Keragaman budaya dan adat istiadat Indonesia, selalu dibanggakan sebagai aset kekayaan bangsa. Kehidupan masyarakat adat di seluruh penjuru Tanah Air yang lekat dengan berbagai ritual budaya, menjadi hal yang menarik untuk disimak. Sebagian besar masyarakat adat, masih berpegang teguh pada norma dan kepercayaan yang diwariskan nenek moyang mereka. Bagaimana kehidupan mereka?
Perayaan Seren Taun 2008 di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, menjadi kesempatan berkumpulnya sejumlah kelompok masyarakat adat. Dari mereka, terungkap berbagai kisah tentang anak bangsa yang terpinggirkan di negeri sendiri. Elmawo Mudde, Lado Regi Tera dan Dedi menuturkan kisah ini.
Elma adalah sesepuh masyarakat adat di Sumba Barat yang menganut kepercayaan Merapu. Lado, pemimpin tertinggi kepercayaan Merapu yang disebut sebagai imam. Sementara Dedi, salah satu anggota masyarakat adat Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu.
Kepercayaan mereka, tak akan ditemukan dalam daftar agama dan kepercayaan yang diakui pemerintah. Namun, bukan pengakuan yang mereka tuntut. Mereka, hanya berharap diperlakukan sama dengan penganut 6 agama resmi yang dicatat pemerintah. Hal inilah yang memunculkan banyak cerita.
Lado sempat menunjukkan pada saya KTP-nya. Warga Desa Soba Wawi, Kecamatan Loli, Kabupaten Sumba Barat ini mengarahkan telunjuknya pada kolom agama. Tertulis di bagian itu, "lainnya". "Saat mengisi formulir untuk membuat KTP, hanya ada pilihan 6 agama. Saya bilang, tak ada kepercayaan saya disitu. Akhirnya, disuruh tulis lainnya," kata Lado.
Ia mengisahkan, di Sumba Barat sebanyak 60 persen warga menganut Merapu. "Ada yang ditulis 'lainnya', ada yang dikosongkan," lanjutnya.
Penulisan "lainnya" itu, bukan tak berimbas. Berulang kali, apalagi jika bepergian keluar kota, ia harus menjelaskan saat menunjukkan KTP pada petugas. "Di bandara, saya ditanya-tanya. Ini agama apa? Terpaksa saya harus menjelaskan, karena mereka agak curiga pada saya," ungkap Lado.
Haruskah Kami Menipu Diri?
Ibunda Lado, yang merupakan sesepuh masyarakat adat Merapu, Elmawo Mudde, atau akrab disapa Mama menuturkan, tak banyak yang mereka harapkan. Namun, satu hal yang ia tegaskan, masyarakat adat Merapu tidak ingin menggadaikan agama mereka demi memenuhi kepentingan administrasi.
"Waktu mama mau buat KTP, ditanya agama. Mama bilang, Merapu. Mereka bilang 'Merapu tidak dikenal oleh pemerintah, tidak diakui'. Saya bilang kosongkan, karena saya tidak mau tipu diri seolah-olah kita rampas orang punya agama kalau dipaksa memilih," kata Mama.
Aliran kepercayaan Merapu, menurut cerita Mama tidak diakui karena tidak mencatatkan ajarannya secara tertulis. Penganut Merapu sejak awal mula (dari ajaran nenek moyang), tidak mengenal baca tulis. "Maka, ketika orang tanya mana kitabnya, mana bukti kita anut Merapu, tidak ada. Karena ajaran disampaikan secara lisan, dulu nenek moyang tidak bisa baca, tidak bisa tulis. Maka, tidak ada yang dicatat," katanya.
"Kami tidak masalah tidak diakui, tapi jangan paksa untuk memilih agama yang tidak dianut, karena pertanggungjawabannya ke Tuhan," ujar ibu tiga anak ini. Persoalan tidak berhenti sampai disitu. Akses terhadap fasilitas umum dan hak-hak sebagai warga negara juga tidak bisa dinikmati oleh masyarakat adat.
Inggried Dwi Wedhaswary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar