Beeehhh...de bes sanget Bli KAP Siapapun adalah saudara kita, hanya mungkin pas SD kurang pelajaran rasa, simpati, empati. Lha mungkin kesalahan pengajaran bahasa daerah tanpa disertai empati yang didapat anak saya kemarin juga beliau dapatkan sewaktu kecil, tapi gak ketahuan sama orangtuanya, jadi sekarang mengolok olok saudara sendiri dah dianggap prestasi meditasi. Seumpama melihat seorang gadis cantik molek, tapi punya tompel di pipi, yang diulas ya cuma cacat tompel itu saja terus terusan, padahal sekali waktu, si gadis juga pengen kok dipuji kecantikannya, kebaikannya. Siapa mau disebutin cacatnya tiap hari. Bersyukur si gadis masih mempunyai saudara yang bisa melihat kelebihannya, dan menerima apa adanya, tapi sayang, mereka memilih keluar rumah karena gak tega saudaranya diledek terus. Satu dilema, si gadis memilih ikut keluar rumah sebagai wujud penghormatan atas keputusan yang diambil saudara2nya, atau diam di rumah, sebagai wujud bakti kepada keluarga dan wujud syukur kepada Tuhan, atas anugrah tompel yang diberikan. (suatu ketika, sigadis mungkin juga akan menyusul mereka, mencari saudara diluar sana, karena menghadapi seratus musuh tidak akan cukup untuk mendapatkan seorang saudara) Seorang pakdhe nya pernah bilang, watak, tidak akan mudah dirubah. Tidak di rumah ini, diluar sana juga banyak orang yang lebih suka melihat kekurangan orang lain. Jadi andaikan beliau dikeluarkan dari rumah ini sekalipun, bila beliaunya tidak berubah, ya tetap akan menyebarkan dan memupuk rasa benci diluar sana. Apa kita rela, saudara kita diluar sana yang masih lugu, polos dan memiliki solidaritas tinggi tertular virus benci dan phobia. Merubah watak seseorang tidak mudah jika tidak mau dibilang tidak mungkin, tetapi, membiarkan seseorang, terlebih saudara sendiri, berkubang dalam pikiran kotor, merusak diri sendiri, demi kepuasan pribadi, atau sekedar menguji kesabaran orang lain, jauh lebih kejam. Melakukan satu pekerjaan sia sia, jauh lebih berharga ketimbang diam menutup mata. Salam damai. (Bersyukur ternyata menjadi seorang ibu, saya memahami cinta ibu yang belum tentu dimiliki seorang ayah. Seburuk apapun seorang anak, dia adalah satu amanah yang akan dipertanggungjawaban dihadapan Tuhan nanti, bukan pertanggung jawaban atas hasil akhir si anak, tetapi pertanggungjawaban atas proses yang ibu lakukan dalam membesarkan si anak. Seorang ibu tidak segampang orang lain yang bisa memalingkan badan. Menerima, mensyukuri, mendoakan, mengingatkan dengan harapan suatu ketika akan berubah, entah hari ini, atau besok, atau lusa...sang ibu harus sabar dan ikhtiar, karena tidak ada seorangpun yang bisa merubah si anak, kecuali dirinya sendiri dan kehendak Tuhan) --- On Wed, 10/28/09, Ketut Abdulpaulus <ketutabdulpaulus@yahoo.com> wrote:
|
__._,_.___
Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar