Kebijakan Publik dan Etika Publik 18 Mei
Saya rasanya lebih berat berdiri disini daripada waktu dipanggil
pansus Century.
Dan saya bisa merasakan itu karena sometimes dari moral dan etikanya jelas
berbeda. Dan itu yang membuat saya jarang sekali merasa grogi sekarang
menjadi
grogi. Saya diajari pak Marsilam untuk memanggil orang tanpa mas atau bapak,
karena diangap itu adalah ekspresi egalitarian. Saya susah manggil
'Marsilam',
selalu pakai 'pak', dan dia marah. Tapi untuk Rocky saya malam ini
saya panggil
Rocky (Rocky Gerung dari P2D) yang baik. Terimakasih atas...... (tepuk
tangan)
;;
Tapi saya jelas nggak berani manggil Rahmat Toleng dengan Rahmat Tolengtor,
kasus. Terimakasih atas introduksi yang sangat generous. Saya sebetulnya
agak
keberatan diundang malam hari ini untuk dua hal. Pertama karena
judulnya adalah
memberi kuliah. Dan biasanya kalau memberi kuliah saya harus, paling tidak
membaca textbook yang harus saya baca dulu dan kemudian berpikir keras
bagaimana
menjelaskan.
Dan malam ini tidak ada kuliah di gedung atau di hotel yang begitu bagus tu
biasanya kuliah kelas internasional atau spesial biasanya. Hanya untuk
eksekutif
yang bayar SPP nya mahal. Dan pasti neolib itu (disambut tertawa). Oleh
karena
itu saya revisi mungkin namanya lebih adalah ekspresi saya untuk berbicara
tentang kebijakan publik dan etika publik.
Yang kedua, meskipun tadi mas Rocky menyampaikan, eh salah lagi. Kalau tadi
disebutkan mengenai ada dua laki-laki, hati kecil saya tetap saya akan
mengatakan sampai hari ini saya adalah pembantu laki-laki itu (tepuk
tangan).
Dan malam ini saya akan sekaligus menceritakan tentang konsep etika yang
saya
pahami pada saat saya masih pembantu, secara etika saya tidak boleh untuk
mengatakan hal yang buruk kepada siapapun yang saya bantu. Jadi saya
mohon maaf
kalau agak berbeda dan aspirasinya tidak sesuai dengan amanat pada hari ini.
Tapi saya diminta untuk bicara tentang kebijakan publik dan etika publik.
Dan
itu adalah suatu topik yang barangkali merupakan suatu pergulatan harian
saya,
semenjak hari pertama saya bersedia untuk menerima jabatan sebagai menteri
di
kabinet di Republik Indonesia itu.
Suatu penerimaan jabatan yang saya lakukan dengan penuh kesadaran,
dengan segala
upaya saya untuk memahami apa itu konsep jabatan publik. Pejabat negara yang
pada dalam dirinya, setiap hari adalah melakukan tindakan, membuat
pernyataan,
membuat keputusan, yang semuanya adalah dimensinya untuk kepentingan publik.
Disitu letak pertama dan sangat sulit bagi orang seperti saya karena
saya tidak
belajar, seperti anda semua, termasuk siapa tadi yang menjadi MC, tentang
filosofi. Namun saya dididik oleh keluarga untuk memahami etika di dalam
pemahaman seperti yang saya ketahui. Bahwa sebagai pejabat publik,
hari pertama
saya harus mampu untuk membuat garis antara apa yang disebut sebagai
kepentingan
publik dengan kepentingan pribadi saya dan keluarga, atau kelompok.
Dan sebetulnya tidak harus menjadi muridnya Rocky Gerung di filsafat UI
untuk
pintar mengenai itu. Karena kita belajar selama 30 tahun dibawah rezim
presiden
Soeharto. Dimana begitu acak hubungan, dan acak-acakan hubungan antara
kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dan itu merupakan modal awal
saya
untuk memahami konsekuensi menjadi pejabat publik yang setiap hari
harus membuat
kebijakan publik dengan domain saya sebagai makhluk, yang juga punya privacy
atau kepentingan pribadi.
Di dalam ranah itulah kemudian dari hari pertama dan sampai lebih dari 5
tahun
saya bekerja untuk pemerintahan ini. Topik mengenai apa itu kebijakan
publik dan
bagaimana kita harus, dari mulai berpikir, merasakan, bersikap, dan membuat
keputusan menjadi sangat penting. Tentu saya tidak perlu harus mengulangi,
karena itu menyangkut, yang disebut, tujuan konstitusi, yaitu kepentingan
masyarakat banyak. Yaitu mencapai kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.
Jadi kebijakan pubik dibuat tujuannya adalah untuk melayani masyarakat,
Kebijakan publik dibuat melalui dan oleh kekuasaan. Karena dia dibuat oleh
institusi publik yang eksis karena dia merupakan produk dari suatu proses
politik dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya. Disitulah letak
bersinggungan, apa yang disebut sebagai ingridient utama dari
kebijakan publik,
yaitu unsur kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat mudah menggelincirkan kita.
Kekuasaan selalu cenderung untuk corrupt. Tanpa adanya pengendalian dan
sistim
pengawasan, saya yakin kekuasaan itu pasti corrupt. Itu sudah dikenal
oleh kita
semua. Namun pada saat anda berdiri sebagai pejabat publik, memiliki
kekuasan
dan kekuasan itu sudah dipastikan akan membuat kita corrupt, maka pertanyaan
'kalau saya mau menjadi pejabat publik dan tidak ingin corrupt, apa yang
harus
saya lakukan?'
Oleh karena itu, di dalam proses-proses yang dilalui atau saya lalui, jadi
ini
lebih saya cerita daripada kuliah. Dari hari pertama, karena begitu
khawatirnya,
tapi juga pada saat yang sama punya perasaan anxiety untuk menjalankan
kekuasaan, namun saya tidak ingin tergelincir kepada korupsi, maka pada hari
pertama anda masuk kantor, anda bertanya dulu kepada sistem pengawas
internal
anda dan staff anda. Apalagi waktu itu jabatan dari Bappenas menjadi Menteri
Keuangan. Dan saya sadar sesadar sadarnya bahwa kewenangan dan kekuasaan
Kementrian Keuangan atau Menteri Keuangan sungguh sangat besar. Bahkan
pada saat
saya tidak berpikir corrupt pun orang sudah berpikir ngeres mengenai hal
itu.
Bayangkan, seseorang harus mengelola suatu resources yang omsetnya tiap
tahun
sekitar, mulai dari saya mulai dari 400 triliun sampai sekarang diatas 1000
triliun, itu omset. Total asetnya mendekati 3000 triliun lebih.(batuk2) Saya
lihat (ehem!) banyak sekali (ehem lagi) kalau bicara uang terus
langsung....(ada
air putih langsung datang diiringi ketawa hadirin).
Saya sudah melihat banyak sekali apa yang disebut tata kelola atau
governance.
pada saat seseorang memegang suatu kewenangan dimana melibatkan uang
yang begitu
banyak. Tidak mudah mencari orang yang tidak tergiur, apalagi terpeleset,
sehingga tergoda bahwa apa yang dia kelola menjadi seoalh-olah menjadi
barang
atau aset miliknya sendiri.
Dan disitulah hal-hal yang sangat nyata mengenai bagaimana kita harus
membuat
garis pembatas yang sangat disiplin. Disiplin pada diri kita sendiri
dan dalam,
bahkan, pikiran kita dan perasaan kita untuk menjalankan tugas itu secara
dingin, rasional, dengan penuh perhitungan dan tidak membolehkan perasaan
ataupun godaan apapun untuk, bahkan berpikir untuk meng-abusenya.
Barangkali itu istilah yang disebut teknokratis. Tapi saya sih
menganggap bahwa
juga orang yang katanya berasal dari akademik dan disebut tekhnokrat tapi
ternyata 'bau'nya tidak seperti itu. Tingkahnya apalagi lebih-lebih. Jadi
saya
biasanya tidak mengklasifikasikan berdasarkan label. Tapi berdasarkan
genuine
product nya dia hasilnya apa, tingkah laku yang esensial.
Nah, di dalam hari-hari dimana kita harus membicarakan kebijakan publik, dan
tadi disebutkan bahwa kewenangan begitu besar, menyangkut sebuah atau nilai
resources yang begitu besar. Kita mencoba untuk menegakkan
rambu-rambu, internal
maupun eksternal.
Mungkin contoh untuk internal hari pertama saya bertanya kepada Inspektorat
Jenderal saya. "Tolong beri saya list apa yang boleh dan tidak boleh dari
seorang menteri." Biasanya mereka bingung, tidak perndah ada menteri
yang tanya
begitu ke saya bu. Saya menetri boleh semuanya termasuk mecat saya.
Kalau seorang menteri kemudian menanyakan apa yang boleh dan nggak boleh,
buat
mereka menjadi suatu pertanyaan yang sangat janggal. Untuk kultur
birokrat, itu
sangat sulit dipahami. Di dalam konteks yang lebih besar dan alasan yang
lebih
besar adalah dengan rambu-rambu. Kita membuat standart operating
procedure, tata
cara, tata kelola untuk membuat bagaimana kebijakan dibuat. Bahkan
menciptakan
sistem check and balance.
Karena kebijakan publik dengan menggunakan elemen kekuasaan, dia sangat
mudah
untuk memunculkan konflik kepentingan. Saya bisa cerita berhari-hari kepada
anda. Banyak contoh dimana produk-produk kebijakan sangat memungkinkan
seorang,
pada jabatan Menteri Keuangan, mudah tergoda. Dari korupsi kecil
hingga korupsi
yang besar. Dari korupsi yang sifatnya hilir dan ritel sampai korupsi yang
sifatnya upstream dan hulu.
Dan bahkan dengan kewenangan dan kemampuannya dia pun bisa menyembunyikan
itu.
Karena dengan kewenangan yang besar, dia juga sebetulnya bisa membeli
sistem.
Dia bisa menciptakan network. Dia bisa menciptakan pengaruh. Dan pengaruh
itu
bisa menguntungkan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya. Godaan itulah yang
sebetulnya kita selalu ingin bendung. Karena begitu anda tergelincir pada
satu
hal, maka tidak akan pernah berhenti.
Namun, meskipun kita mencoba untuk menegakkan aturan, membuat rambu-rambu,
dengan menegakkan pengawasan internal dan eksternal, sering bahwa
pengawasan itu
pun masih bisa dilewati. Disinilah kemudian muncul, apa yang disebut unsur
etika. Karena etika menempel dalam diri kita sendiri. Di dalam cara
kita melihat
apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, apakah sesuatu itu
menghianati atau
tidak menghianati kepentingan publik yang harus kita layani. Apakah kita
punya
keyakinan bahwa kita tidak sedang menghianati kebenaran. Etika itu ada
di dalam
diri kita.
Dan kemudian kalau kita bicara tentang total, atau di dalam bahasa
ekonomi yang
keren namanya agregat, setiap kepala kita dijumlahkan menjadi etika yang
jumlahnya agregat atau publik, pertanyaannya adalah apakah di dalam domain
publik ini setiap etika pribadi kita bisa dijumlahkan dan menghasilkan
barang
publik yang kita inginkan, yaitu suatu rambu-rambu norma yang mengatur dan
memberikan guidance kepada kita.
Saya termasuk yang sungguh sangat merasakan penderitaan selama menjadi
menteri.
Karena itu tidak terjadi. Waktu saya menjadi menteri, sering saya
harus berdiri
atau duduk berjam-jam di DPR. Disitu anggota DPR bertanya banyak hal.
Kadang-kadang bernada pura-pura sungguh-sungguh. Merek emngkritik
begitu keras.
Tapi kemudian mereka dengan tenangnya mengatakan 'Ini adalah panggung
politik
bu.'
Waktu saya dulu masuk menteri keuangan pertama saya masih punya dua
Dirjen yang
sangat terkenal, Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai saya. Mereka sangat
powerfull. Karena pengaruhnya, dan respectability karena saya tidak
tahu karena
kepada angota dewan sangat luar biasa. Dan waktu saya ditanya,
mulainya dari...?
Segala macem. Setiap keputusan, statemen saya dan yang lain-lain
selalu ditanya
dengan sangat keras. Saya tadinya cukup naif mengatakan, "Oh ini ongkos
demokrasi yang harus dibayar." Dan saya legowo saja dengan tenang menulis
pertanyaan-pertanyaan mereka.
Waktu sudah ditulis mereka keluar ruangan, nggak pernah peduli mau
dijawab atau
tidak. Kemudian saya dinasehati oleh Dirjen saya itu, "Ibu tidak usah
dimasukkan
ke hati bu. Hal seperti itu hanya satu episod drama saja. " Tapi kemudian
itu
menimbulkan satu pergolakan batin orang seperti saya. Karena saya kemudian
bertanya. Tadi dikaitkan dengan etika publik, kalau orang bisa secara terus
menerus berpura-pura, dan media memuat, dan tidak ada satu kelompokpun
mengatakan bahwa itu kepura-puraan maka kita bertanya, apalagi? siapa
lagi yang
akan menjadi guidance? yang mengingatkan kita dengan, apa yang disebut,
norma
kepantasan. Dan itu sungguh berat. Karena saya terus mengatakan kalau saya
menjadi pejabat publik, ongkos untuk menjadi pejabat publik, pertama,
kalau saya
tidak corrupt, jelas saya legowo nggak ada masalah. Tapi yang kedua
saya menjadi
khawatir saya akan split personality.
Waktu di dewan saya menjadi personality yang lain, nanti di kantor saya akan
menjadi lain lagi, waktu di rumah saya lain lagi. Untung suami dan anak-anak
saya tidak pernah bingung yang mana saya waktu itu. Dan itu sesuatu
yang sangat
sulit untuk seorang seperti saya untuk harus berubah-ubah. Kalau pagi lain
nilainya dengan sore, dan sore lain dengan malam. Malam lain lagi
dengan tengah
malam. Kan itu sesuatu yang sangat sulit untuk diterima. Itu ongkos
yang paling
mahal bagi seorang pejabat publik yang harus menjalankan dan ingin
menjalankan
secara konsisten.
Nah, oleh karena itu, didalam konteks inilah kita kan bicara mengenai
kebijakan
publik, etika publik yang seharusnya menjadi landasan, arahan bagi bagaimana
kita memproduksi suatu tindakan, keputusan, yang itu adalah untuk
urusan rakyat.
Yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan mereka, menaikkan suasana
atau situasi yang baik di masyarakat, namun di sisi lain kita harus
berhadapan
dengan konteks kekuasaan dan struktur politik. Dimana buat mereka norma dan
etika itu nampaknya bisa tidak hanya double standrart, triple standart.
Dan bahkan kalau kita bicara tentang istilah dan konsep mengenai konflik
kepentingan, saya betul-betul terpana. Waktu saya menjadi executive
director di
IMF, pertama kali saya mengenal apa yang disebut birokrat dari negara
maju. HAri
pertama saya diminta untuk melihat dan tandatangan mengenai etika sebagai
seorang executive director, do dan don'ts. Disitu juga disebutkan mengenai
konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu institusi yang memprodusir suatu
policy publik, untuk level internasional, mengharuskan setiap elemen,
orang yang
terlibat di dalam proses politik atau proses kebijakan itu harus
menanggalkan
konflik kepentingannya. Dan kalau kita ragu kita boleh tanya, apakah
kalau saya
melakukan ini atau menjabat yang ini apakah masuk dalam domain konflik
kepentingan. Dan mereka memberikan counsel untuk kita untuk bisa membuat
keputusan yang baik.
Sehingga bekerja di institusi seperti itu menurut saya mudah. Dan kalau
sampai
anda tergelincir ya kebangetan aja anda. Namun waktu kembali ke Indonesia
dan
saya dengan pemahaman pengenai konsep konflik kepentingan, saya sering
menghadiri suatu rapat membuat suatu kebijakan, dimana kebijakan itu akan
berimplikasi kepada anggaran, entah belanja, entah insentif, dan pihak
yang ikut
duduk dalam proses kebijakan itu adalah pihak yang akan mendapatkan
keuntungan
itu. Dan tidak ada rasa risih. Hanya untuk menunjukkan yang penting
pemerintahan
efektif, jalan. Kuenya dibagi ke siapa itu adalah urusan sekunder.
Anda bisa melihat bahwa kalau pejabat itu adalah background nya pengusaha,
meskipun yang bersangkutan mengatakan telah meninggalkan seluruh
bisnisnya, tapi
semua orang tahu bahwa adiknya, kakaknya, anaknya, dan teteh, mamah, aa'
semuanya masih run. Dan dengan tenangnya, berbagai kebijakan, bahkan yang
membuat saya terpana, kalau dalam hal ini apa disebutnya? kalau dalam bahasa
inggris apa disebutnya?i drop my job atau apa..bengong itu.
Kita bingung bahwa ada suatu keputusan dibuat, dan saya banyak catatan
pribadi
saya di buku saya. Ada keputusan ini, tiba-tiba besok lagi keputusan itu
ternyata yang menimport adalah perusahaannya dia.
Nah ini merupakan sesuatu hal yang barangkali tanpa harus mendramatisir yang
dikatakan oleh Rocky tadi seolah-olah menjadi the most reason phenomena.
Kita
semua tahu, itulah penyakit yang terjadi di jaman orde baru. Hanya dulu
dibuatnya secara tertutup, tapi sekarang dengan kecanggihan, karena
kemampuan
dari kekuasaan, dia mengkooptasi decision making process juga. Kelihatannya
demokrasi, kelihatannya melalui proses check and balance, tapi di
dalam dirinya,
unsur mengenai konflik kepentingan dan tanpa etika begitu kental. Etika itu
barang yang jarang disebut pak.
Ada suatu saat saya membuat rapat dan rapat ini jelas berhubungan dengan
beberapa perusahaan. Kebetulan ada beberapa dari yang kita undang, dia
adalah
komisaris dari beberapa perusahaan itu. Kami biasa, dan saya mengatakan
dengan
tenang, bagi yang punya aviliasi dengan apa yang kita diskusikan
silahkan keluar
dari ruangan. Memang itu adalah tradisi yang coba kita lakukan di kementrian
keuangan. Kebetulan mereka adlaah teman-teman saya. Jadi teman-teman saya
itu
dengan bitter mengatakan, "Mba ani jangan sadis-sadis amat lah kayak gitu.
Kalaupun kita disuruh keluar juga diem-diem aja. Nggak usah caranya
kayak gitu."
Saya ingin menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana
ternyata konsep
mengenai etika dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat langka di
republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan, kita
dianggap menjadi barang yang aneh. Jadi tadi kalau MC nya menjelaskan
bahwa saya
ingin menjelaskan bahwa di luar gua itu ada sinar dan dunia yang begitu
bagus,
di dalam saya dianggap seperti orang yang cerita yang nggak nggak aja. Belum
kalau di dalam konteks politik besar, kemudian, wah ini konsep barat pasti
'Lihat saja Sri Mulyani, neolib.'
Jadi saya mungkin akan mengatakan bagaimana ke depan di dalam proses
politik.
Tentu adalah suatu keresahan buat kita. Karena episod yang terjadi
beberapa kali
adalah bahwa di dalam ruangan publik, rakyat atau masyarakat yang harusnya
menjadi the ultimate shareholder dari kekuasaan. Dia memilih, kepada
siapapun
CEO di republik ini dan dia juga memilih dari orang-orang yang diminta untuk
menjadi pengawas atau check terhadap CEO nya.
Dan proses ini ternyata juga tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang yang
mengatakan untuk menjadi seorang jabatan eksekutif dari level kabupaten,
kota,
propinsi, membutuhkan biaya yang luar biasa, apalagi presiden pastinya. Dan
biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan untuk suatu beban
seseorang. Saya
menteri keuangan saya biasa mengurusi ratusan triliun bahkan ribuan, tapi
saya
tidak kaget dengan angka. Tapi saya akan kaget kalau itu menjadi beban
personal.
Seseorang akan menjadi kandidat mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi
mengenai return of investment saja tidak masuk. Bagaimana anda mengatakan
dan
waktu saya mengatakan sya lihat struktur gaji pejabat negara sungguh sangat
tidak rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan karena kalau
menaikkan
kita dianggap mau mensejahterakan diri sebelum mensejahterakan rakyat.
Sehingga
muncullah anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan oleh logika akal sehat,
bahkan Rocky bilangnya ada akal miring. Saya mencoba sebagai pejabat negara
untuk mengembalikan akal sehat dengan mengatakan strukturnya harus dibenahi
lagi. Namun toh tetap tidak bisa menjelaskan suatu proses politik yang
begitu
sangat mahalnya.
Sehingga memunculkan suatu kebutuhan untuk berkolaborasi dengan sumber
finansialnya. Dan disitulah kontrak terjadi. Di tingkat daerah, tidak
mungkin
itu dilakukan dengan membayar melalui gajinya. Bahkan melalui APBD nya
pun tidak
mungkin karena size dari APBN nya kadang-kadang tidak sebesar atau
mungkin juga
lebih sulit. Sehingga yang bisa adalah melalui policy. Policy yang bisa
dijual
belikan. Dan itu adalah adalah bentuk hasil dari suatu kolaborasi.
pertanyaan untuk kita semua, bagaimana kita menyikapi hal ini didalam
konteks
bahwa produk dari kebijakan publik, melalui sebuah proses politik yang
begitu
mahal sudah pasti akan distated dengan struktur yang membentuk awalnya.
KArena
kebijakan publik adalah hilirnya, hasil akhir. Hulunya yang memegang
kekuasaan,
lebih hulu lagi adalah prosesnya untuk mendapatkan kekuasaan itu
demikian mahal.
Dan itu akan menjadi pertanyaan yang concern untuk sebuah sistem
demokrasi. Maka
pada saat kita dipilih atau diminta untuk menjadi pembantu atau
menjadibagian
dari pemerintah, Tentu kita tidak punya ilusi bahwa ruangan politik itu
vakum
atau hampa dari kepentingan. politik dimana saja pasti tentang
kepentingan. Dan
kepentingan itu kawin diantara beberapa kelompok untuk mendapatkan kekuasaan
itu. Pasti itu perkawinannya adalah pada siapa saja yang menjadi pemenang.
Kalau pada hari ini tadi disebutkan ada yang menanyakan atau menyesalkan
atau
ada yang menangisi ada yang gelo (jawa:menyesal.red), kenapa kok Sri Mulyani
memutuskan untuk mundur dari Menteri Keuangan. Tentu ini adalah suatu
kalkulasi
dimana saya menganggap bahwa sumbangan saya, atau apapun yang saya putuskan
sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam sistem politik.
Dimana
perkawinan kepentingan itu begitu sangat dominan dan nyata. Banyak yang
mengatakan itu adalah kartel, saya lebih suka pakai kata kawin, walaupun
jenis
kelaminnya sama. (ketawa dan tepuktangan)
Karena politik itu lebih banyak lakinya daripada perempuan makanya
saya katakan
tadi. Hampir semua ketua partai politik laki kecuali satu. Dan di dalam
bahwa
dimana sistem politik tidak menghendaki lagi atau dalam hal ini tidak
memungkinkan etika publik itu bisa dimnculkan, maka untuk orang seperti saya
akan menjadi sangat tidak mungkin untuk eksis. Karena pada saat saya
menerima
tangungjawab untuk menjadi pejabat publik, saya sudah berjanji kepada
diri saya
sendiri, saya tidak ingin menjadi orang yang akan menghianati dengan berbuat
corrupt. Saya tidak mengatakan itu gampang. Sangat painful. Sungguh painful
sekali. Dan saya tidak mengatakan bahwa saya tidak pernah mengucurkan atau
meneteskan airmata untuk menegakkan prinsip itu. Karena ironinya begitu
besar.
Sangat besar. Anda memegang kekuasaan begitu besar. Anda bisa, anda
mampu, anda
bahkan boleh, bahkan diharapkan untuk meng abuse nya oleh sekelompok yang
sebetulnya menginginkan itu terjadi agar nyaman dan anda tidak mau. (tepuk
tangan) Pada saat yang sama anda tidak selalu di apresiasi. P2D kan
baru muncul
sesudah saya mundur (ketawa, disini dia terlihat mengusapkan saputangan ke
matanya).
Jadi ya terlambat tidak apa-apa, terbiasa. Saya masih bisa menyelamatkan
republik ini lah.
Jadi saya tidak tahu tadi, Rocky tidak ngasih tahu saya berapa menit
atau berapa
jam. Soalnya diatas jam 9 argonya lain lagi nanti. Jadi saya gimana harus
menutupnya. Nanti kayaknya nyanyi aja balik terus nanti.
Mungkin saya akan mengatakan bahwa pada bagian akhir kuliah saya ini
atau cerita
saya ini saya ingin menyampaikan kepada semua kawan-kawan disini. Saya bukan
dari partai politik, saya bukan politisi, tapi tidak berarti saya tidak tahu
politik. Selama lebih dari 5 tahun saya tahu persis bagaimana proses politik
terjadi. Kita punya perasaan yang bergumul atau bergelora atau resah.
Keresahan
itu memuncak pada saat kita menghadapi realita jangan-jangan banyak orang
yang
ingin berbuat baik merasa frustasi. Atau mungkin saya akan less
dramatic. Banyak
orang-orang yang harus dipaksa untuk berkompromi dan sering kita
menghibur diri
dengan mengatakan kompromi ini perlu untuk kepentingan yang lebih besar.
Sebetulnya cerita itu bukan cerita baru, karena saya tahu betul
pergumulan para
teknokrat jaman Pak Harto, untuk memutuskan stay atau out adalah pada
dilema,
apakah dengan stay saya bisa membuat kebijakan publik yang lebih baik
sehingga
menyelamatkan suatu kerusakan yang lebih besar. Atau anda out dan anda
disitu
akan punya kans untuk berbuat atau tidak, paling tidak resiko getting
associated
with menjadi less. Personal gain, public loss. If you are stay, dan itu yang
saya rasakan 5 tahun, you suddenly feel that everybody is your enemy.
KArena no one yang sangat simpati dan tahu kita pun akan tidak terlalu happy
karena kita tetap berada di dalam sistem. Yang tidak sejalan dengan ktia
juga
jengkel karena kita tidak bisa masuk kelompok yang bisa diajak enak-enakan.
Sehingga anda di dalam di sandwich di dua hal itu. Dan itu bukan suatu
pengalaman yang mudah. Sehingga kita harus berkolaborasi untuk membuat space
yang lebih enak, lebih banyak sehingga kita bisa menemukan kesamaan.
Nah kalau kita ingin kembali kepada topiknya untuk menutup juga, saya rasa
forum-forum semacam ini atau saya mengatakan kelompok seperti anda yang
duduk
pada malam hari ini adalah kelompok kelas menengah. YAng sangat sadar
membayar
pajak. Membayarnya tentu tidak sukarela, tidak seorang yang patriotik yang
mengatakan dia membayar pajak sukarela. Tapi meskipun tidak sukarela,
anda sadar
bahwa itu adalah suatu kewajiban untuk menjaga republik ini tetap
berdaulat. Dan
orang seperti anda yang tau membayar pajak adalah kewajiban dan sekaligus
hak
untuk menagih kepada negara, mengembalikan dalam bentuk sistim politik
yang kita
inginkan. Maka sebetulnya di tangan orang-orang seperti anda lah republik
ini
harus dijaga. Sungguh berat, dan saya ditanya atau berkali-kali di
banyak forum
untuk ditanya, kenapa ibu pergi? Bagaimana reformasi, kan yang
dikerjakan semua
penting. Apakah ibu tidak melihat Indonesia sebagai tempat untuk
pengabdian yang
lebih penting dibandingkan bank dunia.
Seolah-olah sepertinya negara ini menjadi tanggungjawab Sri Mulyani. Dan
saya
keberatan. Dan saya ingin sampaikan di forum ini karena anda juga
bertanggungjawab kalau bertama hal yang sama ke saya. Anda semua
bertanggungjawab sama seperti saya. Mencintai republik ini dengan
banyak sekali
pengorbanan sampai saya harus menyampaikan kepada jajaran pajak, jajaran bea
cukai, jajaran perbendaharaan, "Jangan pernah putus asa mencintai republik."
Saya tahu, sungguh sulit mengurusnya pada masa-masa transisi yang
sangat pelik.
Kecintaan itu paling tidak akan terus memelihara suara hati kita. Dan bahkan
menjaga etika kita di dalam betindak dan berbuat serta membuat keputusan.
Dan
saya ingin membagi kepada teman-teman disini, karena terlalu banyak di media
seolah-olah ditunjukkan yang terjadi dari aparat di kementrian keuangan yang
sudah direformasi masih terjadi kasus seperti Gayus.
Saya ingin memberikan testimoni bahwa banyak sekali aparat yang betul-betul
genuinly adalah orang-orang yang dedicated. Mereka yang cinta republik sama
seperti anda. Mereka juga kritis, mereka punya nurani, mereka punya
harga diri.
Dia bekerja pada masing-masing unit, mungkin mereka tidak bersuara
karena mereka
adalah bagian dari birokrat yang tidak boleh bersuara banyak tapi
harus bekerja.
Sebagian kecil adalah kelompok rakus, dan dengan kekuasaan sangat senang
untuk
meng abuse. Tapi saya katakan sebagian besar adalah orang-orang baik dan
terhormat. Saya ingin tolong dibantu, berilah ruang untuk orang-orang
ini untuk
dikenali oleh anda juga dan oleh masyarakat. Sehingga landscape negara
ini tidak
hanya didominasi oleh cerita, oleh tokoh, apalagi dipublikasi dengan
seolah-oalh
menggambarkan bahwa seluruh sistem ini adalah buruk dan runtuh. Selama
seminggu
ini saya terus melakukan pertemuan dan sekaligus perpisahan dengan jajaran
di
kementrian keuangan dan saya bisa memberikan, sekali lagi, testimoni bahwa
perasaan mereka untuk membuktikan bahwa reform bisa jalan ada disana. Bantu
mereka untuk tetap menjaga api itu. Dan jangan kemudian anda disini bicara
dengan saya, ya bisa diselamatkan kalau sri mulyani tetap menjadi Menteri
keuangan. Saya rasa tidak juga.
Suasana yang kita rasakan pada minggu-minggu yang lalu, bulan-bulan yang
lalu,
seolah-olah persoalan negara ini disandera oleh satu orang, sri mulyani.
Sedemikian pandainya proses politik itu diramu sedemikian sehingga
seolah-olah
persoalannya menjadi persoalan satu orang. Seseorang yang pada sautu
ketika dia
harus membuat keputusan yang sungguh tidak mudah, dengan berbagai
pergumulan,
kejengkelan, kemarahan, kecapekan, kelelahan, namun dia harus tetap membuat
kebijakan publik. Dia berusaha, berusaha di setiap pertemuan, mencoba untuk
meneliti dirinya sendiri apakah dia punya kepentingan pribadi atau
kelompok, dan
apakah dia diintervensi atau tidak, apakah dia membuat keputusan karena ada
tujuan yang lain. Berhari-hari, berjam-jam dia bertanya, dia minta, dia
mengundang orang dan orang-orang ini yang tidak akan segan mengingatkan
kepada
saya. Meskipun mereka tahu saya menteri, mereka lebih tua dari saya. Orang
seperti pak Darmin, siapa yang bisa bilang atau marahin pak
marsilam?Wong semua
orang dimarahin duluan sama dia.
Mereka ada disana hanya untuk mengingatkan saya berbagai rambu-rambu,
berbagai
pilihan dan pilihan sudah dibuat. Dan itu dilaporkan, dan itu diaudit dan
itu
kemudian dirapatkan secara terbuka. Dan itu kemudian dirapatkerjakan di DPR.
Bagaimana mungkin itu kemudia 18 bulan kemudian dia seolah-olah menjadi
keputusan individu seorang Sri Mulyani. Proses itu berjalan dan etika sunyi.
Akal sehat tidak ada. Dan itu memunculkan suatu perasaan apakah pejabat
publik
yang tugasnya membuat kebijakan publik pada saat dia sudah mengikuti
rambu-rambu, dia masih bisa divictimize oleh sebuah proses politik.
SAya hanya mengatakan, kalau dulu pergantian rezim orde lama ke orde
baru, semua
orang di stigma komunis, kalau ini khusus didisain pada era reformasi
seorang
distigma dengan sri mulyani identik dengan century. Mungkin
kejadiannya di satu
orang saja, tapi sebetulnya analogi dan kesamaan mengenai suatu penghakiman
telah terjadi.
Sebetulnya disitulah letak kita untuk mulai bertanya, apakah proses
politik yang
didorong, yang dimotivate, yang ditunggangi oleh suatu kepentingan
membolehkan
seseorang untuk dihakimi, bahkan tanpa pengadilan. Divonis tanpa
pengadilan. Itu
barangkali adalah suatu episod yang sebetulnya sudah berturut-turut kita
memahami konsekuensi sebagai pejabat publik yang tujuannya membuat kebijakan
publik, dan berpura-pura seolah-olah ada etika dan norma yang menjadi
guidance
kita dibenturkan dengan realita-realita politik.
Dan untuk itu, saya hanya ingin mengatakan sebagai penutup, sebagian dari
anda
mengatakan apakah Sri mulyani kalah, apakah sri mulyani lari? Dan saya yakin
banyak yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap itu
adalah suatu
loss atau kehilangan. Diantara anda semua yang ada disini, saya ingin
mengatakan
bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya
definisikan
menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang
menginginkan saya tidak disini. (applause)
Saya merasa berhasil dan saya merasa menang karena definisi saya adalah
tiga.
Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari
nurani
saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka
disitu saya menang. Terimakasih
--
This email was Anti Virus checked by Administrator.
----- End forwarded message -----
------------------------------------
Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
bali-bali-digest@yahoogroups.com
bali-bali-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
bali-bali-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar