Ben, coba baca baik2 tulisan saya....you will find it, not contradicting. Cheers, pk
--- On Fri, 20/2/09, ngurah beni setiawan <setiawan_beni@yahoo.com> wrote:
From: ngurah beni setiawan <setiawan_beni@yahoo.com> Subject: Bls: [bali-bali] Re: politikus harum manis To: bali-bali@yahoogroups.com Date: Friday, 20 February, 2009, 12:08 PM
Pak Putu, Maaf untuk kebodohan tyang (lagi). Dunia, tanpa kita ubah, akan berubah dengan sendirinya loh pak. Jadi Kata-kata Gandhi itu kurang cocok untuk mensupport pesan yang ingin bapak sampaikan untuk "Karenanya marilah kita gak usah berusaha mengubah dunia". Semua sistem di alam semesta ini akan berusaha mencari keseimbangan loh pak. Itu sudah hukum alam. a "universe" consisting of "surroundings" and "systems" and made up of quantities of matter, its pressure differences, density differences, and temperature differences all tend to equalize over time. Jadi dunia, semesta itu berubah loh pak. Chaos, order/ disorder di alam ini, termasuk manusia, kan juga mengikuti hukum termodinamika yang menyebutkan bahwa entropi selalu membesar. Hehe... punten, ngurah beni setiawan P Save a tree...please don't print this e-mail unless you really need to
Dari: Putu Kesuma <putukesuma@yahoo. com> Kepada: bali-bali@yahoogrou ps.com Terkirim: Jumat, 20 Februari, 2009 11:42:19 Topik: Re: [bali-bali] Re: politikus harum manis | Salam Indonesia! Suka tidak suka inilah ralitas kita. Orang-orang yang menjadi politisi itu semua merupakan cerminan diri kita sebagai bangsa. Dan apapun keputusan kita dalam pesta demokrasi ini merupakan sebuah pilihan. Bukankah dari dulu dunia ini tetap begini, tidak ada yang berubah. Lao Tse bilang banhwa setiap usaha untuk memperbiki dunia membuat dunia semakin kacau. Karenanya marilah kita gak usah berusaha mengubah dunia, mengubah masyarakat, mari kita ubah diri kita sendiri. BE THE CHANGE kata Gandhi. Salam Indonesia! pk
--- On Fri, 20/2/09, I Gede Sanat Kumara <abltechnet@gmail. com> wrote:
From: I Gede Sanat Kumara <abltechnet@gmail. com> Subject: [bali-bali] Re: politikus harum manis To: bali-bali@yahoogrou ps.com Date: Friday, 20 February, 2009, 7:37 AM
attachment:
Politikus Harum Manis
Di era pemilu LUBER (Langsung Umum Bebas Rahasia) dan lubernya peserta hingga 44 partai politik (partai politik), menyebabkan kurangnya ketersediaan politikus untuk memenuhi kuantitas isian daftar calon tetap (DCT) untuk berkompetitisi bulan April 2009 ini. Krisis ini tidak saja terjadi pada parpol kecil atau pendatang baru, namun juga pada parpol besar yang selama ini terlihat begitu menguasai perpolitikan di nusantara ini. Apalagi ada desakan agar keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen terpenuhi. Sebagai jawaban, perekrutan besar-besaran terjadi, para politikus dadakan didatangkan dari segala penjuru, mulai guru hingga pengusaha besar, tidak peduli mantan napi hingga rohaniawan, dari desa-desa terpencil hingga orang-orang yang menetap di luar negeri. Uniknya lagi, karena mahkamah konstitusi memaklumkan dibenarkannya sebuah sistem "Tarung Bebas", dimana suara terbanyak adalah pemilik sah kursi di DPRD atau DPR-RI, kader partai yang di tempatkan di nomor cadangan, merasa mendapat payung hukum untuk meraih posisi terhormat, dengan melupakan kesepakatan- kesepakatan tata kelola partai sebelumnya. Mereka yang dirancang menjadi wakil rakyat pada pemilu-pemilu berikutnya—karena itu ditempatkan di nomor-nomor besar—tanpa malu-malu bertarung kini. Yah, termasuk melawan mentor-mentor politiknya, yang karena senioritas diurutkan di nomor kecil.
Harum Manis Bila diamati secara seksama saat ini, ternyata modal terjun ke dunia politik mereka adalah HARUM. Namanya harum di mana-mana karena tidak segan-segan mengulurkan tangan, tiba-tiba rajin menyumbang ini-itu pada masyarakat yang membutuhkan dan kerap menyuarakan hal-hal yang sedang menjadi kegalauan masyarakat. Tubuhnya pun harum karena disemprot parfum merek terkenal, penampilannya semerbak karena busana mahal, belum lagi handphone keluaran terbaru lengkap dengan fitur-fitur canggih, tentu saja termasuk mobil mewah terbaru. Modal lainnya adalah MANIS. Budi bahasanya manis didukung tutur sapa yang tertata rapi, seolah air tenang menghanyutkan. Manis juga senyumnya, agar manis pula fotonya bila dipasang pada baliho. Lalu dipajang di sepanjang jalan, berdesak-desakan, memperebutkan sudut-sudut strategis. Mempertahankannya di tengah hujan badai, terik matahari dan tangan-tangan jahil. Serta tidak lupa memasang tulisan mohon doa restu dan minta-minta dukungan pada calon pemilih yang kebetulan lewat. Lalu apakah dengan modal harum manis sudah cukup untuk mengantarkan mereka ke pintu gerbang rumah rakyat, masih harus diuji lewat proses pemilu yang kini semakin susah diramalkan siapa yang akan jadi pemenang. Karena dengan dieksposenya foto-foto calon legislatif (caleg) di pinggir jalan, koran atau televisi, pemilih jadi tahu siapa yang berlaga dalam pesta demokrasi kali ini. Pemilih punya kesempatan lebih banyak untuk memantapkan pilihan, karena mungkin saja salah satunya adalah kawan sekolah, atasannya di tempat kerja, atau junjungannya dalam sebuah klan keluarga besar. Dari alasan hubungan sosial itu, warga yang memiliki hak pilih juga harus melirik ideologi sebuah partai yang selama ini diyakini jadi platform perjuangan, walau selalu gagal dibuktikan bila sudah berkuasa. Namun yang paling penting bagi pemilih adalah sebuah kesan pertama dari caleg, sejauh mana bisa memberi bukti bukan sekedar janji. Pemilih akan lebih suka, bila jalan desanya diaspal sepuluh meter daripada dijanjikan puluhan kilometer. Karena mereka semakin jeli atas polah para politikus, yang lebih suka membekukan diri di ruang-ruang ber-AC daripada terjun langsung mencari solusi buat mengatasi penderitaan rakyat. Atau lebih suka mengunjungi rakyat negara-negara tetangga hingga jauh ke ujung dunia dalam label study banding yang merupakan kurikulum tetap (entah apa hasilnya, karena tidak ada laporan tertulis untuk rakyat). Setelah dibingungkan oleh alasan-alasan tersebut di atas, pemilih akan semakin bingung saat mencontreng di bilik suara, karena pada kartu suara begitu banyak ada logo partai dan nama caleg tanpa foto (kecuali pada lembar DPD). Sedangkan waktu para caleg untuk kampanye terbuka begitu sempit untuk bisa mensosialisasikan diri secara maksimal. Alhasil kebanyakan pemilih akan memilih siapa saja yang mudah ditemukan, walau itu bukan pilihan utama. Lagi pula, bagi banyak pemilih saat ini, kemenangan ideologi bukan lagi utama, karena siapapun memimpin atau jadi wakil rakyat, negara Indonesia tetap berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada pula perubahan atau perbaikan yang signifikan bagi rakyat secara kasat mata.
Akhirnya Korupsi ? Harum manis politik, sering membuat para politikus tergelincir pada persoalan-persoalan yang jauh dari fungsi-fungsi legislasi. Aktivitas dengan mobilitas tinggi membuat mereka harus tampil selalu segar, hangat dan kharismatik. Belum lagi rapat-rapat panjang yang penuh tekanan politis yang semuanya akan membuatnya kelelahan. Di saat-saat seperti itu sering timbul cinta lokasi yang ditautkan oleh rasa saling mengagumi dan pemujaan satu dengan yang lain. Bisa antar politikus, politikus dengan staf, tidak jarang politikus dengan para pendukungnya. Banyak dari hubungan itu menuju jenjang pelaminan dan happy ending. Namun tidak sedikit lalu beraroma cinta terlarang. Dengan tereksposenya adegan-adegan layak sensor ke media massa, membuat politikus kita kehilangan kehormatan, bahkan bisa terpental dari jabatan prestisiusnya hingga jatuh ke posisi paling rendah. Membiayai kehidupan harum manis juga relatif mahal, apalagi di tengah-tengah pengetatan anggaran negara, take home pay (campuran dari gaji pokok, tunjangan jabatan dan honor-honor kehormatan yang bisa dibawa pulang) politikus di legislatif atau yang sudah duduk empuk di eksekutif sebagai kepala daerah menjadi tidak memadai. Karena untuk jadi politikus papan atas, tidak saja harus membayar "kerja-kerja" yang bisa ditulis dalam pembukuan, namun juga pihak-pihak yang cuma ada dalam pembicaraan saat lobi-lobi politik, seperti preman, pendukung-pendukung setia, serta calo-calo jabatan. Belum lagi kekasih simpanan yang sering minta keistimewaan lebih. Nasib sepenanggungan ini membuat para politikus bertemu di titik nadir yang membuat mereka melupakan ideologi masing-masing, kemudian merancang cara untuk mengembat uang negara, tidak saja pada batas-batas kewenangan, tapi jauh melampaui kewajaran. Lewat media massa, dari hampir di seluruh wilayah kita bisa lihat para politikus disidang di pengadilan, berbagai trik korupsi dibeber habis, dari yang konvensional seperti mengakali anggaran negara hingga yang lebih canggih dengan memaksa para pihak menyerahkan sejumlah uang dengan alasan merekalah yang pasti punya kuasa. Satu persatu masuk bui, namun ada juga yang lolos hingga di putusan Mahkamah Agung. Bila sudah demikian kondisinya, bagaimana rakyat sebagai konsumen punya selera memilih politikus. Di tengah-tengah ketakutan akan golongan putih (golput) hingga banyak pihak dikerahkan untuk melarangnya, kenapa pihak-pihak yang terlibat dalam terselenggaranya pemilu tidak berusaha memperbaiki produk mereka. Karena yang harus diwaspadai bukan golput sebagai gerakan politik. Tetapi lebih pada keengganan sosial masyarakat datang ke tempat pemilihan suara (TPS), karena tawaran yang ada di bawah standar kebutuhan minimal akan sosok politikus pro-rakyat.
I made iwan darmawan Pengamat budaya politik Artikel ini dimuat di Bali Post. Kamis, 19-2-2009
| New Email names for you! Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. Hurry before someone else does! Dapatkan alamat Email baru Anda! Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar