Senin, 3 November 2008 | 00:37 WIB
VALENS DAKI-SOO
Fenomena teror masih merambah dunia dengan resonansi melampaui batas
geografis. Aksi bom menghancurkan ranah lokal sekaligus menyengat
kemanusiaan universal. Mengapa teror terus terjadi?
Banyak pakar terorisme mengaitkan teror dengan ideologi dan politik.
Menurut Brian Jenkins dan James Poland, terorisme adalah pembunuhan
sistematis dan intimidasi guna meraih keuntungan taktis politis. Bruce
Hoffman (1998) menyebut perubahan politik sebagai tujuan final teror.
Namun, Walter Laqueur (1999) mengingatkan ada banyak jenis terorisme
sehingga harus dihampiri secara multidisiplin agar penanganannya tidak
hanya bertumpu pada satu aspek.
Tampaknya sulit memerangi tuntas terorisme. Jika perang konvensional
musuh bisa dipetakan, tetapi dalam perang melawan terorisme musuh
"tidak tampak, tetapi nyata". Aksi teror politik muncul 2000-an tahun
lalu, saat kelompok Zealot Yahudi menculik dan membunuh pejabat
imperialis Romawi. Terorisme lalu berkembang dengan aneka variasi,
seperti pertarungan ideologi, ekonomi, fanatisme agama, pemberontakan
politik. Metodenya pun kian canggih, termasuk
nuclear-biological-chemical (NBC) terrorism.
Bercirikan organisasi yang solid, disiplin, militan, terdiri dari
sel-sel yang hiperloyal, kebanyakan terorisme bermotif
ideologis-politis dan melakukan tindak kriminal untuk mencapai tujuan.
Sarana publik menjadi target operasi guna memancarkan efek psikososial
melalui media sehingga wartawan bagai "sahabat terbaik" teroris.
Perang gerilya dapat hidup tanpa media, tetapi terorisme terutama
urban terrorism amat haus publikasi.
Terorisme religius
Meluasnya terorisme disertai perkembangan asumsi yang menempatkan
agama pada "format negatif", diklaim sebagai ideologi dan persemaian
terorisme; sebagai sistem keyakinan dan kendaraan religius yang
dibajak teroris untuk melegitimasi aksinya. Padahal, semua agama
mengajarkan keluhuran dan menghargai kehidupan, sebaliknya terorisme
membangun "kultur kematian".
Menurut Hoffman, teroris religius memberi makna spiritual dan
eskatologis, yakni keselamatan akhirat bagi pelaku. Aksi penghancuran
dan pembunuhan untuk "tujuan suci" dinilai sakramental dan
transendental. Namun, melabelkan "terorisme religius" hanya pada
kelompok tertentu, bukan saja salah dan tidak adil, tetapi juga bisa
menimbulkan kesalahan penanganan.
Sebenarnya terorisme religius kehilangan legitimasi karena agama
bermakna eksistensial, sebagai media perdamaian dan solidaritas
universal. Semua agama menampilkan wajah damai dengan membuka ruang
dialog sejati seraya mengusung nilai universal, seperti keadilan,
cinta kasih, perdamaian, dan harmoni.
Etika perdamaian dan dialog antaragama untuk mencabut akar terorisme
religius juga ditekankan ulama Islam, seperti Abduljalil Sajid dari
Inggris. Pada konferensi tentang terorisme di Azerbaijan (2002), Sajid
menegaskan, "Kita harus berkaca diri dan menghayati kata-kata Profesor
Hans Kueng: Tiada damai di antara bangsa-bangsa tanpa damai di antara
agama-agama, dan tiada damai di antara agama-agama tanpa dialog
antaragama."
Metamorfosis liar
Fanatisme, radikalisme, dan fundamentalisme religius amat mungkin
bermetamorfosis menjadi terorisme. Maka, dialog antaragama sebagai
prinsip dasar etika global (etika perdamaian) mensyaratkan komitmen
untuk beralih dari eksklusivisme ke inklusivisme. Deradikalisasi,
dekonstruksi kesadaran eksklusif dan militan, dapat menjamin masa
depan pluralisme. Diperlukan langkah taktis dan strategis karena
"titik api" terorisme berkecambah dalam aneka dimensi.
Terorisme subur karena ketidakadilan dalam konstelasi sosio-ekonomi
dan politik global yang kian tidak imbang dalam rimba kapitalisme.
Dunia dibelit ketamakan neolib dan diwarnai nafsu menguasai,
manipulatif, dan opresif, menggusur banyak kelompok masyarakat ke
wilayah pinggiran. Teror dipakai sebagai jawaban putus asa, ekspresi
ketidakberdayaan sekaligus perlawanan terhadap dominasi superior
negara-negara kuat.
Karena itu, virus terorisme hanya dapat ditangkal dan diatasi dengan
formula pembangunan global berkeadilan, hubungan antarbangsa yang
bernapas kesetaraan dan perdamaian universal. Di sinilah tersembunyi
jawaban terhadap pertanyaan "mengapa teror terus terjadi".
VALENS DAKI-SOO Penulis Buku Agama dan Terorisme
------------------------------------
Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/bali-bali/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
mailto:bali-bali-digest@yahoogroups.com
mailto:bali-bali-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
bali-bali-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar