Puan dan Tuan,
Di tengah suasana "kosong" PILPRES, tulisan berikut saya bagi buat teman-teman (dimuat BALIPOST Minggu Paing, 31 Desember 2006), mudah-mudahan belum basi.
Salam hangat,
SL
Mencari dan Mendalami Isi Kosong
Filsafat Sepak Bola dalam Geguritan Darmapada
Sugi Lanus
HIDUP seperti bermain bola. Kita kejar beramai-ramai. Kita perebutkan. Kita tendang. Lalu, kembali kita kejar, dan seterusnya. Demikian sebuah pengandaian hidup dalam Geguritan Darmapada. Karya sastra geguritan, yang tahun penulisannya belum terjejaki itu, saya baca di sebuah perpustakaan lontar di Denpasar, sekitar sepuluh tahun silam.
Karena geguritan itu cukup unik -barangkali satu-satunya karya sastra tradisional yang memakai metafor bola dalam sebuah pada-nya -- tiap kali musim bola (baca: kejuaraan dunia sepak bola), yang datang seperti tahun kabisat empat tahun sekali, saya langsung teringat geguritan itu. Lebih lanjut geguritan itu memberi sebuah pertanyaan: Kenapa kita mengejar bundaran yang isinya kosong (puyung)?
Kosong. Demikian kuat kata itu. Betulkah hidup kita yang diandaikan sedang mengejar kosong? Bukankah sepak bola tidak terletak pada bola yang kosong, tapi terletak pada permainan, kekompakkan, keterampilan, strategi, kesabaran dan daya tahan? Kalau hal-hal tersebut lebih penting dari ''bola kosong'', apakah sebuah ''turnamen kehidupan'' bisa menjadi ada tanpa kehadiran bola yang dalamnya puyung itu?
Bola menggelinding di atas rumput hijau. Pada saat kejuaraan dunia sepak bola, gelindingan bola itu. Seperti para penonton bola yang ''rela'' bergoyang-goyang, mengecat rambut dan memulas muka dengan warna-warni, sedia begadang hingga pagi, demikian pula jalannya kehidupan: Kekosongan ''bola kehidupan'' itu membuat kita rela melakukan berbagai hal. Geguritan itupula menyebutkan banyak hal aneh diperbuat orang karena tertipu ''kosong''. Sekian banyak orang menjadi nekad menjalani kehidupan, berani korupsi dan bahkan melenyapkan kengerian sendiri untuk membunuh sesama.
Dalam kearifan yang terwariskan dalam ungkapan manusia Bali, tatujon idupe ngalih isin puyung, tujuan hidup untuk mencari-mendalami isi kosong. Dari ungkapan ini kita mendapati bahwa: Kosong itu adalah lapisan terluar dari sebuah esensi kehidupan. Seperti telur, ia barulah kulit atau cangkang telur belaka.
Tim-tim bola punya cara tersendiri untuk menunjukkan ''aliran''-nya. Ada yang lebih mengutamakan kecepatan, kekuatan, bahkan kekerasan. Ada pula yang mengutamakan keindahan dalam permainannya. Sebuah tim mempunyai jalan dan strategi sendiri untuk memenangkan pertandingan. Apakah dengan demikian, kehidupan adalah sebuah pertandingan yang harus dimenangkan? Ataukah bagaimana cara kita menjalani turnamen itu?
Masih tersisa kenangan, ketika itu Ghana kalah dari Brasil, untuk menuju babak seperempat final World Cup 2006, orang-orang Ghana di negerinya terdiam. Tetapi, sesaat kemudian, mereka bernyanyi dan bergoyang, mereka tetap berpesta di jalan-jalan di negerinya. Tentunya mereka bukan merayakan kekalahan, tapi sebuah ''kemenangan''. Ini sebuah catatan dalam peradaban bola: Mereka sedang menunjukkan pada kita bahwa keberhasilan Ghana untuk bisa masuk ke turnamen kejuaraan dunia itu saja adalah hal yang harus dirayakan. Negara itu bukan lagi sebuah negara yang hanya jadi penonton. Mereka telah bisa turut andil.
Turut andil adalah inti dari swadharma. Begitulah, orang Bali menegaskan berkali-kali, bukan hanya dalam Geguritan Darmapada, bahwa yang sangat penting bagi manusia adalah tahu akan Swadharma-nya. Tahu swadharma adalah tahu akan panggilan dirinya sebagai manusia. Menjadi tersadar untuk terlibat, ikut turut andil dalam kehidupan. Putu Wijaya, seorang penulis kelahiran Bali, punya ungkapan menarik, agar kita menjalani hidup ini tidak hanya sekadar ''penumpang gelap''. Semangat untuk tidak sekadar jadi ''penumpang gelap'' ini adalah panggilan swadharma. Orang Bali menekankan kepada semua orang harus mengikuti panggilan dharmanya (baca: kewajibannya) masing-masing. Barangkali, itu sebabnya banjar-banjar di Bali sedemikian ketat mewajibkan warganya untuk hadir dalam kegiatan-kegiatan banjar, turut andil, bukan sekadar menonton, tapi berkarya. Sayang, terkadang panggilan banjar tersebut diterima sebagai ''wahyu yang jatuh dari langit'', yang tak boleh dikaji ulang, tak boleh di-reinterpretasi. Kehidupan banjar pun akan menjadi kering, pertemuan-pertemuan tidak punya daya aktualitas. Aktivitas di sekitarnya pun cenderung berjalan dalam sebuah simulasi (simulacrum) yang menjemukan.
Kata swadharma menuntut pencapaian seseorang. Tidak masalah seorang terlahir dalam keluarga apapun, sepanjang ia mampu menjawab dan memenuhi panggilan swadharma-nya, ia adalah orang terhormat. Pemenuhan diri akan panggilan dari dalam diri kita, dan penuh sukacita menjalaninya, menjadi pintu untuk memasuki arti swadharma. Swadharma bukan sekadar didapatkan dari keluarga tempat kita dilahirkan. Swadharma adalah panggilan bathin untuk ambil bagian dalam kehidupan ini. Dengan demikian, swadharma adalah penemuan perseorangan, bukan faktor genetika atau trah. Ini persoalan pencapaian seseorang kalau ia menekuninya dengan kesungguhan.
Semangat untuk memberi peran pada sebuah ''turnamen kehidupan'' menjadi penting, walhasil, memang mengejar bola kosong bukanlah inti dari peri kehidupan. Seperti ritual-ritual di Bali, yang dicibir sebagai roles without meaning (aturan-aturan tanpa makna). Bukan makna artifisial ritualnya yang perlu kita pertentangkan, tapi hakikat keterlibatan kita yang patut dihayati, termasuk keterlibatan untuk menafsirnya ulang, dan merevitalisasi semangat yang digelorakan di dalamnya. Bahkan, keterlibatan untuk mempersoalkan dan menolaknya pun juga terkadang dibutuhkan.
Ritual-ritual, kalaupun kita sepakat menyebutnya sebagai aturan-aturan tanpa makna, maka dalam aturan-aturan itulah ada ruang-ruang kosong untuk menghayati ''kekosongan'', yang dalam ungkapan Bali disebut sebagai Sanghyang Embang. Seperti mengejar bola yang kosong, bukan bola kosong itu yang harus dipertentangkan dan dipertanyakan, tapi semuanya terletak pada: Bagaimana kita menjalani permainan bagaimana kita menghayati ''kekosongan'' itu.
Geguritan Darmapada memberi kita cara lain melihat bola. Bola, dalam geguritan tersebut, adalah sebuah metafor yng menggelinding; terbuka untuk ditafsir dan dikomentari. Setidaknya ada tiga hal yang perlu digarisbawahi dari ''pembacaan'' Geguritan Darmapada; puyung, swadharma, Sanghyang Embang. Kekosongan (puyung) yang diwakili bola yang mengelinding, yang bisa dijawab dengan keterlibatan dan penghayatan peran (swadharma), sehingga kehidupan seseorang berpuncak pada pencapaian hakikat keheningan (Sanghyang Embang).///SL///
--
'The greatest event of our age is the meeting of cultures, meeting of civilizations, meeting of different points of view, making us understand that we should not adhere to any one kind of single faith, but respect diversity of belief. That is what we should attempt to do. The iron curtain, so to say, which divided one culture from another, has broken down. It is good that we recognize and emphasize the need of man to regard other people, their cultures, their beliefs etc. to be more or less on the same level as our own cultures and our own civilizations. It is not a sign of weakening faith; it is a sign of increasing maturity. If man is unable to look upon other people's cultures with sympathy and if he is not able to co-operate with them, then it only shows immaturity on the part of the human individual. We need co-operation, not conflict. It requires great courage in such difficult days as the present to speak of peace and co-operation. It is more easy to talk of enemies, of conflict and war. We should try to resist that temptation. Our attempt should always be to co-operate, to bring together people, to establish friendship and have some kind of a right world in which we can live together in happiness, harmony and friendship. Let us therefore realize that this increasing maturity should express itself in this capacity to understand what other points of view are'.
-Professor Sarvepalli Radhakrishnan, philosopher, President of India, his speech for the inauguration of the The Indian Institute of Advanced Study on 20 October 1965. http://www.iias.org/
--
'The greatest event of our age is the meeting of cultures, meeting of civilizations, meeting of different points of view, making us understand that we should not adhere to any one kind of single faith, but respect diversity of belief. That is what we should attempt to do. The iron curtain, so to say, which divided one culture from another, has broken down. It is good that we recognize and emphasize the need of man to regard other people, their cultures, their beliefs etc. to be more or less on the same level as our own cultures and our own civilizations. It is not a sign of weakening faith; it is a sign of increasing maturity. If man is unable to look upon other people's cultures with sympathy and if he is not able to co-operate with them, then it only shows immaturity on the part of the human individual. We need co-operation, not conflict. It requires great courage in such difficult days as the present to speak of peace and co-operation. It is more easy to talk of enemies, of conflict and war. We should try to resist that temptation. Our attempt should always be to co-operate, to bring together people, to establish friendship and have some kind of a right world in which we can live together in happiness, harmony and friendship. Let us therefore realize that this increasing maturity should express itself in this capacity to understand what other points of view are'.
-Professor Sarvepalli Radhakrishnan, philosopher, President of India, his speech for the inauguration of the The Indian Institute of Advanced Study on 20 October 1965. http://www.iias.org/
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar