Rabu, 24 Desember 2008

Re: [bali-bali] Re: Jangan Paksa Mereka Pilih Agama

Salam semua,
 
Semestinya negara tidak usah mengurusi agama warganya. Negara hanya perlu mengatur ketertiban umum dan siapapun yang melanggar harus ditindak atas nama hukum publik, bukan hukum agama. Atau paling tidak, agama tidak perlu dicantumkan dalam KTP atau ID card. Karena hal ini hanya dijadikan alat diskriminasi.(sekedar indormasi kami di NIM sudah lama mengirim petisi untuk pengapusan kolom agama di KTP kepada Mendagri).
 
Di Indonesia, agama sudah menjadi alat politik total. Apalagi setelah jaman reformasi dimana para penyelenggara negara integritasnya sangat rendah maka sebelum memutuskan sesuatu selalu berpikir untuk kepentingan pribadi, selalu ingin menjaga popularitas meskipun dengan membodohi rakyatnya dan mengorbankan kepentingan bangsa dan negara.
 
Disadari atau tidak kita sedang menghadapi serangan Arabisasi yang selalu dikaitkan dengan Islam, padahal jelas-jelas budaya Arab, cara pandang Arab. Sedihnya pemerintah dalam hal ini SBY kellihatan kehilangan pikiran jernih sehingga tidak bisa bertindak tegas, Artiknya cara pandanh SBY sudah berhasil dikendalikan oleh cara pandang Arab.
 
Saya tidak habis pikir seorang jenderal seperti SBY, masak tidak bisa membaca konspirasi untuk memecah belah NKRI baik oleh kaum fundamentalis agama maupun fundamentais ekonomi. Kedua fundamentalis ini di lapangan kelihatan berseberangan, namun di balik layar mereka bergandengan tangan mesra. Mereka tidak salah, kita saja yang kurang cerdas.
 
Salam,
P.Kesuma

 
Apapun sukumu, apapun agamamu, kau orang Indonesia. Aku cinta Kau. Whoever you are, wherever you are from, you are human being. I love you ~ NIM(National Integration Movement).


--- On Wed, 24/12/08, IGusti Agung <agungpindha@yahoo.com> wrote:
From: IGusti Agung <agungpindha@yahoo.com>
Subject: [bali-bali] Re: Jangan Paksa Mereka Pilih Agama
To: bali-bali@yahoogroups.com
Date: Wednesday, 24 December, 2008, 1:05 PM


Hhhmm... makasih Bli PK,

Saya jadi ingat salah satu editor majalah Tempo , yang diberatkan
karena masalah agama :' yang lainnya'.
Bagaimana juga masalahnya dengan suku Badui dan Dayak Pedalaman?
Seharusnya masalah agama tidak ada sangkut pautnya dengan birokrasi.
Seperti di Negara maju , siapa sih yang peduli agama?

Coba kalau manusia yang melakukan tindak pidana dan perdata (korupsi)
misalnya , si A yang beragama A melakukan tindak pidana membunuh,
si B yang beragama B dinyataka korupsi 2 milyar rp . dst dst....
Kalau ditulis demikian , pastilah dianggap SARA dan ijin dicabut.
Sympaty saya kepada mereka mereka yang masih punya harga diri,
karena sudah banyak manusia Indonesia yang menghina leluhurnya
memeluk agama agama yang diimport dari Padang pasir dan India.
Semoga leluhur Nusantara memberikan mereka kekuatan untuk
mempertahankan kebudayaan dan agama mereka.

Anjuran kepada birokrasi ( pemerintah ) Indonesia untuk mengakui
Animisme dan Dinamisme sebagai agama yang diakui.
Sebab itulah agama leluhur pendiri Nusantara sebelum masuknya Hindu.
Atau agama jangan dihubungkan dengan birokrasi atau pemerintahan,
apalagi sekolah.

shanti is bingum lagi.

--- In bali-bali@yahoogrou ps.com, Putu Kesuma <putukesuma@ ...> wrote:
>
>
http://www.kompas. com:80/read/ xml/2008/ 12/23/16092131/ jangan.paksa. me
reka.pilih.agama
>
>  
> Cerita Masyarakat Adat (2)
> Jangan Paksa Mereka Pilih Agama
>
>
>
>
>
>
>
> KOMPAS.COM/INGGRIED DWI WEDHASWARY
> Masyarakat adat Dayak Losarang memiliki cara berpakaiannya yang
khas, tak mengenakan pakaian atas dan menutup tubuhnya hanya dengan
celana sebetis berwarna hitam putih.
>
>
>
>
>
> /
>
> Artikel Terkait:
>
> Di KTP Agama Mereka "Lainnya"
>
>
>
> Selasa, 23 Desember 2008 | 16:09 WIB
>
> Selain tak mencantumkan agama atau dituliskan beragama "lainnya"
di KTP, sebagian masyarakat adat juga mengaku mengalami hambatan
dalam mendapatkan akses fasilitas publik. Sesepuh masyarakat adat
Merapu, Sumba Barat, NTT, Elmawo Mudde (70-an tahun) menceritakan,
anak-anaknya sempat mengalami kesulitan saat akan masuk ke sekolah.
>
> Persyaratan memasuki pendidikan formal, menyertakan akte kelahiran
dan surat baptis (bagi yang beragama Nasrani). "Anak-anak tidak
punya pilihan, karena harus sekolah. Jadi tipu diri, dipaksa pilih
agama supaya bisa sekolah. Sama juga kalau mau jadi PNS (pegawai
negeri sipil)," kata Elma, yang biasa disapa Mama, yang dijumpai
saat menghadiri Seren Taun 2008 di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
>
> Steering Committee Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI)
Emmy Sahertian mengatakan, selain kesulitan saat akan mengurus KTP,
sejumlah masyarakat adat juga memilih untuk membuat akte kelahiran
di luar nikah bagi anaknya. Sebab, pernikahan yang dilakukan secara
adat menurut kepercayaan yang mereka anut, tak dicatatkan secara
legal di catatan sipil.
>
> "Hak hidup itu kan sebenarnya melekat pada hak asasi. Misalnya hak
menikah. Tapi gara-gara administrasi kependudukan, pernikahannya
tidak diakui. Anak-anaknya kemudian ikut terdampak pada akte
kelahirannya karena orangtuanya tidak punya akte kawin," ujar Emmy.
>
> Pemerintah, menurut Emmy, selama ini hanya memahami budaya
terbatas pada seni, artefak dan lokasinya. Padahal, di tengah
masyarakat adat sendiri masih melekat agama dan kepercayaan lokal
yang dianut masyarakat setempat. "Pemerintah tidak melihat bahwa
manusia dan kepercayaan juga merupakan satu kesatuan dari budaya
yang tidak bisa diabaikan. Bagaimanapun, budaya tidak bisa terlepas
dari spiritualitas budaya. Selama ini, eksotisme budaya diekspos
tapi spiritualitas budaya diabaikan. Masih banyak masyarakat adat
kita yang hidup dengan identitas yang sangat kuat, dengan
kepercayaan agama lokal mereka," papar Emmy.
>
> Kepercayaan masyarakat adat, selama ini hanya tercatat di
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Hal inilah yang kemudian
membuat dikotomi antara agama resmi yang tercatat di Departemen
Agama, dengan agama lokal yang dianut masyarakat adat.
>
> Apa harapan mereka?
>
> Meski terbilang sebagai kaum minoritas, masyarakat adat hidup
berdampingan secara damai dengan masyarakat di mana mereka tinggal.
Perbedaan keyakinan, selama ini tak menimbulkan hambatan dalam
bersosialisasi.
>
> Salah satu anggota Komunitas Masyarakat Adat Dayak Hindu Budha
Bumi Segandu Indramayu (Dayak Losarang), Dedi mengisahkan,
masyarakat Losarang yang merupakan basis komunitasnya menerima
mereka dengan baik.
>
> "Masyarakat sudah menerima kami dengan baik, dan sosialisasinya
tidak ada masalah. Kami saling memberi, saling membantu. Hanya
pemerintah saja yang tidak memberikan keadilan bagi kami. Kami tidak
bicara kebenaran, karena kebenaran itu milik Tuhan," kata Dedi.
>
> Hal serupa juga diungkapkan Mama. Di Sumba Barat, yang 60 persen
masyarakatnya penganut Merapu, hidup berdampingan secara damai
dengan masyarakat setempat yang beragama lain. "Enam agama bukan
berarti ada 6 Tuhan, Tuhan tetap satu. Hanya cara kita menyembah
berbeda. Warna kulit boleh beda, tapi kita semua satu, orang
Indonesia. Kalau pemerintah menerima (penganut kepercayaan) , terima
kasih. Harapan saya, kami tidak perlu diakui, tapi jangan paksa
pilih agama. Kalau bisa, tidak perlu ada kolom agama di KTP,
sehingga tidak hambat kami," ujar Mama.
>
> "Kami orang Indonesia, hanya mengharapkan keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia, seperti dijanjikan dalam Pancasila," kata Dedi.
> Inggried Dwi Wedhaswary
>
>
>
> New Email names for you!
> Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and
@rocketmail.
> Hurry before someone else does!
> http://mail. promotions. yahoo.com/ newdomains/ aa/
>



New Email addresses available on Yahoo!
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
Hurry before someone else does! __._,_.___

Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Tidak ada komentar: