Kamis, 27 November 2008

[bali-bali] Tentang fatwa-fatwa yang bikin heboh


Tentang fatwa-fatwa yang bikin heboh
sumber: http://ulil. net/
November 27th, 2008 ·

KERAPKALI kita membaca fatwa-fatwa yang menghebohkan. Beberapa hari lalu,
ulama di Malaysia mengharamkan yoga. Sebagian besar ulama Saudi hingga
sekarang mengharamkan perempuan untuk menyetir mobil. Beberapa ulama Saudi
juga melarang perempuan memakai “bra� karena hal itu bisa menipu
laki-laki, seolah-olah dia memiliki payudara yang besar, padahal belum
tentu demikian, dan karena itu bisa dianggap sebagai menipu.

Begitu juga perempuan diharaman memakai sepatu dengan hak tinggi, lagi-lagi
dengan alasan penipuan: dengan sepatu berhak tinggi, perempuan tampak lebih
tinggi dari aslinya, dan itu menipu. Dalam hati saya berkata: kalau
diterus-teruskan, perempuan juga dilarang berhias, karena bisa menipu pula
­ dia tampak lebbih cantik dari aslinya, dan itu menipu laki-laki.

April 2007, sebuah fatwa yang menghebohkan muncul dari Mesir. Dr. Ezzat
Atiyyah, kepala Jurusan Hadis di Fakultas Usuluddin Universitas Al-Azhar,
Kairo, berpendapat bahwa seorang karyawan yang bekerja di ruangan tertutup
dan berduaan dengan seorang karyawati lain yang bukan “mahram�, boleh
menetek dari perempuan itu untuk menghindari larangan khalwat. Dengan
menetek dari perempuan itu, karyawan tersebut berubah status menjadi
seorang anak dari perempuan tersebut, dan dengan demikian keduanya boleh
ber-khalwat.

Fatwa ini didasarkan kepada sebuah hadis yang sahih. Orang-orang
terperangah mendengar fatwa itu. Akibat fatwa ini, Dr. Ezzat dipecat oleh
pihak universitas Al-Azhar, karena dalam penilaian yang terakhir itu, fatwa
tersebut menyebabkan kebingungan dalam masyarakat, dan menjadikan Islam
sebagai bahan olok-olok di mata orang luar Islam.

Di Indonesia sendiri, sejumlah fatwa heboh juga kerapkali kita jumpai dari
waktu ke waktu. Hingga sekarang, Majlis Ulama Indonesia (MUI), misalnya,
mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen.

BAGAIMANA kita, sebagai umat Islam, menghadapi fatwa-fatwa heboh seperti
ini? Pertama-tama, yang harus dipahami oleh umat Islam, dan juga umat lain
yang hendak memahami dinamika internal dalam umat Islam, apa yang disebut
sebagai fatwa bukanlah semacam surat ensiklik dari Vatikan yang harus
ditaati oleh seluruh umat.

Berbeda dengan agama Katolik, Islam tidak mengenal lembaga klerikal yang
terpusat yang menentukan kata putus dalam segala hal yang berurusan dengan
soal agama. Dalam Islam tak dikenal lembaga terpusat yang bisa memaksakan
satu pendapat kepada seluruh umat. Sebuah fatwa, meskipun dikeluarkan oleh
ratusan atau (bahkan) ribuan ulama, tetap saja hanyalah sebuah pendapat
saja. Umat boleh mengikuti, boleh pula mengabaikan. Sebuah fatwa bisa
ditentang oleh fatwa lain.

Dalam hal ini, Islam lebih mirip dengan agama Protestan, meskipun tidak
seluruhnya persis. Baik dalam Islam dan Protestan tak dikenal lembaga
terpusat yang bisa menjadi otoritas terakhir yang memutus segala hal
berkenaan dengan agama dan keputusan itu mengikat umat.

Setiap tahun, ratusan, bahkan ribuan fatwa, muncul dari ulama di berbagai
belahan dunia Islam. Ada fatwa yang resmi, ada fatwa “partikulir�. Ada
fatwa kolektif, ada fatwa individual. Umumnya fatwa-fatwa itu tidak menarik
perhatian publik karena tidak mengenai masalah yang sensitif dan tidak
diliput oleh media. Ada kecenderungan dalam umat Islam untuk selalu
bertanya kepada seorang ulama tentang status hukum semua hal yang mereka
hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Istilah fatwa tentu mempunyai batasan, sehingga tidak bisa diterapkan
kepada semua jenis pendapat. Fatwa biasanya dipakai untui menyebut sebuah
pendapat yang berkenaan dengan status hukum suatu tindakan yang dilakukan
oleh seorang Muslim. Oleh karena itu, fatwa umumnya dipakai dalam konteks
pendapat yang berkenaan dengan hukum Islam atau fikih. Dengan demikian,
pendapat seorang sarjana filsafat Islam tentang suatu isu tertentu dalam
disiplin filsafat Islam tidak bisa disebut sebagai fatwa dalam pengertian
yang “teknis� dari istilah itu.

Bagaimana sebuah fatwa lahir? Prosesnya sangat sederhana, meskipun dalam
praktek tentu tidak sesederhana seperti saya gambarkan ini. Fatwa lahir
melalui proses berikut ini. Jika seorang ulama ditanya, apa kata hukum
Islam mengenai kasus A atau B, dia akan mencari teks atau ketentuan dalam
Quran atau hadis yang berkenaan dengan kasus itu. Jika terdapat jawaban
dalam kedua sumber itu, maka biasanya dia akan memakai ketetapan yang ada.

Jika ada kasus yang baru sama sekali sehingga tak ada keterangan apapun
mengenainya baik dalam Quran atau hadis, maka proses yang biasa dilakukan
oleh seorang mufti atau ulama pembuat fatwa adalah ber-ijtihad atau
menalar. Ada banyak prosedur dalam ijtihad yang tak usah saya sebutkan di
sini. Sebagian besar kasus yang muncul saat ini tidak ada ketentuannya
dalam Quran dan sunnah, sehingga ulama harus melakukan ijtihad sendiri
untuk menentukan hukumnya.

Contoh yang sangat baik adalah masalah yoga yang diharamkan oleh para ulama
dari Malaysia itu. Jelas dalam Quran dan sunnah tak ada ketentuan yang
eksplisit tentang haramnya yoga. Jika pada akhirnya ulama Malaysia
memutuskan bahwa yoga haram dipraktekkan oleh umat Islam, maka pendapat itu
adalah hasil penalaran ulama sendiri. Tentu bukan penalaran yang bergerak
bebas; sudah tentu para ulama itu mendasarkan penalarannya atas
ketentuan-ketentuan umum dalam Quran dan sunnah.

Tetapi ulama yang lain, dengan memakai ketentuan-ketentuan umum serupa,
bisa datang dengan pendapat lain yang berbeda. Bukan saja itu, ulama yang
sama bisa memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam soal yang sama. Ini
bisa kita baca dalam buku-buku fikih perbandingan mazhab di mana sering
kita jumpai pendapat yang berbeda-beda dari Imam Syafii (pendiri mazhab
Syafii yang banyak diikuti di Asia Tenggara) atau Imam Malik (pendiri
mazhab Maliki yang banyak diikuti di Afrika Utara) mengenai masalah yang sama.

Meskipun para ulama fikih mengatakan bahwa ijithad dalam Islam diikat oleh
metode dan prosedur tertentu yang kurang lebih baku, tetapi jelas hasil
ijtihad seorang ulama sangat ditentukan oleh banyak faktor, termasuk
faktor-faktor di luar pertimbangan agama. “Mind-set“, paradigma
berpikir dan kecenderungan intelektual ulama bersangkutan juga menentukan
hasil akhir dari suatu ijtihad. Bahkan latar belakang sosial-budaya dari
ulama itu juga ikut mewarnai proses berijtihad yang ia lakukan.

Jangan pula dilupakan, kedudukan sosial ulama juga ikut mewarnai pendapat
dan fatwa seseorang. Ulama yang berada dan dekat dengan kekuasaan boleh
jadi mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan ulama yang ada di luar atau
malah anti-kekuasaan.

Kelemahan praktek ijtihad yang berlangsung di kalangan ulama Islam selama
ini adalah bahwa seolah-olah proses ijithad melulu dituntun dan
dikendalikan oleh metode ijtihad yang ada, tanpa adanya pengaruh eksternal;
seolah-olah seorang ulama adalah subyek otonom yang berada di luar jejaring
kepentingan sosial yang bekerja dalam masyarakat.

Menurut saya, asumsi seperti ini berbahaya karena mengandaikan ulama tidak
mewakili kepentingan kelompok sosial tertentu; seolah-olah ulama adalah
mewakili “suara Tuhan� yang berada di atas semua kepentingan sosial
yang ada.

Dengan melihat proses fatwa seperti itu, saya berharap kita bisa
menempatkan fatwa secara proporsional. Apa yang disebut sebagai fatwa
adalah tak lebih dari “legal opinion“, pendapat hukum. Fatwa mengenai
kasus tertentu tidak berarti langsung menjadi kata pamungkas dalam kasus
tersebut, sebab ulama atau sarjana lain bisa memiliki pendapat yang berbeda.

Keadaannya persis seperti saat anda datang ke dokter lalu meminta
pendapatnya tentang suatu penyakit yang anda derita. Pendapat dokter
tersebut tentu bukanlah kata akhir, sebab anda bisa datang ke dokter lain
untuk meminta “pendapat kedua�, atau malah ketiga, keempat, dan
seterusnya. Makin banyak informasi yang anda punyai tentang penyakit yang
anda derita, makin baik. Meskipun anda bisa saja memutuskan untuk percaya
saja pada pendapat dari dokter pertama.

ISU yang penting untuk saya tekankan di sini adalah bahwa “konsumen�
juga memiliki haknya sendiri untuk menimbang-nimbang sebuah pendapat yang
ia peroleh, entah dari seorang dokter atau seorang ulama. Aspek peranan
“konsumen� inilah yang menurut saya kurang banyak dilihat dalam studi
mengenai fatwa selama ini. Ada semacam asumsi bahwa begitu fatwa
dikeluarkan oleh seorang ulama atau lembaga tertentu, maka dengan
sendirinya umat akan mengikuti saja fatwa itu. Umat diandaikan sebagai
obyek pasif yang harus menaati saja kata ulama, sebab apa yang dikatakan
oleh ulama adalah kelanjutan saja dari “firman Tuhan�.

Ketika geraja Vatikan mengeluarkan larangan untuk memakai kondom, belum
tentu larangan itu diikuti oleh umatnya, dan belum tentu juga semua umat
Katolik sepakat bahwa larangan itu masuk akal dan sesuai dengan ajaran
Alkitab.

Hal serupa juga terjadi dalam tubuh umat Islam. Karena sebuah fatwa
bukanlah hukum yang mengikat, dan oleh karena sebuah fatwa juga bukan
merupakan kata putus dalam sebuah kasus, maka fatwa tidak bisa kita jadikan
sebagai semacam indeks untuk melihat dan membaca kecenderungan prilaku
umat. Umat bisa saja menanggapi fatwa tertentu secara skeptis karena
dianggap tidak masuk akal.

Contoh terbaik adalah soal bunga bank. Meskipun MUI mengatakan bahwa bunga
bank haram, tetapi banyak umat Islam yang tidak mengikuti fatwa itu. Mereka
tidak mengikuti fatwa itu buka karena tak tahu atau tahu tetapi tak mau
mengikuti. Mereka “membangkang� terhadap fatwa MUI itu sebab ada ulama
lain yang berpendapat bahwa bunga bank seperti dipraktekkan oleh perbankan
modern tidaklah masuk dalam kategori riba yang dilarang oleh agama.

Dengan kata lain, umat bukanlah obyek pasif yang menerima fatwa apa adanya
tanpa berpikir kritis. Tantangan umat Islam ke depan adalah bagaimana
terus-menerus memberdayakan umat, bukan saja secara ekonomi (itu juga
penting), tetapi juga dalam aspek berpikir sehingga daya kritis mereka
terus meningkat dan dengan demikian dapat menilai fatwa-fatwa ulama secara
lebih jeli dan hati-hati. Pendapat ulama jelas bukan pendapat suci yang tak
bisa “diinterogasi� secara kritis.

Tidak semua orang kompeten untuk mengeluarkan sebuah fatwa. Tetapi setiap
orang berhak menilai apakah sebuah fatwa masuk akal atau tidak, apalagi
jika fatwa itu menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Keadaanya tidak beda
dengan produk hukum sekuler biasa: anda tak perlu menjadi sarjana hukum
untuk menilai apakah suatu produk hukum tertentu masuk akal atau tidak.
Begitu juga, anda tak perlu menjadi seorang ahli hukum Islam untuk menilai
apakah sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh ulama atau lembaga ulama tertentu
masuk akal atau tidak.

Jangan terkecoh dengan sebuah fatwa yang mengandung catatan kaki panjang
yang memuat puluhan ayat atau hadis. Contoh yang sangat bagus adalah
pendapat Ibn Taymiyah yang sudah saya tulis dalam “note� terdahulu.
Berdasarkan sebuah hadis tertentu yang sangat sahih, Ibn Taymiyah
mengatakan bahwa dalam Islam bangsa Arab mempunyai bangsa yang lebih unggul
ketimbang bangsa lain. Bagi Ibn Taymiyah, itulah doktrin Sunni. Pendapat
Ibn Taymiyah itu, walaupun disokong oleh ratusan hadis sekalipun, jelas tak
masuk akal, dan “counter intuitive“.

Dengan kata lain, cara terbaik yang dapat membantu orang-orang awam di
bidang hukum Islam untuk menilai sebuah fatwa adalah akal sehat. Itulah
modal mental paling berharga yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia.
Dengan akal sehat, anda bisa menilai sendiri apakah fatwa tentang haramnya
mengucapkan selamat natal atau yoga masuk akal atau tidak. Sudah tentu,
dengan akal sehat, orang bisa sampai pada pendapat yang berbeda-beda. Itu
hal yang lumrah saja. Perbedaan adalah hal yang biasa dan tentu alamiah.
Tinggal bagaimana kita mengelola perbedaan itu secara sehat.

Tetapi memberangus perbedaan dengan alasan bahwa pendapat tertentu
bertentangan dengan “fatwa� dari seorang atau lembada ulama dan karena
itu sesat, jelas tak masuk akal dan kontradiktif dengan hukum masyarakat.[ ]



Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com. __._,_.___

Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Tidak ada komentar: