__._,_.___----- Original Message -----From: madesutjitaSent: Tuesday, September 30, 2008 10:04 AMSubject: [bali-bali] Yogyakarta mau bercerai dari NKRI bukan sepenuhnya karena RUUPBenih-benih perpecahan mulai merongrong NKRI. Kalau RUUP (draftnya
Balkan) disahkan, rakyat Bali, NTT, Papua, Sulut dan KalTeng mungkin
akan minta cerai pula. Wah bagaimana baiknya... Sebaiknya
kita "nunas baos" minta petunjuk dari Bung Karno, para pahlawan
kemerdekaan dan pendiri NKRI lainnya.
:o)
Suksema,
Made Sutjita
"Status Yogyakarta Harus Tetap Istimewa"
Kamis, 25 September 2008 | 17:51 WIB
TEMPO Interaktif, Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menegaskan,
status keistimewaan Yogya tidak bisa dipisahkan dari Piagam Kedudukan
dan Maklumat 5 September 1945 yang telah menjadi fakta sejarah.
Mengingkari fakta sejarah tersebut berarti bercerai atau ada
pemutusan hubungan sepihak oleh pemerintah pusat.
"Bercerai berarti ada pemutusan hubungan sepihak. Karena itu,
(pemerintah pusat) harus bertanya kepada rakyat Yogya," tegas Sultan
Hamengku Buwono X Kamis (25/9).
Penegasan Sultan Hamengku Buwono X ini menanggapi sikap pemerintah
pusat tentang Rancangan Undang-undangan Keistimewaan Yogya, di
antaranya pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan
dengan mekanisme pemilihan. Menurut Sultan, sikap pemerintah pusat
itu telah mengingkari fakta sejarah berupa Piagam Kedudukan 19
Agustus 1945 dan Maklumat 5 September 1945.
Sultan menampik perkataan 'bercerai' itu diartikan sebagai upaya
Provinsi DIY untuk merdeka atau memisahkan diri dari NKRI. Sebab,
katanya, posisi Yogyakarta sebagai bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia sudah final.
Berlarut-larutnya pembahasan mengenai RUU Keistimewaan saat ini,
menurut Sultan karena pemahaman yang berbeda. Pemerintah pusat
memahami persoalan keistimewaan berdasar peraturan yang ada sekarang.
"Sementara saya melihat bahwa Piagam Kedudukan dan Maklumat 5
September itu yang namanya Kepala Daerah adalah melekat (pada diri
Sultan dan Pakualam). Jadi bukan soal demokrasi, tapi masalah
pemahaman yang berbeda," kata Sultan.
Piagam Kedudukan yang ditandatangani Presiden Soekarno tanggal 19
Agustus 1945 dan Maklumat 5 September 1945 diibaratkan Sultan sebagai
ijab kabul antara Soekarno selaku Kepala Negara RI saat itu dengan
Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII. Memaksakan pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, menurutnya berarti bertentangan
dengan ijab kabul.
"Kalau tidak lagi mengakui ijab kabul antara Sultan terdahulu dengan
Soekarno saat itu, (pemerintah pusat harus) tanya ke rakyat Yogya,"
tegas Sultan.
Sultan juga menegaskan, jabatan kepala daerah istimewa Yogyakarta
yang melakat pada diri Sultan dan Paku Alam bukanlah inkonstitusional
karena ada fakta sejarahnya. Jika belakangan ini muncul tudingan hal
itu sebagai sebuah tindakan inkonstitusional, menurut Sultan Hamengku
Buwono X, sangat mungkin orang tersebut tidak mengerti asal usul
keistimewaan Yogya dari awal.
Fakta sejarah tentang adanya Piagam Kedudukan tanggal 19 Agustus 1945
serta Maklumat 5 September 1945 yang menjadi dasar hukum status
keistimewaan Yogya ini juga akan dijelaskan di depan Komisi II DPR RI
nanti. "Perbedaan cara pandang ini kan nanti yang akan diperdebatkan
di Komisi II," jelas Sultan.
No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - http://www.avg.com
Version: 8.0.173 / Virus Database: 270.7.5/1698 - Release Date: 9/29/2008 7:25 PM
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar