Berita Politik |
Minggu, 31 Mei 2009 | Bali Post |
Dewan Badung Jelang Lengser |
Malas Rapat, Pelesir Padat, Ngotot Dana Purnabakti |
Menjelang lengser, kinerja dan tingkah polah anggota DPRD Badung perlu mendapat sorotan. Hal ini ditunjukkan dari sejumlah tugas dan fungsi anggota wakil rakyat Badung yang belakangan ini kerap terganggu masalah yang cenderung mengarah kepentingan pribadi. Beberapa indikatornya yakni sejumlah anggota DPRD Badung belakangan ini yang jarang ngantor, namun jadwal kunjungan kerja (pelesir) yang padat. DUA orang anggota Dewan Badung yang belakangan mendapat sorotan karena jarang ngantor yaitu A.A. Kusuma Wijaya dan Wayan Suardana. Keduanya sempat menjadi bahan pembicaraan anggota Dewan Badung lainnya karena jarang nongol di kantor. Konon, keduanya membawa lari uang panas Rp 3 miliar dari proyek Puspem Badung. Namun belakangan, kedua anggota Dewan ini menampik tudingan tersebut. Mereka mengaku saat ngantor, justru anggota lainnya yang tidak hadir. Untuk membuktikannya, mereka berdalih sulit, karena absensi anggota Dewan Badung akhir-akhir ini ditiadakan. Malasnya anggota Dewan Badung lainnya juga terlihat saat menghadiri sejumlah rapat penting. Pada salah satu rapat pleno pada Mei ini, masalah minimnya kehadiran anggota Dewan sempat mendapat sorotan Ketua DPRD Badung I Gde Adnyana dan Ketua BK Wayan Sandra. Keduanya mengaku kecewa dengan anggota yang tidak hadir secara fisik mengikuti rapat yang sejatinya teramat penting khususnya untuk menentukan sikap dan keputusan Dewan. Dalam sebuah wawancara belum lama ini, Adnyana tidak menampik, sindrom malas ini kemungkinan besar sebagai imbas jelang lengsernya Dewan periode sekarang yang tinggal hitungan bulan. Dia pun meminta para anggota Dewan untuk konsisten melaksanakan tugas dan kewajiban. Senada dengan hal tersebut, Wayan Sandra mengaku malu dengan beberapa rekannya yang jarang ngantor tanpa alasan jelas. Menurutnya, meski sanksi secara organisasi belum ada, semestinya anggota Dewan punya rasa malu dan tanggung jawab moral kepada rakyat. Sebab, kata dia, sejatinya gaji yang didapat anggota Dewan berasal dari rakyat. Meski sindrom malas menjangkit, namun pelesir menjadi hal yang sulit dilewatkan anggota Dewan Badung. Jadwal pelesir DPRD Badung terbilang cukup padat. Di bulan Mei ini saja, sudah dua kali keberangkatan ke luar daerah yang dilakukan. Pertama, Pansus RPJP dan Pansus WDP pelesir pertengahan bulan lalu. Kedua, Pansus RPJP dan Pansus pembentukan badan yang berangkat akhir bulan Mei. Sementara untuk pelesir ke luar negeri yakni Italia dan Cina kemungkinan besar dilaksanakan usai Pilpres mendatang. Pasalnya, pelesir Dewan Badung ke luar negeri terganjal imbauan pemerintah pusat. Pusat mengimbau pelesir ke luar negeri bagi anggota Dewan sebaiknya dilaksanakan pascapilpres Agustus mendatang. Di sisi lain, nampaknya anggota Dewan Badung tidak puas dengan dana purnabakti yang didapat. Indikasinya, adanya utusan DPRD Badung untuk melobi Bupati ngotot menerima dana purnabakti di luar ketentuan yang berlaku. Inilah yang menjadi pemicu isu aliran uang panas Rp 3 miliar ke Dewan Badung yang tidak dibagi merata. Isu uang panas dan tim pelobi Bupati pun buru-buru dibantah oleh sebagian besar kalangan DPRD Badung. Ketua DPRD I Gde Adnyana mengakui jumlah dana purnabakti yang didapat, relatif sedikit. Digambarkannya, untuk posisi Ketua DPRD, dana purnabakti yang diberikan sesuai aturan adalah enam kali uang representasi yang sebesar Rp 2,1 juta. Ini artinya, ketua hanya mendapat Rp 12,6 juta. Sementara, untuk anggota dana purnabaktinya enam kali Rp 1,7 juta. (ded) |
--
'The greatest event of our age is the meeting of cultures, meeting of civilizations, meeting of different points of view, making us understand that we should not adhere to any one kind of single faith, but respect diversity of belief. That is what we should attempt to do. The iron curtain, so to say, which divided one culture from another, has broken down. It is good that we recognize and emphasize the need of man to regard other people, their cultures, their beliefs etc. to be more or less on the same level as our own cultures and our own civilizations. It is not a sign of weakening faith; it is a sign of increasing maturity. If man is unable to look upon other people's cultures with sympathy and if he is not able to co-operate with them, then it only shows immaturity on the part of the human individual. We need co-operation, not conflict. It requires great courage in such difficult days as the present to speak of peace and co-operation. It is more easy to talk of enemies, of conflict and war. We should try to resist that temptation. Our attempt should always be to co-operate, to bring together people, to establish friendship and have some kind of a right world in which we can live together in happiness, harmony and friendship. Let us therefore realize that this increasing maturity should express itself in this capacity to understand what other points of view are'.
-Professor Sarvepalli Radhakrishnan, philosopher, President of India, his speech for the inauguration of the The Indian Institute of Advanced Study on 20 October 1965. http://www.iias.org/
__._,_.___