Sabtu, 18 April 2009

[bali-bali] Mulai Demonstran hingga Aktivis Perkumpulan ''Penyakit''



Sepenggal kisah perjalan hidup seorang aktivis...semoga bermanfaat

Ancak
==================================================================

[Jawa Pos, Sabtu, 18 April 2009 ]
Kisah Aktivitas Sardiyoko; mulai Demonstran hingga Aktivis Perkumpulan ''Penyakit''
Pernah Ditodong Pistol Orang Tak Dikenal sampai Ngompol


Sardiyoko menyatakan memiliki mental kuat dalam menghadapi penyakit gara-gara ikut berbagai organisasi pergerakan anti-Soeharto. Selama dua tahun (1996-1998), dia berpindah ke berbagai tempat. Dari Magelang hingga Banjarmasin. Mulai menjadi santri salaf hingga tukang tambal ban.

AHMAD AINUR ROHMAN

----------

RABU siang (15/4) suasana sekretariat Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jalan Mleto, Sukolilo, cukup ramai. Puluhan orang aktif berdiskusi tentang hasil pemilu legislatif. Tidak jarang ada nada tinggi di sana. Misalnya, ketika salah seorang tim sukses calon legislatif (caleg) mencak-mencak melapor ke KIPP karena merasa dicurangi dalam pemilihan umum.

Di antara puluhan orang itu, ada Sardiyoko. Dia ikut menyimak diskusi yang hangat tersebut. Namun, dia tidak banyak menanggapi dan berkomentar terlampau jauh. Maklum, Sardiyoko bukanlah anggota aktif KIPP. Dia datang ke sekretariat itu karena diundang kawan. ''Saya diberi tahu, katanya di sini ada acara kumpul-kumpul, '' tegasnya.

Sardiyoko mengungkapkan, sepanjang hidup dirinya tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas organisasi. Meski kondisinya saat ini tidak terlampau segar, dia memaksa juga untuk datang. Buktinya, di sekujur kakinya masih tampak luka berwarna merah menyala. Luka itu bulat-bulat dan ukurannya tidak terlampau besar. Hanya 1 hingga 1,5 sentimeter. Tetapi, luka tersebut masih sangat banyak. Selain di tangan, luka yang sama ada di sekitar area perut dan kepala.

Memang selain terkena psoriasis arthritis, dia juga terserang psoriasis vulgaris (peradangan pada kulit). Jenis yang terakhir itu tidak jarang membuat pengidapnya rendah diri dan malu luar biasa. ''Saya berusaha mendorong mereka untuk tidak malu menghadapi kenyataan ini,'' ucap koordinator perkumpulan penderita psoriasis arthritis dan psoriasis vulgaris Lilin Jingga Jatim tersebut.

Sardiyoko melanjutkan, pengalaman panjangnya sebagai aktivis mahasiswa ikut membikin mentalnya semakin matang. Penyakit berat pun dihadapinya dengan optimistis. ''Karena mungkin menjadi aktivis dengan mengidap penyakit, taruhannya sama, yakni nyawa,'' tegasnya.

Dia menceritakan, awal pergulatan dia dengan dunia aktivis adalah ikut Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) pada 1993. Organisasi itu terkenal sangat militan. Para anggotanya kondang sebagai orang-orang tanpa rasa takut. Mereka tidak gentar berdemonstrasi dan melakukan rapat-rapat bawah tanah. Padahal, saat itu kuku kekuasaan militer Soeharto masih kuat menancap.

Tak heran, Sardiyoko kemudian menjadi salah seorang sasaran penculikan paling utama tentara Orde Baru waktu itu. Risiko tersebut disadari penuh oleh Sardiyoko. Pada suatu malam pada 1995 misalnya, dia pernah ditodong pistol ketika berada di Terminal Arjosari oleh seorang tak dikenal. Sebab, Sardiyoko ditengarai menjadi organisatoris bagi buruh dan mahasiswa, menentang beberapa kebijakan Orde Baru. ''Saya diancam akan dibuang ke Kali Brantas kalau tidak menghentikan aktivitas ini. Terus terang saya ketakutan. Sampai ngompol di celana,'' ceritanya sambil terkekeh.

Sardiyoko tidak kapok. Dia terus melakukan aksi protes. Terutama menolak dicalonkannya Soeharto sebagai presiden. Hal itu berdampak gawat, tentara geram. Sardiyoko mendengar kabar bahwa tentara diinstruksikan menangkapnya hidup atau mati. ''Saya mendengar kalau tentara bisa menembak saya di tempat,'' kenangnya.

Dengan bantuan beberapa teman, Sardiyoko merancang aksi menghilangkan diri. Saat subuh pada 1996, dia pergi ke Magelang, menyamar sebagai santri di pondok pesantren salaf terpencil daerah itu. Layaknya pondok pesantren salaf, santrinya diharuskan ikut membajak sawah dan mencangkul.

Untuk meyakinkan penyamaran, Sardiyoko memanjangkan jenggot dan jambang. Sehari-hari dia menggunakan kopiah, baju takwa, serta sarung. Selain itu, nama Sardiyoko pun diubah menjadi Ahmad Syarif. ''Kalau tidak begini, saya bisa mati atau setidaknya diculik. Terbukti, beberapa teman mengalami nasib serupa,'' ujarnya.

Kebetulan, kiai di pondok pesantren itu juga anti-Soeharto. Jadi, dia berupaya melindungi Sardiyoko dengan sekuat tenaga. Sardiyoko diperbolehkan tinggal lama di sana.

Sementara itu, rumah Sardiyoko di Karanganyar diawasi dengan ketat oleh militer.

Satu truk tentara menginterogasi orang-orang lingkungan tempat tinggalnya. Orang tua Sardiyoko digeledah. Rumahnya dirusak. Bahkan, setiap mulut gang di jalanan tempat tinggalnya dijaga dengan ketat oleh tentara. ''Orang-orang mengibaratkan kejadian itu sama menegangkannya dengan penumpasan PKI dulu,'' ucapnya.

Delapan bulan Sardiyoko berada di pondok pesantren tersebut. Sebab, tentara ternyata mulai mengendusnya. Atas izin sang kiai, Sardiyoko memutuskan lari ke Jakarta. Saat itu dia melamar menjadi buruh bangunan di kawasan Pasar Senen. Risiko itu harus diambil meski Sardiyoko tahu bahwa kawasan tersebut penuh copet dan preman.

Alhasil, selama berada di sana, Sardiyoko tidak lepas dari pemalakan. Hampir setiap hari dia ditodong. Sardiyoko tidak mau kondisi itu berlarut-larut. Mantan peneliti di Pusat Hukum dan HAM Unair tersebut lantas memperhatikan gerak-gerik bos-bos preman itu. Sardiyoko tahu, ada satu kesamaan mencolok yang menjadi ciri orang-orang tersebut. ''Semua memakai banyak tato,'' ujarnya.

Sardiyoko lantas punya ide. Dia pergi ke sebuah studio untuk membikin tato di sekujur tubuhnya. Namun, tato itu tidaklah permanen. Hanya tato temporer yang bisa hilang sendiri dalam waktu tiga bulan. Setelah rampung, di waktu senggang, iseng-iseng Sardiyoko membuka bajunya. Para preman itu terhenyak melihat orang yang selama ini mereka palak ternyata memiliki tato yang sangat banyak. ''Sejak saat itu, saya tidak pernah ditarget lagi,'' ceritanya, lantas tertawa lebar.

Karena tato sudah hilang, Sardiyoko pindah tempat persembunyian lagi. Kali ini menjadi sopir buldoser di sebuah perusahaan di Tangerang. Namanya pun diubah menjadi Supriyanto. Total dia memiliki tiga KTP. Caranya mendapatkan identitas itu mudah saja. Tinggal menyogok petugas kecamatan, jadilah KTP.

Agar tidak terlacak aparat, Sardiyoko kembali pindah tempat. Dia kali ini berturut-turut ke Lampung, Semarang, dan Banjarmasin. Di kota terakhir, dia menjadi buruh pabrik kayu. Namun demikian, jiwa ''pemberontak' ' Sardiyoko tidak padam. Di sana dia mengorganisasi buruh pabrik untuk melakukan demo terhadap manajernya. ''Soalnya, manajernya sewenang-wenang. Dia kan orang Taiwan. Padahal, dalam UU tenaga kerja waktu itu, tidak boleh ada manajer asing di pabrik lokal,'' ungkapnya.

Setelah demo sukses, Sardiyoko kembali ke Semarang. Kali ini dia menyamar sebagai tukang tambal ban. Dia sebetulnya waswas dengan kondisi orang tuanya. Sebab, mereka diwajibkan lapor ke koramil satu minggu sekali. ''Tetapi bagaimana lagi. Bahkan, teman-teman menganggap saya ini sudah diculik dan mati,'' tuturnya.

Setelah melakukan pelarian selama dua tahun lebih, Sardiyoko bisa bernapas lega. Sebab, Soeharto sudah turun dan konstelasi politik berubah. Pada 1999, dia memutuskan menyambung kuliahnya yang sempat lama terputus di Jurusan Ilmu Politik Unair. Akhirnya pada 2001, dia lulus dari sana. Pada 2002, dia memutuskan masuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia alias Walhi. Pada tahun yang sama, dia diangkat menjadi direktur Walhi Jawa Timur sampai 2005. ''Jadi, ada dua periode dalam hidup saya ini. Pertama, dikejar-kejar tentara. Kedua, dihajar penyakit,'' celetuknya, lalu tertawa. (*/dos)




__._,_.___


Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Tidak ada komentar: