KOMPAS | Sabtu, 25 Juli 2009 | 04:48 WIB
Ahmad Syafii Maarif
Dalam kultur demokrasi yang kita perjuangkan agar kian sehat, kuat, dan bersih, mungkin tidak ada salahnya menyampaikan "rahasia" dapur politik pribadi.
Pada putaran pertama Pilpres 2004, saya memilih Amien Rais-Siswono. Mereka saya pandang akan melakukan perubahan politik yang lebih berpihak kepada rakyat, tidak membungkuk kepada asing. Pilihan itu saya nilai benar meski kalah—posisi nomor empat, di atas Hamzah Haz-Agum Gumelar—karena aneka faktor.
Meski Amien Rais-Siswono menjadi pilihan saya, kekalahan ini tidak mengagetkan meski menyisakan perasan tak sedap. Setelah Amien Rais kandas, untuk beberapa lama, merasa tak nyaman melihat saya. Tim suksesnya menduga, saya tidak mendukung sepenuh hati.
Dalam posisi sebagai pimpinan Muhammadiyah saat itu, saya tidak mungkin melangkah lebih jauh. Perkara ada pihak yang tidak nyaman, biarlah itu menjadi simpanan dalam memori masing-masing. Saya menerima semuanya dengan perasaan biasa.
Rindu Indonesia sejahtera
Jika melihat hasil pertarungan politik beberapa tahun terakhir, saya sadar tidak punya pengaruh signifikan dalam pemilu legislatif dan pilpres. Karena itu, jangan memandang saya sebagai warga penting di republik ini. Saya adalah seorang warga sepuh yang amat merindukan Indonesia yang adil, sejahtera, dan berdaulat penuh. Jika saya kadang terkesan mengeluarkan pernyataan bernuansa politik, itu karena kecintaan saya kepada bangsa dan negara ini agar cepat keluar dari belenggu ketidakpastian.
Bisa saja pernyataan semacam itu dinilai kurang arif. Itu risiko yang harus saya terima. Di dunia politik, orang tidak jarang memberi tafsiran saling berlawanan, bahkan tafsiran liar. Saya ingin, pemimpin puncak Indonesia modern adalah pribadi yang teguh, berani, tegas, tidak peragu. Pertimbangan inilah yang sering memaksa saya untuk tidak diam.
Soal JK
Kembali ke Pilpres 2004. Karena pilihan saya kandas dalam ronde pertama, pasangan yang akan bertarung 20 September 2004 adalah Mega-Hasyim versus SBY-JK. Lagi-lagi karena ingin perubahan, saya beralih ke pasangan SBY-JK meski hubungan baik dengan Mega-Hasyim tetap terjaga.
Kepala BIN Syamsir Siregar bersama pengusaha Rusdi Latif malah mengajak saya ke Aceh untuk sekadar membaca peta meski sebenarnya telah terjadi kampanye terselubung. Di Aceh saya tidak menganjurkan untuk memilih pasangan yang mana, tetapi karena bersama rombongan BIN, orang tentu akan memberi tafsiran tersendiri.
Sebagai pimpinan Muhammadiyah saat itu, saya berusaha netral, tetapi amat sulit. Sebagaimana dimaklumi, SBY-JK memenangi Pilpres 2004. KPU yang dibentuk di bawah pemerintahan Mega-Hamzah, meski belakangan menyisakan masalah hukum, telah bekerja profesional. Hampir tidak ada protes atas kinerja KPU dalam Pileg/Pilpres 2004.
Dengan latar belakang itu, mengapa pada Pilpres 2009 saya mempromosikan JK berpasangan dengan Wiranto? Tentu dengan kelebihan dan kekurangannya. Mohon maaf jika saya tidak pernah simpati kepada Golkar meski JK ketua umumnya. Saya memilih JK berdasar jejak rekam dan kiprahnya dalam politik kebangsaan selama 10 tahun terakhir, yang saya nilai positif dan berani. Seandainya JK lahir di Jawa, Kalimantan, atau Ende, tetapi dengan jejak rekam yang sama, saya tetap memilihnya.
Jadi, tidak ada hubungan dengan jargon Jawa-luar Jawa, hal yang sudah lebur dalam kemasan keindonesiaan saya. Tentang jejak rekam JK, banyak dibongkar, bertalian dengan proses perdamaian di Poso, Ambon, dan Aceh, gertakan terhadap IMF yang ingin mendikte Indonesia, atau beberapa kebijakan publik yang kontroversial. Faktanya jelas. Para penulis sejarah politik kebangsaan pasti akan bermunculan untuk mengenal lebih jauh sosok JK meski dia gagal menjadi presiden ke-7 Indonesia.
Sebenarnya, baru belakangan JK menyatakan siap dicalonkan menjadi presiden karena desakan berbagai situasi, bukan diarsiteki lebih dini. Jika dirancang sejak dua tahun sebelumnya, strategi akan lebih matang meski Golkar tidak sepenuh hati mendukung.
Ketika sekitar dua tahun lalu saya katakan kepada JK agar berpikir untuk maju sebagai capres, isyarat yang terlihat adalah "geleng", bukan "angguk". Artinya, sejak mula JK tidak pernah bermimpi menjadi presiden. Maka, kekalahannya secara kesatria dapat dipahami, karena tidak ingin menjadi presiden.
Namun, jika hoki, saya percaya Indonesia akan berubah ke arah lebih baik dan bermartabat dalam tempo cepat. Seandainya ada putaran kedua dan yang lolos pasangan SBY-Boediono versus Mega-Prabowo, demi perubahan, pilihan saya jatuh kepada Mega-Prabowo, dengan segala catatan kaki terhadap mereka.
Tak menyesal
Meski terempas, saya tak menyesal telah mendukung JK-Wiranto karena negeri ini memerlukan pemimpin nasional yang tangguh dan sigap, kualitas yang terlihat pada pasangan itu.
Dalam pertimbangan serupa, saya berharap agar pemilih pasangan SBY-Boediono jangan menyesal jika janji-janji tidak menjadi kenyataan, kemiskinan tetap mendera bangsa ini.
Kekalahan JK tidak perlu ditangisi sebab sejarah akan mencatat, dalam Pilpres 2009 demokrasi Indonesia masih terpukau bentuk, bukan jejak rekam substansial seseorang.
Selamat kepada SBY-Boediono, pemenang Pilpres 2009. Semoga kita belajar dari kegagalan atau keberhasilan masa lampau. Amanat perbaikan bangsa lima tahun mendatang ada di pundak SBY-Boediono. Siapa tahu pasangan ini membawa terobosan signifikan bagi Indonesia yang berwibawa dan diperhitungkan dalam percaturan global.
Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
--
'The greatest event of our age is the meeting of cultures, meeting of civilizations, meeting of different points of view, making us understand that we should not adhere to any one kind of single faith, but respect diversity of belief. That is what we should attempt to do. The iron curtain, so to say, which divided one culture from another, has broken down. It is good that we recognize and emphasize the need of man to regard other people, their cultures, their beliefs etc. to be more or less on the same level as our own cultures and our own civilizations. It is not a sign of weakening faith; it is a sign of increasing maturity. If man is unable to look upon other people's cultures with sympathy and if he is not able to co-operate with them, then it only shows immaturity on the part of the human individual. We need co-operation, not conflict. It requires great courage in such difficult days as the present to speak of peace and co-operation. It is more easy to talk of enemies, of conflict and war. We should try to resist that temptation. Our attempt should always be to co-operate, to bring together people, to establish friendship and have some kind of a right world in which we can live together in happiness, harmony and friendship. Let us therefore realize that this increasing maturity should express itself in this capacity to understand what other points of view are'.
-Professor Sarvepalli Radhakrishnan, philosopher, President of India, his speech for the inauguration of the The Indian Institute of Advanced Study on 20 October 1965. http://www.iias.org/
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar