Seharusnya dalam hal kepercayaan /agama dalam administrasi
dipemerintah dihapuskan,kalau dinegara maju agama itu dipercayakan
kepada masyarakatnya.
-- In bali-bali@yahoogrou ps.com, "IGusti Agung" <agungpindha@ ...>
wrote:
>
>
> Hhhmm... makasih Bli PK,
>
> Saya jadi ingat salah satu editor majalah Tempo , yang diberatkan
> karena masalah agama :' yang lainnya'.
> Bagaimana juga masalahnya dengan suku Badui dan Dayak Pedalaman?
> Seharusnya masalah agama tidak ada sangkut pautnya dengan birokrasi.
> Seperti di Negara maju , siapa sih yang peduli agama?
>
> Coba kalau manusia yang melakukan tindak pidana dan perdata
(korupsi)
> misalnya , si A yang beragama A melakukan tindak pidana membunuh,
> si B yang beragama B dinyataka korupsi 2 milyar rp . dst dst....
> Kalau ditulis demikian , pastilah dianggap SARA dan ijin dicabut.
> Sympaty saya kepada mereka mereka yang masih punya harga diri,
> karena sudah banyak manusia Indonesia yang menghina leluhurnya
> memeluk agama agama yang diimport dari Padang pasir dan India.
> Semoga leluhur Nusantara memberikan mereka kekuatan untuk
> mempertahankan kebudayaan dan agama mereka.
>
> Anjuran kepada birokrasi ( pemerintah ) Indonesia untuk mengakui
> Animisme dan Dinamisme sebagai agama yang diakui.
> Sebab itulah agama leluhur pendiri Nusantara sebelum masuknya Hindu.
> Atau agama jangan dihubungkan dengan birokrasi atau pemerintahan,
> apalagi sekolah.
>
> shanti is bingum lagi.
>
>
>
>
>
> --- In bali-bali@yahoogrou ps.com, Putu Kesuma <putukesuma@ > wrote:
> >
> >
>
http://www.kompas. com:80/read/ xml/2008/ 12/23/16092131/ jangan.paksa. me
> reka.pilih.agama
> >
> > Â
> > Cerita Masyarakat Adat (2)
> > Jangan Paksa Mereka Pilih Agama
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > KOMPAS.COM/INGGRIED DWI WEDHASWARY
> > Masyarakat adat Dayak Losarang memiliki cara berpakaiannya yang
> khas, tak mengenakan pakaian atas dan menutup tubuhnya hanya dengan
> celana sebetis berwarna hitam putih.
> >
> >
> >
> >
> >
> > /
> >
> > Artikel Terkait:
> >
> > Di KTP Agama Mereka "Lainnya"
> >
> >
> >
> > Selasa, 23 Desember 2008 | 16:09 WIB
> >
> > Selain tak mencantumkan agama atau dituliskan beragama "lainnya"
> di KTP, sebagian masyarakat adat juga mengaku mengalami hambatan
> dalam mendapatkan akses fasilitas publik. Sesepuh masyarakat adat
> Merapu, Sumba Barat, NTT, Elmawo Mudde (70-an tahun) menceritakan,
> anak-anaknya sempat mengalami kesulitan saat akan masuk ke sekolah.
> >
> > Persyaratan memasuki pendidikan formal, menyertakan akte
kelahiran
> dan surat baptis (bagi yang beragama Nasrani). "Anak-anak tidak
> punya pilihan, karena harus sekolah. Jadi tipu diri, dipaksa pilih
> agama supaya bisa sekolah. Sama juga kalau mau jadi PNS (pegawai
> negeri sipil)," kata Elma, yang biasa disapa Mama, yang dijumpai
> saat menghadiri Seren Taun 2008 di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
> >
> > Steering Committee Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI)
> Emmy Sahertian mengatakan, selain kesulitan saat akan mengurus KTP,
> sejumlah masyarakat adat juga memilih untuk membuat akte kelahiran
> di luar nikah bagi anaknya. Sebab, pernikahan yang dilakukan secara
> adat menurut kepercayaan yang mereka anut, tak dicatatkan secara
> legal di catatan sipil.
> >
> > "Hak hidup itu kan sebenarnya melekat pada hak asasi. Misalnya
hak
> menikah. Tapi gara-gara administrasi kependudukan, pernikahannya
> tidak diakui. Anak-anaknya kemudian ikut terdampak pada akte
> kelahirannya karena orangtuanya tidak punya akte kawin," ujar Emmy.
> >
> > Pemerintah, menurut Emmy, selama ini hanya memahami budaya
> terbatas pada seni, artefak dan lokasinya. Padahal, di tengah
> masyarakat adat sendiri masih melekat agama dan kepercayaan lokal
> yang dianut masyarakat setempat. "Pemerintah tidak melihat bahwa
> manusia dan kepercayaan juga merupakan satu kesatuan dari budaya
> yang tidak bisa diabaikan. Bagaimanapun, budaya tidak bisa terlepas
> dari spiritualitas budaya. Selama ini, eksotisme budaya diekspos
> tapi spiritualitas budaya diabaikan. Masih banyak masyarakat adat
> kita yang hidup dengan identitas yang sangat kuat, dengan
> kepercayaan agama lokal mereka," papar Emmy.
> >
> > Kepercayaan masyarakat adat, selama ini hanya tercatat di
> Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Hal inilah yang kemudian
> membuat dikotomi antara agama resmi yang tercatat di Departemen
> Agama, dengan agama lokal yang dianut masyarakat adat.
> >
> > Apa harapan mereka?
> >
> > Meski terbilang sebagai kaum minoritas, masyarakat adat hidup
> berdampingan secara damai dengan masyarakat di mana mereka tinggal.
> Perbedaan keyakinan, selama ini tak menimbulkan hambatan dalam
> bersosialisasi.
> >
> > Salah satu anggota Komunitas Masyarakat Adat Dayak Hindu Budha
> Bumi Segandu Indramayu (Dayak Losarang), Dedi mengisahkan,
> masyarakat Losarang yang merupakan basis komunitasnya menerima
> mereka dengan baik.
> >
> > "Masyarakat sudah menerima kami dengan baik, dan sosialisasinya
> tidak ada masalah. Kami saling memberi, saling membantu. Hanya
> pemerintah saja yang tidak memberikan keadilan bagi kami. Kami
tidak
> bicara kebenaran, karena kebenaran itu milik Tuhan," kata Dedi.
> >
> > Hal serupa juga diungkapkan Mama. Di Sumba Barat, yang 60 persen
> masyarakatnya penganut Merapu, hidup berdampingan secara damai
> dengan masyarakat setempat yang beragama lain. "Enam agama bukan
> berarti ada 6 Tuhan, Tuhan tetap satu. Hanya cara kita menyembah
> berbeda. Warna kulit boleh beda, tapi kita semua satu, orang
> Indonesia. Kalau pemerintah menerima (penganut kepercayaan) , terima
> kasih. Harapan saya, kami tidak perlu diakui, tapi jangan paksa
> pilih agama. Kalau bisa, tidak perlu ada kolom agama di KTP,
> sehingga tidak hambat kami," ujar Mama.
> >
> > "Kami orang Indonesia, hanya mengharapkan keadilan bagi seluruh
> rakyat Indonesia, seperti dijanjikan dalam Pancasila," kata Dedi.
> > Inggried Dwi Wedhaswary
> >
> >
> >
> > New Email names for you!
> > Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and
> @rocketmail.
> > Hurry before someone else does!
> > http://mail. promotions. yahoo.com/ newdomains/ aa/
> >
>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar