Kamis, 20 Mei 2010

[bali-bali] Re: Kuliah Ibu Sri Mulyani]

Makasih banyak Mbo',

Beliau adalah wujud nyata seorang Kartini.

Tidak ada orang yang 100% baik, yang ada adalah orang yang lebih baik. Indonesia seharusnya bangga memiliki beliau. Buat saya, beliau adalah panutan, diluar konteks bidang kerja beliau, tetapi kepada cara beliau memegang prinsip, dan menempatkan diri.

Suksma,
Lia

--- In bali-bali@yahoogroups.com, "Asana Viebeke Lengkong" <asanasw@...> wrote:
>
> INI DIA CALON PRESIDEN KITA 2014 ATAU 2018????
>
>
> Kebijakan Publik dan Etika Publik 18 Mei
>
> Saya rasanya lebih berat berdiri disini daripada waktu dipanggil
> pansus Century.
> Dan saya bisa merasakan itu karena sometimes dari moral dan etikanya jelas
> berbeda. Dan itu yang membuat saya jarang sekali merasa grogi sekarang
> menjadi
> grogi. Saya diajari pak Marsilam untuk memanggil orang tanpa mas atau bapak,
> karena diangap itu adalah ekspresi egalitarian. Saya susah manggil
> 'Marsilam',
> selalu pakai 'pak', dan dia marah. Tapi untuk Rocky saya malam ini
> saya panggil
> Rocky (Rocky Gerung dari P2D) yang baik. Terimakasih atas...... (tepuk
> tangan)
> ;;
> Tapi saya jelas nggak berani manggil Rahmat Toleng dengan Rahmat Tolengtor,
> kasus. Terimakasih atas introduksi yang sangat generous. Saya sebetulnya
> agak
> keberatan diundang malam hari ini untuk dua hal. Pertama karena
> judulnya adalah
> memberi kuliah. Dan biasanya kalau memberi kuliah saya harus, paling tidak
> membaca textbook yang harus saya baca dulu dan kemudian berpikir keras
> bagaimana
> menjelaskan.
> Dan malam ini tidak ada kuliah di gedung atau di hotel yang begitu bagus tu
> biasanya kuliah kelas internasional atau spesial biasanya. Hanya untuk
> eksekutif
> yang bayar SPP nya mahal. Dan pasti neolib itu (disambut tertawa). Oleh
> karena
> itu saya revisi mungkin namanya lebih adalah ekspresi saya untuk berbicara
> tentang kebijakan publik dan etika publik.
> Yang kedua, meskipun tadi mas Rocky menyampaikan, eh salah lagi. Kalau tadi
> disebutkan mengenai ada dua laki-laki, hati kecil saya tetap saya akan
> mengatakan sampai hari ini saya adalah pembantu laki-laki itu (tepuk
> tangan).
> Dan malam ini saya akan sekaligus menceritakan tentang konsep etika yang
> saya
> pahami pada saat saya masih pembantu, secara etika saya tidak boleh untuk
> mengatakan hal yang buruk kepada siapapun yang saya bantu. Jadi saya
> mohon maaf
> kalau agak berbeda dan aspirasinya tidak sesuai dengan amanat pada hari ini.
> Tapi saya diminta untuk bicara tentang kebijakan publik dan etika publik.
> Dan
> itu adalah suatu topik yang barangkali merupakan suatu pergulatan harian
> saya,
> semenjak hari pertama saya bersedia untuk menerima jabatan sebagai menteri
> di
> kabinet di Republik Indonesia itu.
> Suatu penerimaan jabatan yang saya lakukan dengan penuh kesadaran,
> dengan segala
> upaya saya untuk memahami apa itu konsep jabatan publik. Pejabat negara yang
> pada dalam dirinya, setiap hari adalah melakukan tindakan, membuat
> pernyataan,
> membuat keputusan, yang semuanya adalah dimensinya untuk kepentingan publik.
> Disitu letak pertama dan sangat sulit bagi orang seperti saya karena
> saya tidak
> belajar, seperti anda semua, termasuk siapa tadi yang menjadi MC, tentang
> filosofi. Namun saya dididik oleh keluarga untuk memahami etika di dalam
> pemahaman seperti yang saya ketahui. Bahwa sebagai pejabat publik,
> hari pertama
> saya harus mampu untuk membuat garis antara apa yang disebut sebagai
> kepentingan
> publik dengan kepentingan pribadi saya dan keluarga, atau kelompok.
> Dan sebetulnya tidak harus menjadi muridnya Rocky Gerung di filsafat UI
> untuk
> pintar mengenai itu. Karena kita belajar selama 30 tahun dibawah rezim
> presiden
> Soeharto. Dimana begitu acak hubungan, dan acak-acakan hubungan antara
> kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dan itu merupakan modal awal
> saya
> untuk memahami konsekuensi menjadi pejabat publik yang setiap hari
> harus membuat
> kebijakan publik dengan domain saya sebagai makhluk, yang juga punya privacy
> atau kepentingan pribadi.
> Di dalam ranah itulah kemudian dari hari pertama dan sampai lebih dari 5
> tahun
> saya bekerja untuk pemerintahan ini. Topik mengenai apa itu kebijakan
> publik dan
> bagaimana kita harus, dari mulai berpikir, merasakan, bersikap, dan membuat
> keputusan menjadi sangat penting. Tentu saya tidak perlu harus mengulangi,
> karena itu menyangkut, yang disebut, tujuan konstitusi, yaitu kepentingan
> masyarakat banyak. Yaitu mencapai kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.
> Jadi kebijakan pubik dibuat tujuannya adalah untuk melayani masyarakat,
> Kebijakan publik dibuat melalui dan oleh kekuasaan. Karena dia dibuat oleh
> institusi publik yang eksis karena dia merupakan produk dari suatu proses
> politik dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya. Disitulah letak
> bersinggungan, apa yang disebut sebagai ingridient utama dari
> kebijakan publik,
> yaitu unsur kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat mudah menggelincirkan kita.
> Kekuasaan selalu cenderung untuk corrupt. Tanpa adanya pengendalian dan
> sistim
> pengawasan, saya yakin kekuasaan itu pasti corrupt. Itu sudah dikenal
> oleh kita
> semua. Namun pada saat anda berdiri sebagai pejabat publik, memiliki
> kekuasan
> dan kekuasan itu sudah dipastikan akan membuat kita corrupt, maka pertanyaan
> 'kalau saya mau menjadi pejabat publik dan tidak ingin corrupt, apa yang
> harus
> saya lakukan?'
> Oleh karena itu, di dalam proses-proses yang dilalui atau saya lalui, jadi
> ini
> lebih saya cerita daripada kuliah. Dari hari pertama, karena begitu
> khawatirnya,
> tapi juga pada saat yang sama punya perasaan anxiety untuk menjalankan
> kekuasaan, namun saya tidak ingin tergelincir kepada korupsi, maka pada hari
> pertama anda masuk kantor, anda bertanya dulu kepada sistem pengawas
> internal
> anda dan staff anda. Apalagi waktu itu jabatan dari Bappenas menjadi Menteri
> Keuangan. Dan saya sadar sesadar sadarnya bahwa kewenangan dan kekuasaan
> Kementrian Keuangan atau Menteri Keuangan sungguh sangat besar. Bahkan
> pada saat
> saya tidak berpikir corrupt pun orang sudah berpikir ngeres mengenai hal
> itu.
> Bayangkan, seseorang harus mengelola suatu resources yang omsetnya tiap
> tahun
> sekitar, mulai dari saya mulai dari 400 triliun sampai sekarang diatas 1000
> triliun, itu omset. Total asetnya mendekati 3000 triliun lebih.(batuk2) Saya
> lihat (ehem!) banyak sekali (ehem lagi) kalau bicara uang terus
> langsung....(ada
> air putih langsung datang diiringi ketawa hadirin).
> Saya sudah melihat banyak sekali apa yang disebut tata kelola atau
> governance.
> pada saat seseorang memegang suatu kewenangan dimana melibatkan uang
> yang begitu
> banyak. Tidak mudah mencari orang yang tidak tergiur, apalagi terpeleset,
> sehingga tergoda bahwa apa yang dia kelola menjadi seoalh-olah menjadi
> barang
> atau aset miliknya sendiri.
> Dan disitulah hal-hal yang sangat nyata mengenai bagaimana kita harus
> membuat
> garis pembatas yang sangat disiplin. Disiplin pada diri kita sendiri
> dan dalam,
> bahkan, pikiran kita dan perasaan kita untuk menjalankan tugas itu secara
> dingin, rasional, dengan penuh perhitungan dan tidak membolehkan perasaan
> ataupun godaan apapun untuk, bahkan berpikir untuk meng-abusenya.
> Barangkali itu istilah yang disebut teknokratis. Tapi saya sih
> menganggap bahwa
> juga orang yang katanya berasal dari akademik dan disebut tekhnokrat tapi
> ternyata 'bau'nya tidak seperti itu. Tingkahnya apalagi lebih-lebih. Jadi
> saya
> biasanya tidak mengklasifikasikan berdasarkan label. Tapi berdasarkan
> genuine
> product nya dia hasilnya apa, tingkah laku yang esensial.
> Nah, di dalam hari-hari dimana kita harus membicarakan kebijakan publik, dan
> tadi disebutkan bahwa kewenangan begitu besar, menyangkut sebuah atau nilai
> resources yang begitu besar. Kita mencoba untuk menegakkan
> rambu-rambu, internal
> maupun eksternal.
> Mungkin contoh untuk internal hari pertama saya bertanya kepada Inspektorat
> Jenderal saya. "Tolong beri saya list apa yang boleh dan tidak boleh dari
> seorang menteri." Biasanya mereka bingung, tidak perndah ada menteri
> yang tanya
> begitu ke saya bu. Saya menetri boleh semuanya termasuk mecat saya.
> Kalau seorang menteri kemudian menanyakan apa yang boleh dan nggak boleh,
> buat
> mereka menjadi suatu pertanyaan yang sangat janggal. Untuk kultur
> birokrat, itu
> sangat sulit dipahami. Di dalam konteks yang lebih besar dan alasan yang
> lebih
> besar adalah dengan rambu-rambu. Kita membuat standart operating
> procedure, tata
> cara, tata kelola untuk membuat bagaimana kebijakan dibuat. Bahkan
> menciptakan
> sistem check and balance.
> Karena kebijakan publik dengan menggunakan elemen kekuasaan, dia sangat
> mudah
> untuk memunculkan konflik kepentingan. Saya bisa cerita berhari-hari kepada
> anda. Banyak contoh dimana produk-produk kebijakan sangat memungkinkan
> seorang,
> pada jabatan Menteri Keuangan, mudah tergoda. Dari korupsi kecil
> hingga korupsi
> yang besar. Dari korupsi yang sifatnya hilir dan ritel sampai korupsi yang
> sifatnya upstream dan hulu.
> Dan bahkan dengan kewenangan dan kemampuannya dia pun bisa menyembunyikan
> itu.
> Karena dengan kewenangan yang besar, dia juga sebetulnya bisa membeli
> sistem.
> Dia bisa menciptakan network. Dia bisa menciptakan pengaruh. Dan pengaruh
> itu
> bisa menguntungkan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya. Godaan itulah yang
> sebetulnya kita selalu ingin bendung. Karena begitu anda tergelincir pada
> satu
> hal, maka tidak akan pernah berhenti.
> Namun, meskipun kita mencoba untuk menegakkan aturan, membuat rambu-rambu,
> dengan menegakkan pengawasan internal dan eksternal, sering bahwa
> pengawasan itu
> pun masih bisa dilewati. Disinilah kemudian muncul, apa yang disebut unsur
> etika. Karena etika menempel dalam diri kita sendiri. Di dalam cara
> kita melihat
> apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, apakah sesuatu itu
> menghianati atau
> tidak menghianati kepentingan publik yang harus kita layani. Apakah kita
> punya
> keyakinan bahwa kita tidak sedang menghianati kebenaran. Etika itu ada
> di dalam
> diri kita.
> Dan kemudian kalau kita bicara tentang total, atau di dalam bahasa
> ekonomi yang
> keren namanya agregat, setiap kepala kita dijumlahkan menjadi etika yang
> jumlahnya agregat atau publik, pertanyaannya adalah apakah di dalam domain
> publik ini setiap etika pribadi kita bisa dijumlahkan dan menghasilkan
> barang
> publik yang kita inginkan, yaitu suatu rambu-rambu norma yang mengatur dan
> memberikan guidance kepada kita.
> Saya termasuk yang sungguh sangat merasakan penderitaan selama menjadi
> menteri.
> Karena itu tidak terjadi. Waktu saya menjadi menteri, sering saya
> harus berdiri
> atau duduk berjam-jam di DPR. Disitu anggota DPR bertanya banyak hal.
> Kadang-kadang bernada pura-pura sungguh-sungguh. Merek emngkritik
> begitu keras.
> Tapi kemudian mereka dengan tenangnya mengatakan 'Ini adalah panggung
> politik
> bu.'
> Waktu saya dulu masuk menteri keuangan pertama saya masih punya dua
> Dirjen yang
> sangat terkenal, Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai saya. Mereka sangat
> powerfull. Karena pengaruhnya, dan respectability karena saya tidak
> tahu karena
> kepada angota dewan sangat luar biasa. Dan waktu saya ditanya,
> mulainya dari...?
> Segala macem. Setiap keputusan, statemen saya dan yang lain-lain
> selalu ditanya
> dengan sangat keras. Saya tadinya cukup naif mengatakan, "Oh ini ongkos
> demokrasi yang harus dibayar." Dan saya legowo saja dengan tenang menulis
> pertanyaan-pertanyaan mereka.
> Waktu sudah ditulis mereka keluar ruangan, nggak pernah peduli mau
> dijawab atau
> tidak. Kemudian saya dinasehati oleh Dirjen saya itu, "Ibu tidak usah
> dimasukkan
> ke hati bu. Hal seperti itu hanya satu episod drama saja. " Tapi kemudian
> itu
> menimbulkan satu pergolakan batin orang seperti saya. Karena saya kemudian
> bertanya. Tadi dikaitkan dengan etika publik, kalau orang bisa secara terus
> menerus berpura-pura, dan media memuat, dan tidak ada satu kelompokpun
> mengatakan bahwa itu kepura-puraan maka kita bertanya, apalagi? siapa
> lagi yang
> akan menjadi guidance? yang mengingatkan kita dengan, apa yang disebut,
> norma
> kepantasan. Dan itu sungguh berat. Karena saya terus mengatakan kalau saya
> menjadi pejabat publik, ongkos untuk menjadi pejabat publik, pertama,
> kalau saya
> tidak corrupt, jelas saya legowo nggak ada masalah. Tapi yang kedua
> saya menjadi
> khawatir saya akan split personality.
> Waktu di dewan saya menjadi personality yang lain, nanti di kantor saya akan
> menjadi lain lagi, waktu di rumah saya lain lagi. Untung suami dan anak-anak
> saya tidak pernah bingung yang mana saya waktu itu. Dan itu sesuatu
> yang sangat
> sulit untuk seorang seperti saya untuk harus berubah-ubah. Kalau pagi lain
> nilainya dengan sore, dan sore lain dengan malam. Malam lain lagi
> dengan tengah
> malam. Kan itu sesuatu yang sangat sulit untuk diterima. Itu ongkos
> yang paling
> mahal bagi seorang pejabat publik yang harus menjalankan dan ingin
> menjalankan
> secara konsisten.
> Nah, oleh karena itu, didalam konteks inilah kita kan bicara mengenai
> kebijakan
> publik, etika publik yang seharusnya menjadi landasan, arahan bagi bagaimana
> kita memproduksi suatu tindakan, keputusan, yang itu adalah untuk
> urusan rakyat.
> Yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan mereka, menaikkan suasana
> atau situasi yang baik di masyarakat, namun di sisi lain kita harus
> berhadapan
> dengan konteks kekuasaan dan struktur politik. Dimana buat mereka norma dan
> etika itu nampaknya bisa tidak hanya double standrart, triple standart.
> Dan bahkan kalau kita bicara tentang istilah dan konsep mengenai konflik
> kepentingan, saya betul-betul terpana. Waktu saya menjadi executive
> director di
> IMF, pertama kali saya mengenal apa yang disebut birokrat dari negara
> maju. HAri
> pertama saya diminta untuk melihat dan tandatangan mengenai etika sebagai
> seorang executive director, do dan don'ts. Disitu juga disebutkan mengenai
> konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu institusi yang memprodusir suatu
> policy publik, untuk level internasional, mengharuskan setiap elemen,
> orang yang
> terlibat di dalam proses politik atau proses kebijakan itu harus
> menanggalkan
> konflik kepentingannya. Dan kalau kita ragu kita boleh tanya, apakah
> kalau saya
> melakukan ini atau menjabat yang ini apakah masuk dalam domain konflik
> kepentingan. Dan mereka memberikan counsel untuk kita untuk bisa membuat
> keputusan yang baik.
> Sehingga bekerja di institusi seperti itu menurut saya mudah. Dan kalau
> sampai
> anda tergelincir ya kebangetan aja anda. Namun waktu kembali ke Indonesia
> dan
> saya dengan pemahaman pengenai konsep konflik kepentingan, saya sering
> menghadiri suatu rapat membuat suatu kebijakan, dimana kebijakan itu akan
> berimplikasi kepada anggaran, entah belanja, entah insentif, dan pihak
> yang ikut
> duduk dalam proses kebijakan itu adalah pihak yang akan mendapatkan
> keuntungan
> itu. Dan tidak ada rasa risih. Hanya untuk menunjukkan yang penting
> pemerintahan
> efektif, jalan. Kuenya dibagi ke siapa itu adalah urusan sekunder.
> Anda bisa melihat bahwa kalau pejabat itu adalah background nya pengusaha,
> meskipun yang bersangkutan mengatakan telah meninggalkan seluruh
> bisnisnya, tapi
> semua orang tahu bahwa adiknya, kakaknya, anaknya, dan teteh, mamah, aa'
> semuanya masih run. Dan dengan tenangnya, berbagai kebijakan, bahkan yang
> membuat saya terpana, kalau dalam hal ini apa disebutnya? kalau dalam bahasa
> inggris apa disebutnya?i drop my job atau apa..bengong itu.
> Kita bingung bahwa ada suatu keputusan dibuat, dan saya banyak catatan
> pribadi
> saya di buku saya. Ada keputusan ini, tiba-tiba besok lagi keputusan itu
> ternyata yang menimport adalah perusahaannya dia.
> Nah ini merupakan sesuatu hal yang barangkali tanpa harus mendramatisir yang
> dikatakan oleh Rocky tadi seolah-olah menjadi the most reason phenomena.
> Kita
> semua tahu, itulah penyakit yang terjadi di jaman orde baru. Hanya dulu
> dibuatnya secara tertutup, tapi sekarang dengan kecanggihan, karena
> kemampuan
> dari kekuasaan, dia mengkooptasi decision making process juga. Kelihatannya
> demokrasi, kelihatannya melalui proses check and balance, tapi di
> dalam dirinya,
> unsur mengenai konflik kepentingan dan tanpa etika begitu kental. Etika itu
> barang yang jarang disebut pak.
> Ada suatu saat saya membuat rapat dan rapat ini jelas berhubungan dengan
> beberapa perusahaan. Kebetulan ada beberapa dari yang kita undang, dia
> adalah
> komisaris dari beberapa perusahaan itu. Kami biasa, dan saya mengatakan
> dengan
> tenang, bagi yang punya aviliasi dengan apa yang kita diskusikan
> silahkan keluar
> dari ruangan. Memang itu adalah tradisi yang coba kita lakukan di kementrian
> keuangan. Kebetulan mereka adlaah teman-teman saya. Jadi teman-teman saya
> itu
> dengan bitter mengatakan, "Mba ani jangan sadis-sadis amat lah kayak gitu.
> Kalaupun kita disuruh keluar juga diem-diem aja. Nggak usah caranya
> kayak gitu."
> Saya ingin menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana
> ternyata konsep
> mengenai etika dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat langka di
> republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan, kita
> dianggap menjadi barang yang aneh. Jadi tadi kalau MC nya menjelaskan
> bahwa saya
> ingin menjelaskan bahwa di luar gua itu ada sinar dan dunia yang begitu
> bagus,
> di dalam saya dianggap seperti orang yang cerita yang nggak nggak aja. Belum
> kalau di dalam konteks politik besar, kemudian, wah ini konsep barat pasti
> 'Lihat saja Sri Mulyani, neolib.'
> Jadi saya mungkin akan mengatakan bagaimana ke depan di dalam proses
> politik.
> Tentu adalah suatu keresahan buat kita. Karena episod yang terjadi
> beberapa kali
> adalah bahwa di dalam ruangan publik, rakyat atau masyarakat yang harusnya
> menjadi the ultimate shareholder dari kekuasaan. Dia memilih, kepada
> siapapun
> CEO di republik ini dan dia juga memilih dari orang-orang yang diminta untuk
> menjadi pengawas atau check terhadap CEO nya.
> Dan proses ini ternyata juga tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang yang
> mengatakan untuk menjadi seorang jabatan eksekutif dari level kabupaten,
> kota,
> propinsi, membutuhkan biaya yang luar biasa, apalagi presiden pastinya. Dan
> biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan untuk suatu beban
> seseorang. Saya
> menteri keuangan saya biasa mengurusi ratusan triliun bahkan ribuan, tapi
> saya
> tidak kaget dengan angka. Tapi saya akan kaget kalau itu menjadi beban
> personal.
> Seseorang akan menjadi kandidat mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi
> mengenai return of investment saja tidak masuk. Bagaimana anda mengatakan
> dan
> waktu saya mengatakan sya lihat struktur gaji pejabat negara sungguh sangat
> tidak rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan karena kalau
> menaikkan
> kita dianggap mau mensejahterakan diri sebelum mensejahterakan rakyat.
> Sehingga
> muncullah anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan oleh logika akal sehat,
> bahkan Rocky bilangnya ada akal miring. Saya mencoba sebagai pejabat negara
> untuk mengembalikan akal sehat dengan mengatakan strukturnya harus dibenahi
> lagi. Namun toh tetap tidak bisa menjelaskan suatu proses politik yang
> begitu
> sangat mahalnya.
> Sehingga memunculkan suatu kebutuhan untuk berkolaborasi dengan sumber
> finansialnya. Dan disitulah kontrak terjadi. Di tingkat daerah, tidak
> mungkin
> itu dilakukan dengan membayar melalui gajinya. Bahkan melalui APBD nya
> pun tidak
> mungkin karena size dari APBN nya kadang-kadang tidak sebesar atau
> mungkin juga
> lebih sulit. Sehingga yang bisa adalah melalui policy. Policy yang bisa
> dijual
> belikan. Dan itu adalah adalah bentuk hasil dari suatu kolaborasi.
> pertanyaan untuk kita semua, bagaimana kita menyikapi hal ini didalam
> konteks
> bahwa produk dari kebijakan publik, melalui sebuah proses politik yang
> begitu
> mahal sudah pasti akan distated dengan struktur yang membentuk awalnya.
> KArena
> kebijakan publik adalah hilirnya, hasil akhir. Hulunya yang memegang
> kekuasaan,
> lebih hulu lagi adalah prosesnya untuk mendapatkan kekuasaan itu
> demikian mahal.
> Dan itu akan menjadi pertanyaan yang concern untuk sebuah sistem
> demokrasi. Maka
> pada saat kita dipilih atau diminta untuk menjadi pembantu atau
> menjadibagian
> dari pemerintah, Tentu kita tidak punya ilusi bahwa ruangan politik itu
> vakum
> atau hampa dari kepentingan. politik dimana saja pasti tentang
> kepentingan. Dan
> kepentingan itu kawin diantara beberapa kelompok untuk mendapatkan kekuasaan
> itu. Pasti itu perkawinannya adalah pada siapa saja yang menjadi pemenang.
> Kalau pada hari ini tadi disebutkan ada yang menanyakan atau menyesalkan
> atau
> ada yang menangisi ada yang gelo (jawa:menyesal.red), kenapa kok Sri Mulyani
> memutuskan untuk mundur dari Menteri Keuangan. Tentu ini adalah suatu
> kalkulasi
> dimana saya menganggap bahwa sumbangan saya, atau apapun yang saya putuskan
> sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam sistem politik.
> Dimana
> perkawinan kepentingan itu begitu sangat dominan dan nyata. Banyak yang
> mengatakan itu adalah kartel, saya lebih suka pakai kata kawin, walaupun
> jenis
> kelaminnya sama. (ketawa dan tepuktangan)
> Karena politik itu lebih banyak lakinya daripada perempuan makanya
> saya katakan
> tadi. Hampir semua ketua partai politik laki kecuali satu. Dan di dalam
> bahwa
> dimana sistem politik tidak menghendaki lagi atau dalam hal ini tidak
> memungkinkan etika publik itu bisa dimnculkan, maka untuk orang seperti saya
> akan menjadi sangat tidak mungkin untuk eksis. Karena pada saat saya
> menerima
> tangungjawab untuk menjadi pejabat publik, saya sudah berjanji kepada
> diri saya
> sendiri, saya tidak ingin menjadi orang yang akan menghianati dengan berbuat
> corrupt. Saya tidak mengatakan itu gampang. Sangat painful. Sungguh painful
> sekali. Dan saya tidak mengatakan bahwa saya tidak pernah mengucurkan atau
> meneteskan airmata untuk menegakkan prinsip itu. Karena ironinya begitu
> besar.
> Sangat besar. Anda memegang kekuasaan begitu besar. Anda bisa, anda
> mampu, anda
> bahkan boleh, bahkan diharapkan untuk meng abuse nya oleh sekelompok yang
> sebetulnya menginginkan itu terjadi agar nyaman dan anda tidak mau. (tepuk
> tangan) Pada saat yang sama anda tidak selalu di apresiasi. P2D kan
> baru muncul
> sesudah saya mundur (ketawa, disini dia terlihat mengusapkan saputangan ke
> matanya).
> Jadi ya terlambat tidak apa-apa, terbiasa. Saya masih bisa menyelamatkan
> republik ini lah.
> Jadi saya tidak tahu tadi, Rocky tidak ngasih tahu saya berapa menit
> atau berapa
> jam. Soalnya diatas jam 9 argonya lain lagi nanti. Jadi saya gimana harus
> menutupnya. Nanti kayaknya nyanyi aja balik terus nanti.
> Mungkin saya akan mengatakan bahwa pada bagian akhir kuliah saya ini
> atau cerita
> saya ini saya ingin menyampaikan kepada semua kawan-kawan disini. Saya bukan
> dari partai politik, saya bukan politisi, tapi tidak berarti saya tidak tahu
> politik. Selama lebih dari 5 tahun saya tahu persis bagaimana proses politik
> terjadi. Kita punya perasaan yang bergumul atau bergelora atau resah.
> Keresahan
> itu memuncak pada saat kita menghadapi realita jangan-jangan banyak orang
> yang
> ingin berbuat baik merasa frustasi. Atau mungkin saya akan less
> dramatic. Banyak
> orang-orang yang harus dipaksa untuk berkompromi dan sering kita
> menghibur diri
> dengan mengatakan kompromi ini perlu untuk kepentingan yang lebih besar.
> Sebetulnya cerita itu bukan cerita baru, karena saya tahu betul
> pergumulan para
> teknokrat jaman Pak Harto, untuk memutuskan stay atau out adalah pada
> dilema,
> apakah dengan stay saya bisa membuat kebijakan publik yang lebih baik
> sehingga
> menyelamatkan suatu kerusakan yang lebih besar. Atau anda out dan anda
> disitu
> akan punya kans untuk berbuat atau tidak, paling tidak resiko getting
> associated
> with menjadi less. Personal gain, public loss. If you are stay, dan itu yang
> saya rasakan 5 tahun, you suddenly feel that everybody is your enemy.
> KArena no one yang sangat simpati dan tahu kita pun akan tidak terlalu happy
> karena kita tetap berada di dalam sistem. Yang tidak sejalan dengan ktia
> juga
> jengkel karena kita tidak bisa masuk kelompok yang bisa diajak enak-enakan.
> Sehingga anda di dalam di sandwich di dua hal itu. Dan itu bukan suatu
> pengalaman yang mudah. Sehingga kita harus berkolaborasi untuk membuat space
> yang lebih enak, lebih banyak sehingga kita bisa menemukan kesamaan.
> Nah kalau kita ingin kembali kepada topiknya untuk menutup juga, saya rasa
> forum-forum semacam ini atau saya mengatakan kelompok seperti anda yang
> duduk
> pada malam hari ini adalah kelompok kelas menengah. YAng sangat sadar
> membayar
> pajak. Membayarnya tentu tidak sukarela, tidak seorang yang patriotik yang
> mengatakan dia membayar pajak sukarela. Tapi meskipun tidak sukarela,
> anda sadar
> bahwa itu adalah suatu kewajiban untuk menjaga republik ini tetap
> berdaulat. Dan
> orang seperti anda yang tau membayar pajak adalah kewajiban dan sekaligus
> hak
> untuk menagih kepada negara, mengembalikan dalam bentuk sistim politik
> yang kita
> inginkan. Maka sebetulnya di tangan orang-orang seperti anda lah republik
> ini
> harus dijaga. Sungguh berat, dan saya ditanya atau berkali-kali di
> banyak forum
> untuk ditanya, kenapa ibu pergi? Bagaimana reformasi, kan yang
> dikerjakan semua
> penting. Apakah ibu tidak melihat Indonesia sebagai tempat untuk
> pengabdian yang
> lebih penting dibandingkan bank dunia.
> Seolah-olah sepertinya negara ini menjadi tanggungjawab Sri Mulyani. Dan
> saya
> keberatan. Dan saya ingin sampaikan di forum ini karena anda juga
> bertanggungjawab kalau bertama hal yang sama ke saya. Anda semua
> bertanggungjawab sama seperti saya. Mencintai republik ini dengan
> banyak sekali
> pengorbanan sampai saya harus menyampaikan kepada jajaran pajak, jajaran bea
> cukai, jajaran perbendaharaan, "Jangan pernah putus asa mencintai republik."
> Saya tahu, sungguh sulit mengurusnya pada masa-masa transisi yang
> sangat pelik.
> Kecintaan itu paling tidak akan terus memelihara suara hati kita. Dan bahkan
> menjaga etika kita di dalam betindak dan berbuat serta membuat keputusan.
> Dan
> saya ingin membagi kepada teman-teman disini, karena terlalu banyak di media
> seolah-olah ditunjukkan yang terjadi dari aparat di kementrian keuangan yang
> sudah direformasi masih terjadi kasus seperti Gayus.
> Saya ingin memberikan testimoni bahwa banyak sekali aparat yang betul-betul
> genuinly adalah orang-orang yang dedicated. Mereka yang cinta republik sama
> seperti anda. Mereka juga kritis, mereka punya nurani, mereka punya
> harga diri.
> Dia bekerja pada masing-masing unit, mungkin mereka tidak bersuara
> karena mereka
> adalah bagian dari birokrat yang tidak boleh bersuara banyak tapi
> harus bekerja.
> Sebagian kecil adalah kelompok rakus, dan dengan kekuasaan sangat senang
> untuk
> meng abuse. Tapi saya katakan sebagian besar adalah orang-orang baik dan
> terhormat. Saya ingin tolong dibantu, berilah ruang untuk orang-orang
> ini untuk
> dikenali oleh anda juga dan oleh masyarakat. Sehingga landscape negara
> ini tidak
> hanya didominasi oleh cerita, oleh tokoh, apalagi dipublikasi dengan
> seolah-oalh
> menggambarkan bahwa seluruh sistem ini adalah buruk dan runtuh. Selama
> seminggu
> ini saya terus melakukan pertemuan dan sekaligus perpisahan dengan jajaran
> di
> kementrian keuangan dan saya bisa memberikan, sekali lagi, testimoni bahwa
> perasaan mereka untuk membuktikan bahwa reform bisa jalan ada disana. Bantu
> mereka untuk tetap menjaga api itu. Dan jangan kemudian anda disini bicara
> dengan saya, ya bisa diselamatkan kalau sri mulyani tetap menjadi Menteri
> keuangan. Saya rasa tidak juga.
> Suasana yang kita rasakan pada minggu-minggu yang lalu, bulan-bulan yang
> lalu,
> seolah-olah persoalan negara ini disandera oleh satu orang, sri mulyani.
> Sedemikian pandainya proses politik itu diramu sedemikian sehingga
> seolah-olah
> persoalannya menjadi persoalan satu orang. Seseorang yang pada sautu
> ketika dia
> harus membuat keputusan yang sungguh tidak mudah, dengan berbagai
> pergumulan,
> kejengkelan, kemarahan, kecapekan, kelelahan, namun dia harus tetap membuat
> kebijakan publik. Dia berusaha, berusaha di setiap pertemuan, mencoba untuk
> meneliti dirinya sendiri apakah dia punya kepentingan pribadi atau
> kelompok, dan
> apakah dia diintervensi atau tidak, apakah dia membuat keputusan karena ada
> tujuan yang lain. Berhari-hari, berjam-jam dia bertanya, dia minta, dia
> mengundang orang dan orang-orang ini yang tidak akan segan mengingatkan
> kepada
> saya. Meskipun mereka tahu saya menteri, mereka lebih tua dari saya. Orang
> seperti pak Darmin, siapa yang bisa bilang atau marahin pak
> marsilam?Wong semua
> orang dimarahin duluan sama dia.
> Mereka ada disana hanya untuk mengingatkan saya berbagai rambu-rambu,
> berbagai
> pilihan dan pilihan sudah dibuat. Dan itu dilaporkan, dan itu diaudit dan
> itu
> kemudian dirapatkan secara terbuka. Dan itu kemudian dirapatkerjakan di DPR.
> Bagaimana mungkin itu kemudia 18 bulan kemudian dia seolah-olah menjadi
> keputusan individu seorang Sri Mulyani. Proses itu berjalan dan etika sunyi.
> Akal sehat tidak ada. Dan itu memunculkan suatu perasaan apakah pejabat
> publik
> yang tugasnya membuat kebijakan publik pada saat dia sudah mengikuti
> rambu-rambu, dia masih bisa divictimize oleh sebuah proses politik.
>
> SAya hanya mengatakan, kalau dulu pergantian rezim orde lama ke orde
> baru, semua
> orang di stigma komunis, kalau ini khusus didisain pada era reformasi
> seorang
> distigma dengan sri mulyani identik dengan century. Mungkin
> kejadiannya di satu
> orang saja, tapi sebetulnya analogi dan kesamaan mengenai suatu penghakiman
> telah terjadi.
> Sebetulnya disitulah letak kita untuk mulai bertanya, apakah proses
> politik yang
> didorong, yang dimotivate, yang ditunggangi oleh suatu kepentingan
> membolehkan
> seseorang untuk dihakimi, bahkan tanpa pengadilan. Divonis tanpa
> pengadilan. Itu
> barangkali adalah suatu episod yang sebetulnya sudah berturut-turut kita
> memahami konsekuensi sebagai pejabat publik yang tujuannya membuat kebijakan
> publik, dan berpura-pura seolah-olah ada etika dan norma yang menjadi
> guidance
> kita dibenturkan dengan realita-realita politik.
> Dan untuk itu, saya hanya ingin mengatakan sebagai penutup, sebagian dari
> anda
> mengatakan apakah Sri mulyani kalah, apakah sri mulyani lari? Dan saya yakin
> banyak yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap itu
> adalah suatu
> loss atau kehilangan. Diantara anda semua yang ada disini, saya ingin
> mengatakan
> bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya
> definisikan
> menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang
> menginginkan saya tidak disini. (applause)
> Saya merasa berhasil dan saya merasa menang karena definisi saya adalah
> tiga.
> Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari
> nurani
> saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka
> disitu saya menang. Terimakasih
>
>
>
>
>
>
>
>
> --
>
> This email was Anti Virus checked by Administrator.
>
> http://www.bpmigas.com
>
>
> ----- End forwarded message -----
>


------------------------------------

Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
bali-bali-digest@yahoogroups.com
bali-bali-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
bali-bali-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: