidak logis ya?! kok gak ngerasa
>
> mohon pencerahan lebih lanjut
>
> >
>
> > Nengah
> >
> > ----- Original Message -----
> > From: Gusti Ngurah Putu Sidarta Wijaya
> > To: bali-bali@yahoogroups.com
> > Sent: Sunday, September 28, 2008 7:37 PM
> > Subject: [bali-bali] Re: Balkanisasi NKRI
> >
> >
> > Bli Nengah,
> >
> > voting hanyalah salah satu fitur dari demokrasi. mungkin bli Nengah
> > menganggap voting adalah pemaksaan namun voting kadang diperlukan
> > dalam demokrasi. ketika terjadi dead lock, permufakatan tidak
> > tercapai, tidak ada pihak yang mau mengalah, "lose-lose" solution
> > tidak bisa diambil, sedangkan KEPUTUSAN HARUS DIAMBIL, saya cuma
> > melihat voting sebagai satu-satunya jalan mengambil keputusan.
> >
> > kita harus melihat konteks situasi dimana voting sering digunakan,
> > jangan hanya menganalisa karakteristik dari voting saja. kalo memang
> > ingin menang dalam voting ya kumpulkan pengikut, lobbying, bikin
> > agreement ato apalah, kalo voting merugikan minoritas dan yang lemah
> > berarti yang minoritas dan yang lemah harus berusaha lebih keras dan
> > lebih cerdik agar permukatan bisa dicapai dan tidak terseret dalam
> > voting, bukannya menyalahkan sistem atas kelemahan kita sendiri.
> >
> > --- In bali-bali@yahoogroups.com , "Gmail" <nengah.sumerta@> wrote:
> > >
> > > Wuih!
> > >
> > > aroma balkan tercijm jelas dari tanggapanya Bli Wibi!
> > > Klo sudah ada kata Harus menerima, xixixi itu sudah lebih masuk ke
> > daerah pemaksaan kehendak!, pendek kata, tidak ada penghargaan atas
> > perbedaan!
> > > masak 50% +1 di anggap adil, saya sich tidak melihat itu sebagi
> > konsekwensi atas nama demokrasi, Ituloh, toleransinya DIMANA??
> > > Pemaksaan pola pikir terhadap anak bangsa adalah salah satu biang
> > kerok disintegrasi bangsa.
> > > Ketika kita memahami hal itu, lalu kenapa ada orang yang tetep
> > memperjuangkanya, padahal dampaknya sudah jelas: DISINTEGRASI
> Bangsa....
> > > so, itukah produk demokrasi yang paling demokratis??
> > > Terlepas apakah itu arabisasi, ataupun balkanisasi, ataupun apapun
> > namanya kelak, jika akibat jangka panjangnya adalah disintegrasi
> > bangsa, maka siapapun, rela atau tidak rela hasur berjuang
> menghentikanya!
> > >
> > > Ingat, negara ini m\didirikan, diperjuangkan, dimerdekakan, dan
> > dipertahankan Dengan Kebhinekaan,
> > > Jadi jangan pernah berpikir mau memaksakan kehendak seenak
udel.....
> > > Jangan salahkan Papua Minta Merdeka, jangan salahkan Aceh, Jangan
> > salahkan Maluku, (Mungkin jangan salahkan Bali)
> > > Jika pola pikir macam yang balkan punya masih diberi ruang
gerak di
> > NKRI!
> > >
> > > Suksma!
> > >
> > >
> > > ----- Original Message -----
> > > From: Wibisono Sastrodiwiryo
> > > To: bali-bali@yahoogroups.com
> > > Sent: Sunday, September 28, 2008 4:08 PM
> > > Subject: [bali-bali] Re: Balkanisasi NKRI
> > >
> > >
> > > --- In bali-bali@yahoogroups.com , "Gmail" <nengah.sumerta@> wrote:
> > > >
> > > >
> > > > voting ??!! itu senjata paling bodoh dan paling tidak demokratis
> > > yang saya kenal,
> > >
> > > Salam Pak Nengah,
> > >
> > > Terlepas dari apakah RUU Pornografi mau di voting atau tidak tapi
> > > pandangan pak Nengah terasa agak aneh. Memangnya Pak Nengah
mengenal
> > > demokrasi dari mana? kok voting dianggap tidak demokratis.
> > >
> > > Voting adalah fitur terpenting dalam demokrasi, dengan fitur ini
> juga
> > > demokrasi menjadi punya kelebihan dibanding sistem yang lain.
Tanpa
> > > voting demokrasi tak berbeda.
> > >
> > > Sekedar referensi:
> > > http://fatihsyuhud.com/2008/ 09/18/pornograph y-bill/
> > >
> > > > jika perhitunganya 50% +1 trus yang 49% mau diapain??
> > >
> > > Kalau mau konsekuen dalam berdemokrasi maka tidak ada jalan lain
> > > selain menerima. Kalau tidak mau menerima tapi masih mau memakai
> label
> > > demokrasi maka inilah yang membuat kita dianggap belum memahami
> > > demokrasi sehingga pihak luar merasa perlu untuk intervensi,
> atur sana
> > > atur sini.
> > >
> > > Sebenarnya sistem demokrasi cukup lengkap fiturnya. Jika tidak
> setuju
> > > tinggal tunggu periode berikutnya dan jangan pilih yang tidak
> > > aspiratif. Cuma memang butuh waktu untuk siklusnya dan rakyat
sering
> > > tidak sabar karena memang tuntunan hidup yang berat. Itulah
sebabnya
> > > pilkada sering rusuh.
> > >
> > > Tapi memang demokrasi liberal terasa tidak sepenuhnya cocok dengan
> > > karakter bangsa dan tidak selalu memberi solusi pada problem
bangsa.
> > > Karena itulah Bung Karno mencari formula baru yang disebut
demokrasi
> > > Pancasila.
> > >
> > > Seperti apa demokrasi Pancasila masih terus berproses, tapi yang
> jelas
> > > demokrasi yang lebih mengedepankan musyawarah ketimbang voting.
> Orang
> > > sering frustasi dengan demokrasi hingga hampir hampir
> > meninggalkannya.
> > >
> > > Wapres Jusuf Kalla pernah menuduh demokrasi tidak efektif dan
> > > inefisien hingga membuat heboh. Ada satu artikel tentang
frustasinya
> > > orang orang pada demokrasi:
> > >
> >
>
http://indrapiliang.com/2007/ 12/26/catatan- akhir-tahun- kalau-bukan- demokrasi- apa/
> > >
> > > Semoga bisa bermanfaat.
> > >
> > > Wibi
> > >
> >
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar