KUTA, KOMPAS.com--Seorang tokoh masyarakat Kuta, Asana Viebeke Lengkong mengemukakan bahwa penertiban gigolo di Pantai Kuta, kabupaten Badung, Bali, sebetulnya tidak perlu, kecuali hanya pada mereka yang membahayakan.
"Saya kira tidak perlu sampai melakukan tindakan berlebihan seperti `sweeping` terhadap para gigolo di Kuta. Itu tidak penting, kecuali terhadap mereka yang membahayakan," ujarnya di Kuta, Minggu.
Ia mengemukakan bahwa keberadaan gigolo di Kuta, sulit diberantas karena selain sudah ada sejak puluhan tahun lalu mereka juga memiliki komunitas layaknya komunitas lainnya seperti gay, yang selalu tumbuh seiring dinamika masyarakat.
Menurut wanita yang mengenal banyak komunitas masyarakat di Bali ini, komunitas gigolo lahir dalam kehidupan masyarakat Kuta sejak puluhan tahun lalu, sehingga tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja.
Ia mengemukakan, sebenarnya tidak semua gigolo membahayakan. Ada tiga kategori yang bisa secara tepat menggambarkan sosok gigolo di kawasan internasional Pantai Kuta.
"Pertama gigolo yang merupakan profesi permanen sehingga mereka menjadikan gigolo sebagai profesi untuk semata mendapatkan uang. Jadi mereka ini bekerja profesional untuk memenuhi hasrat para turis," ujarnya.
Kategori kedua, adalah gigolo kontemporer dimana mereka awalnya masuk ke dunia gigolo hanya untuk mencoba-coba. Mereka ini nantinya ada yang menekuni gigolo sebagai profesi, namun ada juga yang sebaliknya.
"Yang berbahaya dan patut diwaspadai adalah mereka yang masuk kategori ketiga, yakni gigolo musiman, dimana mereka semata-mata mencari duit dan bukan sebagai profesi. Jadi jangan disamaratakan," kata Viebeke.
Mereka yang menjadikan gigolo untuk lahan mencari duit ketika menemukan pasangan kerap berbuat nekat dan membahayakan, seperti serangkaian kasus terbunuhnya wanita Jepang di Kuta beberapa waktu terakhir
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar