Senin, 15 Juni 2009

Re: [bali-bali] Sudah Terpinggirkan, Pentasnya Juga di 'Pinggiran'



Yang bikin sulit itu adalah mental "pegawai negri"..  
Semua Taman Budaya di kota2 mengalami hal serupa..
 
Kalau TIM yang didirikan Ali Sadikin di Jakarta kan ada Akademi Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, dan Yayasan Kesenian Jakarta yang menghimpun semua stakeholders, ahli, dan seniman segala bidang, yang mengatur  managemen TIM secara profesional.  
 
Mungkin ada baiknya kita mencontoh TIM yang langsung dibawah DKI ini..  bisakah?? Mulai dengan dirikan Akademi Bali, Yayasan Kesenian Bali dsb dsb..
Biang Bulan

2009/6/16 Darma Putra <idarmaputra@yahoo.com>


Anton
Arts Centre 'kan artinya Pusat Kesenian. Ternyata di Pusat pun masih ada 'pinggiran'?
Tapi, apa pun, memang Arts Centre kondisinya mengenaskan, temboknya kepeh-kepeh. Pemerintah perlu menyisihkan dana besar untuk merenovasi Art Centre agar megah berwibawa, metaksu, kalau tidak ya akan menjadi situs purbakala.
 
darma


From: Anton Muhajir <antonemus@gmail.com>
To: baliblogger <baliblogger@yahoogroups.com>
Cc: bali-bali <bali-bali@yahoogroups.com>
Sent: Monday, 15 June, 2009 1:21:07 PM
Subject: [bali-bali] Sudah Terpinggirkan, Pentasnya Juga di 'Pinggiran'

tulisan keren di bali post hari ini.

barangkali berguna..
--

Senin, 15 Juni 2009 | BP

Sudah Terpinggirkan, Pentasnya Juga di 'Pinggiran'

http://www.balipost .co.id/mediadeta il.php?module= detailberita&kid=7&id=15662


DI TATARAN wacana, komitmen para petinggi Bali membangkitkan kesenian-kesenian langka dari ancaman kepunahan memang terdengar merdu di telinga. Namun di tataran aksi, komitmen itu tampaknya layak untuk dipertanyakan kembali. Di ajang PKB XXXI ini, misalnya. Pergelaran kesenian langka itu terkesan masih terpinggirkan jika tidak ingin disebut diposisikan sebagai kesenian pelengkap atau tempelan semata. Indikasi itu terlihat dari penetapan lokasi pentas kesenian-kesenian langka yang selalu di pojok. Kesenian-kesenian langka seperti Gambuh, Gambang dan Wayang Wong hanya dipentaskan di Kalangan Angsoka, Kalangan Ayodya dan stage tetaring.

Panggung megah seperti Gedung Ksirarnawa, apalagi panggung prestisius Ardha Candra, seolah-olah menjadi wilayah terlarang untuk disinggahi para seniman yang kini tengah berdiri di bibir jurang kepunahan tersebut.

Sangat kontras dengan pergelaran kesenian-kesenian partisipan luar negeri yang selalu diprioritaskan untuk tampil di panggung-panggung yang mewah dan megah.

Keterpinggiran kesenian-kesenian langka itu terasa makin menyesakkan ketika kita melihat waktu pentas yang dijatahkan untuk kesenian-kesenian tersebut. Rata-rata mereka dijatahkan waktu pentas yang dead time. Sekitar pukul 10.00-12.30 di saat masyarakat Bali tengah suntuk menekuni aktivitas rutin hariannya. Dapat dipastikan, rentang waktu itu merupakan masa-masa PKB paceklik pengunjung. Alhasil, penikmat seni yang menyempatkan diri menyaksikan pergelaran kesenian langka itu pun tak pernah membludak.

Dalam konteks ini, obsesi pemerintah untuk memperkenalkan ragam kesenian langka itu kepada masyarakat Bali untuk selanjutnya menggugah kesadaran mereka untuk turut mencintai dan melestarikan kesenian-kesenian langka itu bak jauh panggang dari api. Bagaimana benih-benih cinta itu bisa merekah sempurna jika mereka sendiri tidak pernah diperkenalkan dengan kesenian-kesenian tersebut?

Kepada Bali Post, Minggu (14/6) kemarin, seniman muda I Wayan Tusti Adnyana, S.Sn. dan I Nyoman Budarsana, S.Sn. mengaku menangkap kesan ketertinggiran kesenian-kesenian langka itu di tengah gemerlap PKB. Kedua alumni ISI Denpasar ini tidak menampik bahwa panitia PKB sudah memberikan kesempatan dan porsi yang memadai untuk pergelaran kesenian langka di PKB. Sayang, kesempatan tampil itu tidak disertai dengan kerelaan untuk memberikan ruang pentas yang lebih representatif kepada mereka. Sesekali, seniman-seniman Bali yang masih setia bergelut dalam aktivitas pelestarian kesenian-kesenian langka tentunya memimpikan untuk bisa pentas di Gedung Ksirarnawa yang sejuk ber-AC. 'Tetapi, untuk PKB tahun ini, rasanya mimpi itu belum tergapai,' kata Tusti Adnyana yang dibenarkan oleh Budarsana.

Tusti Adnyana yang berstatus sebagai guru kesenian di SMAN 1 Baturiti, Tabanan ini menegaskan, dalih bahwa kesenian-kesenian langka lebih pas dan berjiwa dipentaskan di stage berkonsep kalangan tidak bersifat mutlak. Panggung yang menjanjikan interaksi yang lebih dekat antara pragina dan penonton. Dikatakan, gambuh, gambang dan wayang wong, misalnya, tidak akan kehilangan energi jika dipentaskan di gedung tertutup Ksirarnawa. Jadi persoalannya, mau tidak kita memberikan kesempatan itu untuk mereka.

Pendapat senada juga dilontarkan Budarsana. Kendati begitu, ia tidak menampik ada sejumlah kesenian langka yang memang kurang pas dipentaskan di gedung-gedung tertutup. Sang Hyang Jaran dan Sang Hyang Dedari yang di dalam pementasannya banyak menggunakan media api tentu saja tidak dipentaskan di gedung tertutup Ksirarnawa. Tetapi untuk kesenian yang menonjolkan kekuatan instrumen musik seperti gambang, gender pewayangan, selonding dan sejenisnya juga dramatari gambuh, arja, kerawitan genggong dan sejenisnya tentu sah-sah saja dipentaskan di gedung tertutup. 'Kuncinya hanya satu, kerelaan untuk memberikan panggung terhormat itu kepada mereka,' tegasnya lagi.

Lebih lanjut, Budarsana meminta agar pihak-pihak yang dipercaya mengatur jadwal pementasan berusaha menghindarkan pergelaran kesenian-kesenian langka pada saat jam-jam PKB sepi pengunjung. Akan jauh lebih bijaksana jika pergelaran itu dilakukan malam hari di saat PKB ramai pengunjung. Selain itu, panitia juga tidak boleh membiarkan pergelaran kesenian-kesenian langka itu bersamaan dengan pergelaran-pergelar an kolosal yang jadi favorit pengunjung PKB seperti parade gong kebyar, sendratari dan parade lagu pop Bali. Jika itu dipaksakan, pergelaran kesenian-kesenian langka praktis kalah saing dan ditinggalkan penonton. Ingat, PKB itu kental dengan misi pelestarian seni budaya Bali. Jadi, panitia harus merancang strategi jitu agar kesenian-kesenian langka yang terancam punah itu tetap mampu menunjukkan eksistensinya di tengah hiruk-pikuk PKB.


Tusti Adnyana dan Budarsana mengakui penampilan kesenian-kesenian langka di ajang PKB relatif minim penonton. Agar bisa keluar dari suasana yang tidak menguntungkan itu, keduanya menyarankan agar panitia PKB secara khusus mengundang siswa-siswa sekolah untuk mengapresiasi kesenian itu. Sebelumnya, panitia PKB tentu saja harus melakukan komunikasi intensif dengan guru-guru di sekolah bersangkutan. Nantinya, guru-guru akan menugaskan siswa-siswanya untuk membuat semacam laporan singkat tentang segala sesuatu yang bisa mereka apresiasi dari pergelaran tersebut. Strategi itu, kata kedua alumni ISI Denpasar ini, adalah semacam pintu pembuka bagi generasi muda Bali untuk lebih mengenal kesenian-kesenian mereka. Dari perkenalan itu, mereka secara perlahan diharapkan dapat mencintai kesenian itu untuk selanjutnya mau terlibat aktif menggeluti kesenian tersebut yang secara tidak langsung berarti ikut serta melestarikannya. 'Strategi-strategi seperti itu harus ditempuh jika kita memang benar-benar komit untuk melestarikan kekayaan seni budaya Bali,' tegasnya. (ian)

--
Anton Muhajir
www.rumahtulisan. com - Personal Blog
www.balebengong. net - Balibased Citizen Journalism



Need a Holiday? Win a $10,000 Holiday of your choice. Enter now..




__._,_.___


Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Tidak ada komentar: