"Eko sat viprah bahuda vaddanti"
Dari sekian banyak nama sebutan Hyang Widdhi , salah satunya
Sang Sunia aka sepi aka kosong, bola...?
mau ikut main bola atau jadi penonton ? Sebaik baiknya pemain sepak bola , akan selalu kalah hebat dengan penonton , karena "katanya"
penonton adalah peamain yang terbaik.. hihihi...
shanti lenih suka mancing ikan , daripada nanjung bal ,
karena pulang bawa ikan , apang ade darang... nasi...
--- In bali-bali@yahoogroups.com, Sugi Lanús <sugilanus@...> wrote:
>
> Puan dan Tuan,
>
> Di tengah suasana "kosong" PILPRES, tulisan berikut saya bagi buat
> teman-teman (dimuat BALIPOST Minggu Paing, 31 Desember 2006), mudah-mudahan
> belum basi.
>
> Salam hangat,
> SL*
> ** *
>
> *Mencari dan Mendalami Isi Kosong
> *Filsafat Sepak Bola dalam Geguritan Darmapada
>
> *Sugi Lanus
> *
>
> *HIDUP* seperti bermain bola. Kita kejar beramai-ramai. Kita perebutkan.
> Kita tendang. Lalu, kembali kita kejar, dan seterusnya. Demikian sebuah
> pengandaian hidup dalam Geguritan Darmapada. Karya sastra geguritan, yang
> tahun penulisannya belum terjejaki itu, saya baca di sebuah perpustakaan
> lontar di Denpasar, sekitar sepuluh tahun silam.
>
> Karena geguritan itu cukup unik -barangkali satu-satunya karya sastra
> tradisional yang memakai metafor bola dalam sebuah *pada*-nya -- tiap kali
> musim bola (baca: kejuaraan dunia sepak bola), yang datang seperti tahun
> kabisat empat tahun sekali, saya langsung teringat geguritan itu. Lebih
> lanjut geguritan itu memberi sebuah pertanyaan: Kenapa kita mengejar
> bundaran yang isinya kosong (puyung)?
>
> Kosong. Demikian kuat kata itu. Betulkah hidup kita yang diandaikan sedang
> mengejar kosong? Bukankah sepak bola tidak terletak pada bola yang kosong,
> tapi terletak pada permainan, kekompakkan, keterampilan, strategi, kesabaran
> dan daya tahan? Kalau hal-hal tersebut lebih penting dari ''bola kosong'',
> apakah sebuah ''turnamen kehidupan'' bisa menjadi ada tanpa kehadiran bola
> yang dalamnya puyung itu?
>
> Bola menggelinding di atas rumput hijau. Pada saat kejuaraan dunia sepak
> bola, gelindingan bola itu. Seperti para penonton bola yang ''rela''
> bergoyang-goyang, mengecat rambut dan memulas muka dengan warna-warni, sedia
> begadang hingga pagi, demikian pula jalannya kehidupan: Kekosongan ''bola
> kehidupan'' itu membuat kita rela melakukan berbagai hal. Geguritan itupula
> menyebutkan banyak hal aneh diperbuat orang karena tertipu ''kosong''.
> Sekian banyak orang menjadi nekad menjalani kehidupan, berani korupsi dan
> bahkan melenyapkan kengerian sendiri untuk membunuh sesama.
>
> Dalam kearifan yang terwariskan dalam ungkapan manusia Bali, tatujon idupe
> ngalih isin puyung, tujuan hidup untuk mencari-mendalami isi kosong. Dari
> ungkapan ini kita mendapati bahwa: Kosong itu adalah lapisan terluar dari
> sebuah esensi kehidupan. Seperti telur, ia barulah kulit atau cangkang telur
> belaka.
>
> Tim-tim bola punya cara tersendiri untuk menunjukkan ''aliran''-nya. Ada
> yang lebih mengutamakan kecepatan, kekuatan, bahkan kekerasan. Ada pula yang
> mengutamakan keindahan dalam permainannya. Sebuah tim mempunyai jalan dan
> strategi sendiri untuk memenangkan pertandingan. Apakah dengan demikian,
> kehidupan adalah sebuah pertandingan yang harus dimenangkan? Ataukah
> bagaimana cara kita menjalani turnamen itu?
>
> Masih tersisa kenangan, ketika itu Ghana kalah dari Brasil, untuk menuju
> babak seperempat final World Cup 2006, orang-orang Ghana di negerinya
> terdiam. Tetapi, sesaat kemudian, mereka bernyanyi dan bergoyang, mereka
> tetap berpesta di jalan-jalan di negerinya. Tentunya mereka bukan merayakan
> kekalahan, tapi sebuah ''kemenangan''. Ini sebuah catatan dalam peradaban
> bola: Mereka sedang menunjukkan pada kita bahwa keberhasilan Ghana untuk
> bisa masuk ke turnamen kejuaraan dunia itu saja adalah hal yang harus
> dirayakan. Negara itu bukan lagi sebuah negara yang hanya jadi penonton.
> Mereka telah bisa turut andil.
>
> Turut andil adalah inti dari swadharma. Begitulah, orang Bali menegaskan
> berkali-kali, bukan hanya dalam Geguritan Darmapada, bahwa yang sangat
> penting bagi manusia adalah tahu akan Swadharma-nya. Tahu swadharma adalah
> tahu akan panggilan dirinya sebagai manusia. Menjadi tersadar untuk
> terlibat, ikut turut andil dalam kehidupan. Putu Wijaya, seorang penulis
> kelahiran Bali, punya ungkapan menarik, agar kita menjalani hidup ini tidak
> hanya sekadar ''penumpang gelap''. Semangat untuk tidak sekadar jadi
> ''penumpang gelap'' ini adalah panggilan swadharma. Orang Bali menekankan
> kepada semua orang harus mengikuti panggilan dharmanya (baca: kewajibannya)
> masing-masing. Barangkali, itu sebabnya banjar-banjar di Bali sedemikian
> ketat mewajibkan warganya untuk hadir dalam kegiatan-kegiatan banjar, turut
> andil, bukan sekadar menonton, tapi berkarya. Sayang, terkadang panggilan
> banjar tersebut diterima sebagai ''wahyu yang jatuh dari langit'', yang tak
> boleh dikaji ulang, tak boleh di-reinterpretasi. Kehidupan banjar pun akan
> menjadi kering, pertemuan-pertemuan tidak punya daya aktualitas. Aktivitas
> di sekitarnya pun cenderung berjalan dalam sebuah simulasi (simulacrum) yang
> menjemukan.
>
> Kata swadharma menuntut pencapaian seseorang. Tidak masalah seorang
> terlahir dalam keluarga apapun, sepanjang ia mampu menjawab dan memenuhi
> panggilan swadharma-nya, ia adalah orang terhormat. Pemenuhan diri akan
> panggilan dari dalam diri kita, dan penuh sukacita menjalaninya, menjadi
> pintu untuk memasuki arti swadharma. Swadharma bukan sekadar didapatkan dari
> keluarga tempat kita dilahirkan. Swadharma adalah panggilan bathin untuk
> ambil bagian dalam kehidupan ini. Dengan demikian, swadharma adalah penemuan
> perseorangan, bukan faktor genetika atau trah. Ini persoalan pencapaian
> seseorang kalau ia menekuninya dengan kesungguhan.
>
> Semangat untuk memberi peran pada sebuah ''turnamen kehidupan'' menjadi
> penting, walhasil, memang mengejar bola kosong bukanlah inti dari peri
> kehidupan. Seperti ritual-ritual di Bali, yang dicibir sebagai roles without
> meaning (aturan-aturan tanpa makna). Bukan makna artifisial ritualnya yang
> perlu kita pertentangkan, tapi hakikat keterlibatan kita yang patut
> dihayati, termasuk keterlibatan untuk menafsirnya ulang, dan merevitalisasi
> semangat yang digelorakan di dalamnya. Bahkan, keterlibatan untuk
> mempersoalkan dan menolaknya pun juga terkadang dibutuhkan.
>
> Ritual-ritual, kalaupun kita sepakat menyebutnya sebagai aturan-aturan
> tanpa makna, maka dalam aturan-aturan itulah ada ruang-ruang kosong untuk
> menghayati ''kekosongan'', yang dalam ungkapan Bali disebut sebagai
> Sanghyang Embang. Seperti mengejar bola yang kosong, bukan bola kosong itu
> yang harus dipertentangkan dan dipertanyakan, tapi semuanya terletak pada:
> Bagaimana kita menjalani permainan bagaimana kita menghayati ''kekosongan''
> itu.
>
> Geguritan Darmapada memberi kita cara lain melihat bola. Bola, dalam
> geguritan tersebut, adalah sebuah metafor yng menggelinding; terbuka untuk
> ditafsir dan dikomentari. Setidaknya ada tiga hal yang perlu digarisbawahi
> dari ''pembacaan'' Geguritan Darmapada; puyung, swadharma, Sanghyang Embang.
> Kekosongan (puyung) yang diwakili bola yang mengelinding, yang bisa dijawab
> dengan keterlibatan dan penghayatan peran (swadharma), sehingga kehidupan
> seseorang berpuncak pada pencapaian hakikat keheningan (Sanghyang
> Embang).///SL///
>
>
>
>
> --
> 'The greatest event of our age is the meeting of cultures, meeting of
> civilizations, meeting of different points of view, making us understand
> that we should not adhere to any one kind of single faith, but respect
> diversity of belief. That is what we should attempt to do. The iron curtain,
> so to say, which divided one culture from another, has broken down. It is
> good that we recognize and emphasize the need of man to regard other people,
> their cultures, their beliefs etc. to be more or less on the same level as
> our own cultures and our own civilizations. It is not a sign of weakening
> faith; it is a sign of increasing maturity. If man is unable to look upon
> other people's cultures with sympathy and if he is not able to co-operate
> with them, then it only shows immaturity on the part of the human
> individual. We need co-operation, not conflict. It requires great courage in
> such difficult days as the present to speak of peace and co-operation. It is
> more easy to talk of enemies, of conflict and war. We should try to resist
> that temptation. Our attempt should always be to co-operate, to bring
> together people, to establish friendship and have some kind of a right world
> in which we can live together in happiness, harmony and friendship. Let us
> therefore realize that this increasing maturity should express itself in
> this capacity to understand what other points of view are'.
>
> -Professor Sarvepalli Radhakrishnan, philosopher, President of India, his
> speech for the inauguration of the The Indian Institute of Advanced Study on
> 20 October 1965. http://www.iias.org/
>
>
>
> --
> 'The greatest event of our age is the meeting of cultures, meeting of
> civilizations, meeting of different points of view, making us understand
> that we should not adhere to any one kind of single faith, but respect
> diversity of belief. That is what we should attempt to do. The iron curtain,
> so to say, which divided one culture from another, has broken down. It is
> good that we recognize and emphasize the need of man to regard other people,
> their cultures, their beliefs etc. to be more or less on the same level as
> our own cultures and our own civilizations. It is not a sign of weakening
> faith; it is a sign of increasing maturity. If man is unable to look upon
> other people's cultures with sympathy and if he is not able to co-operate
> with them, then it only shows immaturity on the part of the human
> individual. We need co-operation, not conflict. It requires great courage in
> such difficult days as the present to speak of peace and co-operation. It is
> more easy to talk of enemies, of conflict and war. We should try to resist
> that temptation. Our attempt should always be to co-operate, to bring
> together people, to establish friendship and have some kind of a right world
> in which we can live together in happiness, harmony and friendship. Let us
> therefore realize that this increasing maturity should express itself in
> this capacity to understand what other points of view are'.
>
> -Professor Sarvepalli Radhakrishnan, philosopher, President of India, his
> speech for the inauguration of the The Indian Institute of Advanced Study on
> 20 October 1965. http://www.iias.org/
>
------------------------------------
Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
mailto:bali-bali-digest@yahoogroups.com
mailto:bali-bali-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
bali-bali-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar