attachment:
Politikus Harum Manis
Di era pemilu LUBER (Langsung Umum Bebas Rahasia) dan lubernya peserta
hingga 44 partai politik (partai politik), menyebabkan kurangnya
ketersediaan politikus untuk memenuhi kuantitas isian daftar calon
tetap (DCT) untuk berkompetitisi bulan April 2009 ini. Krisis ini
tidak saja terjadi pada parpol kecil atau pendatang baru, namun juga
pada parpol besar yang selama ini terlihat begitu menguasai
perpolitikan di nusantara ini. Apalagi ada desakan agar keterwakilan
30 persen perempuan di parlemen terpenuhi. Sebagai jawaban, perekrutan
besar-besaran terjadi, para politikus dadakan didatangkan dari segala
penjuru, mulai guru hingga pengusaha besar, tidak peduli mantan napi
hingga rohaniawan, dari desa-desa terpencil hingga orang-orang yang
menetap di luar negeri.
Uniknya lagi, karena mahkamah konstitusi memaklumkan dibenarkannya
sebuah sistem "Tarung Bebas", dimana suara terbanyak adalah pemilik
sah kursi di DPRD atau DPR-RI, kader partai yang di tempatkan di nomor
cadangan, merasa mendapat payung hukum untuk meraih posisi terhormat,
dengan melupakan kesepakatan- kesepakatan tata kelola partai
sebelumnya. Mereka yang dirancang menjadi wakil rakyat pada
pemilu-pemilu berikutnya—karena itu ditempatkan di nomor-nomor
besar—tanpa malu-malu bertarung kini. Yah, termasuk melawan
mentor-mentor politiknya, yang karena senioritas diurutkan di nomor
kecil.
Harum Manis
Bila diamati secara seksama saat ini, ternyata modal terjun ke dunia
politik mereka adalah HARUM. Namanya harum di mana-mana karena tidak
segan-segan mengulurkan tangan, tiba-tiba rajin menyumbang ini-itu
pada masyarakat yang membutuhkan dan kerap menyuarakan hal-hal yang
sedang menjadi kegalauan masyarakat. Tubuhnya pun harum karena
disemprot parfum merek terkenal, penampilannya semerbak karena busana
mahal, belum lagi handphone keluaran terbaru lengkap dengan
fitur-fitur canggih, tentu saja termasuk mobil mewah terbaru.
Modal lainnya adalah MANIS. Budi bahasanya manis didukung tutur sapa
yang tertata rapi, seolah air tenang menghanyutkan. Manis juga
senyumnya, agar manis pula fotonya bila dipasang pada baliho. Lalu
dipajang di sepanjang jalan, berdesak-desakan, memperebutkan
sudut-sudut strategis. Mempertahankannya di tengah hujan badai, terik
matahari dan tangan-tangan jahil. Serta tidak lupa memasang tulisan
mohon doa restu dan minta-minta dukungan pada calon pemilih yang
kebetulan lewat.
Lalu apakah dengan modal harum manis sudah cukup untuk mengantarkan
mereka ke pintu gerbang rumah rakyat, masih harus diuji lewat proses
pemilu yang kini semakin susah diramalkan siapa yang akan jadi
pemenang. Karena dengan dieksposenya foto-foto calon legislatif
(caleg) di pinggir jalan, koran atau televisi, pemilih jadi tahu siapa
yang berlaga dalam pesta demokrasi kali ini. Pemilih punya kesempatan
lebih banyak untuk memantapkan pilihan, karena mungkin saja salah
satunya adalah kawan sekolah, atasannya di tempat kerja, atau
junjungannya dalam sebuah klan keluarga besar.
Dari alasan hubungan sosial itu, warga yang memiliki hak pilih juga
harus melirik ideologi sebuah partai yang selama ini diyakini jadi
platform perjuangan, walau selalu gagal dibuktikan bila sudah
berkuasa. Namun yang paling penting bagi pemilih adalah sebuah kesan
pertama dari caleg, sejauh mana bisa memberi bukti bukan sekedar
janji. Pemilih akan lebih suka, bila jalan desanya diaspal sepuluh
meter daripada dijanjikan puluhan kilometer. Karena mereka semakin
jeli atas polah para politikus, yang lebih suka membekukan diri di
ruang-ruang ber-AC daripada terjun langsung mencari solusi buat
mengatasi penderitaan rakyat. Atau lebih suka mengunjungi rakyat
negara-negara tetangga hingga jauh ke ujung dunia dalam label study
banding yang merupakan kurikulum tetap (entah apa hasilnya, karena
tidak ada laporan tertulis untuk rakyat).
Setelah dibingungkan oleh alasan-alasan tersebut di atas, pemilih akan
semakin bingung saat mencontreng di bilik suara, karena pada kartu
suara begitu banyak ada logo partai dan nama caleg tanpa foto (kecuali
pada lembar DPD). Sedangkan waktu para caleg untuk kampanye terbuka
begitu sempit untuk bisa mensosialisasikan diri secara maksimal.
Alhasil kebanyakan pemilih akan memilih siapa saja yang mudah
ditemukan, walau itu bukan pilihan utama. Lagi pula, bagi banyak
pemilih saat ini, kemenangan ideologi bukan lagi utama, karena
siapapun memimpin atau jadi wakil rakyat, negara Indonesia tetap
berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada pula perubahan atau perbaikan
yang signifikan bagi rakyat secara kasat mata.
Akhirnya Korupsi ?
Harum manis politik, sering membuat para politikus tergelincir pada
persoalan-persoalan yang jauh dari fungsi-fungsi legislasi. Aktivitas
dengan mobilitas tinggi membuat mereka harus tampil selalu segar,
hangat dan kharismatik. Belum lagi rapat-rapat panjang yang penuh
tekanan politis yang semuanya akan membuatnya kelelahan. Di saat-saat
seperti itu sering timbul cinta lokasi yang ditautkan oleh rasa saling
mengagumi dan pemujaan satu dengan yang lain. Bisa antar politikus,
politikus dengan staf, tidak jarang politikus dengan para
pendukungnya. Banyak dari hubungan itu menuju jenjang pelaminan dan
happy ending. Namun tidak sedikit lalu beraroma cinta terlarang.
Dengan tereksposenya adegan-adegan layak sensor ke media massa,
membuat politikus kita kehilangan kehormatan, bahkan bisa terpental
dari jabatan prestisiusnya hingga jatuh ke posisi paling rendah.
Membiayai kehidupan harum manis juga relatif mahal, apalagi di
tengah-tengah pengetatan anggaran negara, take home pay (campuran dari
gaji pokok, tunjangan jabatan dan honor-honor kehormatan yang bisa
dibawa pulang) politikus di legislatif atau yang sudah duduk empuk di
eksekutif sebagai kepala daerah menjadi tidak memadai. Karena untuk
jadi politikus papan atas, tidak saja harus membayar "kerja-kerja"
yang bisa ditulis dalam pembukuan, namun juga pihak-pihak yang cuma
ada dalam pembicaraan saat lobi-lobi politik, seperti preman,
pendukung-pendukung setia, serta calo-calo jabatan. Belum lagi kekasih
simpanan yang sering minta keistimewaan lebih. Nasib sepenanggungan
ini membuat para politikus bertemu di titik nadir yang membuat mereka
melupakan ideologi masing-masing, kemudian merancang cara untuk
mengembat uang negara, tidak saja pada batas-batas kewenangan, tapi
jauh melampaui kewajaran.
Lewat media massa, dari hampir di seluruh wilayah kita bisa lihat para
politikus disidang di pengadilan, berbagai trik korupsi dibeber habis,
dari yang konvensional seperti mengakali anggaran negara hingga yang
lebih canggih dengan memaksa para pihak menyerahkan sejumlah uang
dengan alasan merekalah yang pasti punya kuasa. Satu persatu masuk
bui, namun ada juga yang lolos hingga di putusan Mahkamah Agung.
Bila sudah demikian kondisinya, bagaimana rakyat sebagai konsumen
punya selera memilih politikus. Di tengah-tengah ketakutan akan
golongan putih (golput) hingga banyak pihak dikerahkan untuk
melarangnya, kenapa pihak-pihak yang terlibat dalam terselenggaranya
pemilu tidak berusaha memperbaiki produk mereka. Karena yang harus
diwaspadai bukan golput sebagai gerakan politik. Tetapi lebih pada
keengganan sosial masyarakat datang ke tempat pemilihan suara (TPS),
karena tawaran yang ada di bawah standar kebutuhan minimal akan sosok
politikus pro-rakyat.
I made iwan darmawan
Pengamat budaya politik
Artikel ini dimuat di Bali Post. Kamis, 19-2-2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar