LAYAR :Gayatri Mantra Pesisir ketika fajar menjelang. Langit memburat keperakan, udara masih lembab memulas warna kelabu di permukaan. Titik air laut mengambang di udara menjadi kabut menyelubungi semua yang ada, melukiskannya dalam bayangan ketenangan. Siluet bakau, perahu-perahu kayu yang bersandar tegak dan nelayan-nelayan seperti larut dalam hening terbius dan kekhusukan pagi. Ritmis deburan ombak mengawali hari, senantiasa menjadi musik ritual masyarakat pesisir. Pagi ini, Sang Baruna tampak tenang dalam meditasinya. Energinya bergerak konstan dalam keriangan ombak yang bermain, datang-pergi. Ketenangan yang sungguh mendebarkan! Siapa yang tak bisa membaca langit? Ia akan mati dalam kibasan kilat. Rahasia itu disembunyikan bulan di antara awan-awan dan kelambu masa. Dan, para nelayan menyimpan semua kisah yang digariskan kaki langit dalam kesibukannya menganyam jaring-jaring ikan. Sebuah ritual pagi dihadapan deburan ombak: para nelayan hanya menyisakan sepotong kebisuan dalam kesibukan jemarinya. Rokok bertengger di sudut bibir dan secangkir kopi mengepulkan asapnya seperti menghela segala kepenatan. Sesekali, para nelayan bertukar sapa dengan mereka yang baru saja bersandar. Para nelayan membawa hasil tangkapan, pulang setelah berlayar dan berayun beberapa masa di atas samudera. Ikan-ikan ditakar dan ditukar uang. Aroma uang sudah pasti dapat menggariskan senyuman di sudut bibir para istri dan kekasih. Kini, langit tengah berdamai dengan lautan. Cuaca hati Supena begitu cerah sewaktu kapal yang ia tumpangi ditambatkan di daratan. Kerinduan pada rumah begitu menggigit setiap relung kalbunya. Supena, wajah dan semua postur tubuhnya seperti ditatah oleh sang waktu. Matang, legam dan garis wajah Supena terukir jelas. Cekung matanya dalam dan tatapannya tegas. Tubuhnya lentur dan guratan wajahnya menyimpan sejuta peristiwa. Udara bergaram telah memberikan aroma kesegaran di tubuh Supena. Pikirannya saat ini hanya terpusat pada rumah dan Karti. Wanita itu: Karti, istri tercinta yang baru setahun dinikahinya. Supena membawanya ke kota ini karena disinilah ia menyandarkan semua harapannya bersama Karti. Dan Karti, seperti menyetujui semua kata-kata suaminya. Mereka mengontrak pondokan seperti yang dilakukan nelayan-nelayan lainnya. Di kota ini, Supena dan Karti tak punya keluarga kecuali kenalan para nelayan yang juga berasal dari kota lain. Dan, oh…Karti, wanita itu kini berdiri dihadapan Supena. Cantik dan begitu nyata! Ya, ia bukan lagi sepotong potret mungil dalam dompet lusuhnya. Kehalusan kulitnya, helai rambutnya yang diterpa angin, sosoknya, semuanya ada dalam kehadiran yang senyatanya. Payudaranya ranum dan perutnyapun membusung. Karti tak sendiri. Karti hamil. Supena menatapnya terpana, hendak memeluk Karti. Tetapi…! "Ini bukan anakmu, mas. Maafkan aku." kata Karti datar, tanpa ekpresi menyambut kedatangan Supena yang belum penuh menghirup udara rumah kontrakan mereka. Tiba-tiba Supena merasakan dirinya seperti terlempar kembali kelautan yang maha luas. Tabir langit mendadak menghitam. Tubuhnya limbung di geladak kapal. Badai tengah menantang ombak dan mengombang-ambingkan bahtera ini. Petir menyambar dan hujan deras meluapkan gelombang pada kemurkaannya. Supena masih mengingat pelita. Ya, pelita hatinya tengah meredup. Dunia berpusing dan gelap dan teriakan angin begitu kejam mengiris relung hatinya yang terdalam. Lalu, membungkamkan setiap niat dan perkataan baik. Kerinduan itu menjadi begitu kelu. Ia menemukan dirinya hanyut dalam serpihan badan kapal yang mengapung dipermukaan laut, tanpa kompas, entah di mana. Ia selamat, namun terapung-apung pada nasib yang tak pasti, sebuah mimpi buruk. Vibrasi perkataan Karti telah merenggut semua harapan dan kerinduannya. Ia sungguh-sungguh, teramat mencintai Karti. Karti adalah hidupnya, namun Supena tak bisa menerima kabar buruk itu. Pelaut itu murka dalam diam yang tak terkatakan. Ia memeluk Karti. Dadanya digarami airmata istrinya. Supena bergegas pergi, tanpa sepotong kalimat. Setelah fajar, saat langit tak lagi perak, semua warna keindahan telah bersilur, seperti menghitam. Supena menikam mati Jaka. Supena berdiri sambil menggenggam pisau pemotong ikan berlumur darah. Pagi itu, keheningan hari bergeming melarutkan suasana dalam cekam. Pasir putih bernoda darah. Mata Supena nanar menatap tubuh tak bernyawa dihadapannya. Jaka telah merampas segala yang ia miliki, cinta, harapan dan keyakinannya. Jaka, sahabatnya telah memperkosa dan menghamili Karti saat Supena mengembangkan layar bahteranya. Lalu, Supena menceraikan Jaka dari tubuh dan jiwanya, tubuh yang telah lebih dahulu menikam hati dan harga dirinya. "Sebuah kepantasan bagi pelaut pendosa!" Setan menggeram dalam tubuh Supena. Kematian Jaka menyisakan raungan kepedihan bagi Karti. Jaka adalah adalah ayah biologis janinnya. Dan, Supena adalah suami, juga pelabuhan hatinya. Karti merasakan betapa dunia telah menenggelamkannya dalam kesedihan yang mendalam. Karti, tubuhnya menggigil melihat polisi membawa suaminya dan memasukkan mayat Jaka dalam kantung hitam. Karti menyesali kesialan yang menimpa, datang bertubi-tubi. Tiba-tiba ia menyadari dirinya. Tak ada yang mengenali ketakutan, kesepian dan kecemasannya. Janin dalam rahimnya akan lahir dan tumbuh besar. Karti tak tahu apa yang harus dilakukannya. Supena tak mungkin membantunya. Dan, Jaka telah mati. Ia sendirian. Dalam penjara, Supena masih menyimpan potret Karti. Photo itu makin lama makin usang di makan waktu, dan mata Supena memudar cahayanya. Supena telah membunuh semua kerinduannya, harapan dan juga cintanya. Hatinya beku seperti dinginnya kedalaman laut. Rasa kehilangan perlahan telah menghapus kenangan indah. Bagi Supena, hidup seperti kehilangan makna, ketidakadilan telah merampas setiap sensasi indah dalam setiap poros diri. Hanya potret Kartilah, suatu waktu mengingatkan Supena pada sebuah kata yang pernah dikenalnya: Cinta. Musim berganti, Supena di 'layar' sipir penjara. Supena dipindahkan ke penjara lain dengan tingkat pengawasan yang lebih baik. Mantan pelaut ini telah menggantung tahanan lain di langit-langit sel penjara. Lelaki malang itu sebelumnya telah memperkosa anak-anak balita. Diam-diam Supena muak dan mengakhiri nafas dari penjahat kelamin sialan itu! Supena telah berubah menjadi iblis karena hatinya telah menghitam dan patah. Sementara, enam tahun berlalu, anak Karti lahir dan tumbuh bersama neneknya di kampung. Anak itu bernama Samudra atau biasa dipanggil Samu oleh kawan-kawannya. Karti tak ada disamping anak itu. Ia bekerja sebagai penjaga café di sebuah kota. Café itu berdiri di depan sebuah pelabuhan. Diantara kelip-kelip temaram lampu, Karti menghibur para ABK, para pelaut yang tengah melempar sauh dan menambatnya untuk waktu yang tak lama. Karti menghirup setiap aroma bergaram dari tubuh-tubuh mereka, aroma yang mengingatnya pada Supena dan Jaka. Kini, Karti tak menunggu mereka bersandar dalam hidupnya. Karti berlayar dalam kesendirian, mengembangkan layar-layar perahunya yang rapuh dalam samudera kehidupannya. Karti sendirian mengail nasib baik, untuknya dan Samudra, putranya. Karti hanya mengikuti takdir hendak membawanya pada tujuan terakhir. Kelak, nasib baik akan berpihak kepadanya. Atau, badai akan menenggelamkannya. Karti sudah tak sanggup merasakan apa-apa. Perasaannya begitu datar seperti garis horizon. Diantara kelam malam, Karti menangkap bayangan perahu-perahu tengah bersandar, dan layarnya terikat di tiang. Siluet itu seperti kenangan buram yang bersandar dari masa lalu Karti. Tetapi, para ABK tengah merapat mencari kehangatan dirinya dan hidup harus terus berlayar. Basa-basi para pelaut pun terdengar diantara riuh remang-remang café "Layar…layar…kapan berlayar? Kapan bersandar?" Untuk: HBS-160210 |
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar