Selasa, 02 Februari 2010

[bali-bali] Penjara DALAM SUATU CERITA



KOTA MENARA

  by gayatri mantra


K

ota ini disebut Kota Menara. Luasnya sekitar 4 hektar. Jumlah penduduknya tak lebih dari 1000. Mereka berasal dari berbagai latar belakang: suku, agama, ras dan status sosial. Kota ini dilindungi oleh benteng yang terbuat dari tembok tinggi dan kokoh. Penjagaannya begitu ketat dan berlapis. Sebuah menara dibangun di poros  kota.  Menara yang begitu angkuh untuk ditaklukkan. Setiap malam ada cahaya berpendar dari puncak menara yang menyinari setiap jendela rumah. Cahaya itu menjadi pemandu waktu bagi penghuninya. Itulah sebabnya ia disebut Kota Menara.

T

idak ada anak-anak di Kota Menara! Mereka ada di kota yang lain. Mereka tak diijinkan tinggal di sini. Bayangkan, betapa seriusnya kota tanpa anak-anak! Memang, ada beberapa bayi yang pernah lahir di sana. Tetapi, mereka itupun disingkirkan dalam waktu yang tidak lama. Itu menjadi sebuah skandal, namun jarang terjadi. Jadi, penghuni kota ini harusnya hanya lelaki dan wanita dewasa. Mereka tinggal di blok-blok tertentu. Ekspariat, beralamat di blok B. Mereka membayar cukup mahal untuk fasilitas dan pelayanan khususnya. Junkies hidup dengan  komunitas mereka. Kebutuhan mereka tersuplai dengan cukup. Laskar bayaran cukup nyaman menetap di blok C. Sementara, para wanita tinggal terpisah di Blok W. Mereka seperti bidadari di sarang penyamun. Eksistensi blok W menjadi godaan tersendiri bagi penghuni blok lain yang terpaksa dan dipaksa untuk hidup selibat.

S

eorang perempuan cantik pernah berkata:

"Aku tak menyesal tiba di kota ini. Aku memang ingin menghapus kenangan usang dan menguburnya di tempat ini. Lelaki itu telah merampas keceriaan anakku dan menghina diriku. Ia memperkosa anak gadis kami dan menyiksaku bertahun-tahun. Iblis itu memang semestinya dilenyapkan olehku. Kini aku tak punya keluarga, juga tak punya rumah. Tak ada yang perlu kupertaruhkan lagi. Kota ini memberiku harapan". Sebulir air mata wanita itu menggenang di sudut matanya. Ia telah tinggal di kota itu hampir 5 tahun. Tampaknya ia telah berhasil melewati masa-masa yang paling menyedihkan. Ia tak sendiri! Di kota ini, banyak wanita yang mengalami nasib serupa. Mereka berkumpul  dan saling berbagi kisah sambil merajut waktu.

 "Sudahlah jeng, jangan itu dipikirkan lagi. Aku juga tak menyesal tinggal di sini. Asalkan anak dan suamiku bisa tetap sekolah dan makan, hidup di kota sunyi ini tak ada artinya" seorang ibu membagi keluh sambil mengutek kuku kaki dan tangannya. Ia terpaksa berbisnis judi karena suaminya di PHK tanpa pesangon. Ibu itu masih menetap di kota itu 3 bulan lagi dan selanjutnya ia akan melanjutkan bisnis judinya. Di kota ini, relasi bisnisnya makin banyak. Mereka juga mengajarkannya  cara berjudi yang lebih apik dan cerdik.

 

S

ebagian besar penghuni Kota Menara sesungguhnya orang-orang buangan. Mereka ditangkapi penguasa karena dianggap liar dan menjadi sampah di kota lain. Mereka menjadi teroris yang meresahkan! Menjadi iblis yang  merampas harta dan kehidupan orang lain! Mereka semua adalah para aktor dan aktris antagonis dalam panggung sandiwara hidup ini. Mereka tersingkir dan terasing! Sisanya, adalah penguasa kota. Mereka bertindak dan bekerja seperti hakim garis. Mereka menjadi pengawas batas-batas moralitas penghuni Kota Menara. Mata dan telinga mereka seperti ada disetiap dinding kota itu. Mereka mencatat setiap kesalahan dan mengukur kadar prestasi penghuni kota dengan timbangan teks-teks  hukumnya. Bonusnya bisa berupa remisi.

 

P

erbendaharaan kata para aparatus kota sangat terbatas. Mereka hanya mampu mengingat kata: Kasus? Berapa lama? Mau berapa? Deal? Itu ditujukan untuk perdagangan waktu dan peredaran uang bagi penghuni kota. Sisanya adalah kecanggihan mekanik dalam taktik dan strategi, sesuai dengan hukum bisnis dalam kota. Semua itu berjalan secara samar dan hening serupa halimun di tengah kota.

D

alam sunyi, Kota Menara ibarat kuil dan penghuninya serupa rahib. Mereka hidup dengan menghitung waktu penebusan dosa dan berdoa:

"Bebaskan jiwa kami dari segala dosa! Beri kami kebebasan! Jangan belenggu hidup kami. Bebaskan…bebaskan…! Ijinkan kami waktu bertobat..bebaskan kami dari neraka ini…! O, demi Tuhan! Biarkan kami berkumpul dengan keluarga ... bebas …bebaskan! Beri kami jalan untuk pulang!" seruan doa seorang pria yang memutilasi kawannya sendiri.

T

api, tembok-tembok tebal seperti tuli, meredam segala jeritan pertobatan. Dinding setiap bilik malah seperti berseru mengejek:

"Haihai, kota ini memang neraka! Sekali terlempar dalam apinya, panasnya akan tetap membakar! Pulang pintamu? Mana rumahmu? Bukankah  sejak dulu kalian tak punya rumah? Keluarga? Bukankah mereka telah mati dalam ingatanmu? Dan mereka berusaha melupakanmu, karena kaupun tak mengenal dirimu sendiri! Mereka berpaling darimu karena dirimu tiada harganya! Kehebatan apa yang bisa dibanggakan di tempat ini? Haihai, bebas? Bukankah kau pernah merenggutnya, dan kini kau memintanya? Mengabulah bersama waktu! Haihai!". Tembok-tembok itu jadi tampak begitu memuakkan!

"Bukan saya! Mata… ya, mata yang tajam itu mengintai hidup saya. Bahkan hingga hari ini! Mata yang membius dan menggiring saya untuk kemari. Mata-mata itu menjebak saya! Ya, mereka para bunglon bedebah! Mereka berdagangan di balik seragamnya. Siapa yang bisa menduga bilik hati mereka tak seperti kita? Dalam kondisi terdesak mereka bisa menyelamatkan diri dengan kartu anggota Mafioso mereka! Sial, sungguh sial! Mereka menangkapi dan mencuri uang saya " keluh seorang lelaki kepada lelaki lainnya.

M

ereka senasib! Tubuh ringkihnya meringkuk dan menggigil tanpa alas dan selimut dalam bilik mereka. Gigi rapuh mereka dipaksa mengunyah ransum jatah nasi cadong. Makan nasi cadong sama dengan makan biji-biji beras. Sungguh mengerikan mendengar bunyi nasi jatah, jatuh di atas piring: seperti runtuhan kerikil! Jika bukan karena terpaksa, mereka tidak akan menjarah mi instan tetangga dari blok sebelah. Nasi cadong seperti mimpi buruk di siang bolong!

"Ah sudahlah. Berhenti menggerutu! Nasi cadong ini lebih baik daripada nasi di luar sana. Kita tidak harus bekerja keras untuk membeli beras dan membayar kontrakan rumah. Aku tak perlu lagi digebuki, diteriaki maling karena perut laparku! Di sini, semuanya telah tersedia!" teriak lelaki gendut residivis bongkar rumah.

T

entu saja ini tidak ditanggapi oleh yang lainnya. Ya, ia baru 3 hari dikeluarkan dari kota ini dan selalu berhasil kembali. Pergi untuk datang lagi! Bukan hal yang mengejutkan! Lelaki itu tak punya apa dan siapa. Tak ada KTP, apalagi cita-cita. Ia hanya tahu alamat rumahnya di Kota Menara, itu pasti! Energi Kota Menara selalu berhasil menarik orang-orang untuk datang tetapi tidak untuk keluar.

D

an sama seperti hari yang lain, setiap malam selalu ada mata dari balik jendela yang menatap menara. Mata yang bercahaya oleh pendaran lampu panoptikon. Mata yang meredup cahayanya itu berhitung dan berharap hari pembebasan diri dari  keterasingan dunia yang tersekat. Mereka seperti laron-laron yang mati karena inginkan cahaya.

 

 

 

 

 

O

, mengapa aku tahu semua kisah ini? O, aku adalah hantu kota ini. Aku mengusik penghuni kota, jika sedang merasa bosan menjadi hantu. O, aku menguping bisikan, gumaman, keluhan, teriakan, erangan dan jeritan hati dari penghuni kota. Tembok-tembok itu merekamnya. Terjebak dalam ruang dan waktu, O itu menyedihkan! O, juga karena aku tahu apa arti kesunyian yang tak terkatakan! Sama seperti yang dirasakan penghuni Kota Menara itu. O, tersingkir dan terasing bukan suatu hal yang pernah terpikirkan, bukan? O, aku menghantui mereka. Dan mereka menghantui kalian. O, apakah itu  menjadi begitu mengerikan? O, aku yang tiada dan mereka yang ada. O, kami menjadi bayang-bayang yang tak akan pernah ingin digapai siapapun dan  dikenang dalam ingatan manapun. O, bukankah begitu?

 

KOTA MENARA

 

 

K

ota ini disebut Kota Menara. Luasnya sekitar 4 hektar. Jumlah penduduknya tak lebih dari 1000. Mereka berasal dari berbagai latar belakang: suku, agama, ras dan status sosial. Kota ini dilindungi oleh benteng yang terbuat dari tembok tinggi dan kokoh. Penjagaannya begitu ketat dan berlapis. Sebuah menara dibangun di poros  kota.  Menara yang begitu angkuh untuk ditaklukkan. Setiap malam ada cahaya berpendar dari puncak menara yang menyinari setiap jendela rumah. Cahaya itu menjadi pemandu waktu bagi penghuninya. Itulah sebabnya ia disebut Kota Menara.

T

idak ada anak-anak di Kota Menara! Mereka ada di kota yang lain. Mereka tak diijinkan tinggal di sini. Bayangkan, betapa seriusnya kota tanpa anak-anak! Memang, ada beberapa bayi yang pernah lahir di sana. Tetapi, mereka itupun disingkirkan dalam waktu yang tidak lama. Itu menjadi sebuah skandal, namun jarang terjadi. Jadi, penghuni kota ini harusnya hanya lelaki dan wanita dewasa. Mereka tinggal di blok-blok tertentu. Ekspariat, beralamat di blok B. Mereka membayar cukup mahal untuk fasilitas dan pelayanan khususnya. Junkies hidup dengan  komunitas mereka. Kebutuhan mereka tersuplai dengan cukup. Laskar bayaran cukup nyaman menetap di blok C. Sementara, para wanita tinggal terpisah di Blok W. Mereka seperti bidadari di sarang penyamun. Eksistensi blok W menjadi godaan tersendiri bagi penghuni blok lain yang terpaksa dan dipaksa untuk hidup selibat.

S

eorang perempuan cantik pernah berkata:

"Aku tak menyesal tiba di kota ini. Aku memang ingin menghapus kenangan usang dan menguburnya di tempat ini. Lelaki itu telah merampas keceriaan anakku dan menghina diriku. Ia memperkosa anak gadis kami dan menyiksaku bertahun-tahun. Iblis itu memang semestinya dilenyapkan olehku. Kini aku tak punya keluarga, juga tak punya rumah. Tak ada yang perlu kupertaruhkan lagi. Kota ini memberiku harapan". Sebulir air mata wanita itu menggenang di sudut matanya. Ia telah tinggal di kota itu hampir 5 tahun. Tampaknya ia telah berhasil melewati masa-masa yang paling menyedihkan. Ia tak sendiri! Di kota ini, banyak wanita yang mengalami nasib serupa. Mereka berkumpul  dan saling berbagi kisah sambil merajut waktu.

 "Sudahlah jeng, jangan itu dipikirkan lagi. Aku juga tak menyesal tinggal di sini. Asalkan anak dan suamiku bisa tetap sekolah dan makan, hidup di kota sunyi ini tak ada artinya" seorang ibu membagi keluh sambil mengutek kuku kaki dan tangannya. Ia terpaksa berbisnis judi karena suaminya di PHK tanpa pesangon. Ibu itu masih menetap di kota itu 3 bulan lagi dan selanjutnya ia akan melanjutkan bisnis judinya. Di kota ini, relasi bisnisnya makin banyak. Mereka juga mengajarkannya  cara berjudi yang lebih apik dan cerdik.

 

S

ebagian besar penghuni Kota Menara sesungguhnya orang-orang buangan. Mereka ditangkapi penguasa karena dianggap liar dan menjadi sampah di kota lain. Mereka menjadi teroris yang meresahkan! Menjadi iblis yang  merampas harta dan kehidupan orang lain! Mereka semua adalah para aktor dan aktris antagonis dalam panggung sandiwara hidup ini. Mereka tersingkir dan terasing! Sisanya, adalah penguasa kota. Mereka bertindak dan bekerja seperti hakim garis. Mereka menjadi pengawas batas-batas moralitas penghuni Kota Menara. Mata dan telinga mereka seperti ada disetiap dinding kota itu. Mereka mencatat setiap kesalahan dan mengukur kadar prestasi penghuni kota dengan timbangan teks-teks  hukumnya. Bonusnya bisa berupa remisi.

 

P

erbendaharaan kata para aparatus kota sangat terbatas. Mereka hanya mampu mengingat kata: Kasus? Berapa lama? Mau berapa? Deal? Itu ditujukan untuk perdagangan waktu dan peredaran uang bagi penghuni kota. Sisanya adalah kecanggihan mekanik dalam taktik dan strategi, sesuai dengan hukum bisnis dalam kota. Semua itu berjalan secara samar dan hening serupa halimun di tengah kota.

D

alam sunyi, Kota Menara ibarat kuil dan penghuninya serupa rahib. Mereka hidup dengan menghitung waktu penebusan dosa dan berdoa:

"Bebaskan jiwa kami dari segala dosa! Beri kami kebebasan! Jangan belenggu hidup kami. Bebaskan…bebaskan…! Ijinkan kami waktu bertobat..bebaskan kami dari neraka ini…! O, demi Tuhan! Biarkan kami berkumpul dengan keluarga ... bebas …bebaskan! Beri kami jalan untuk pulang!" seruan doa seorang pria yang memutilasi kawannya sendiri.

T

api, tembok-tembok tebal seperti tuli, meredam segala jeritan pertobatan. Dinding setiap bilik malah seperti berseru mengejek:

"Haihai, kota ini memang neraka! Sekali terlempar dalam apinya, panasnya akan tetap membakar! Pulang pintamu? Mana rumahmu? Bukankah  sejak dulu kalian tak punya rumah? Keluarga? Bukankah mereka telah mati dalam ingatanmu? Dan mereka berusaha melupakanmu, karena kaupun tak mengenal dirimu sendiri! Mereka berpaling darimu karena dirimu tiada harganya! Kehebatan apa yang bisa dibanggakan di tempat ini? Haihai, bebas? Bukankah kau pernah merenggutnya, dan kini kau memintanya? Mengabulah bersama waktu! Haihai!". Tembok-tembok itu jadi tampak begitu memuakkan!

"Bukan saya! Mata… ya, mata yang tajam itu mengintai hidup saya. Bahkan hingga hari ini! Mata yang membius dan menggiring saya untuk kemari. Mata-mata itu menjebak saya! Ya, mereka para bunglon bedebah! Mereka berdagangan di balik seragamnya. Siapa yang bisa menduga bilik hati mereka tak seperti kita? Dalam kondisi terdesak mereka bisa menyelamatkan diri dengan kartu anggota Mafioso mereka! Sial, sungguh sial! Mereka menangkapi dan mencuri uang saya " keluh seorang lelaki kepada lelaki lainnya.

M

ereka senasib! Tubuh ringkihnya meringkuk dan menggigil tanpa alas dan selimut dalam bilik mereka. Gigi rapuh mereka dipaksa mengunyah ransum jatah nasi cadong. Makan nasi cadong sama dengan makan biji-biji beras. Sungguh mengerikan mendengar bunyi nasi jatah, jatuh di atas piring: seperti runtuhan kerikil! Jika bukan karena terpaksa, mereka tidak akan menjarah mi instan tetangga dari blok sebelah. Nasi cadong seperti mimpi buruk di siang bolong!

"Ah sudahlah. Berhenti menggerutu! Nasi cadong ini lebih baik daripada nasi di luar sana. Kita tidak harus bekerja keras untuk membeli beras dan membayar kontrakan rumah. Aku tak perlu lagi digebuki, diteriaki maling karena perut laparku! Di sini, semuanya telah tersedia!" teriak lelaki gendut residivis bongkar rumah.

T

entu saja ini tidak ditanggapi oleh yang lainnya. Ya, ia baru 3 hari dikeluarkan dari kota ini dan selalu berhasil kembali. Pergi untuk datang lagi! Bukan hal yang mengejutkan! Lelaki itu tak punya apa dan siapa. Tak ada KTP, apalagi cita-cita. Ia hanya tahu alamat rumahnya di Kota Menara, itu pasti! Energi Kota Menara selalu berhasil menarik orang-orang untuk datang tetapi tidak untuk keluar.

D

an sama seperti hari yang lain, setiap malam selalu ada mata dari balik jendela yang menatap menara. Mata yang bercahaya oleh pendaran lampu panoptikon. Mata yang meredup cahayanya itu berhitung dan berharap hari pembebasan diri dari  keterasingan dunia yang tersekat. Mereka seperti laron-laron yang mati karena inginkan cahaya.

 

 

 

 

 

O

, mengapa aku tahu semua kisah ini? O, aku adalah hantu kota ini. Aku mengusik penghuni kota, jika sedang merasa bosan menjadi hantu. O, aku menguping bisikan, gumaman, keluhan, teriakan, erangan dan jeritan hati dari penghuni kota. Tembok-tembok itu merekamnya. Terjebak dalam ruang dan waktu, O itu menyedihkan! O, juga karena aku tahu apa arti kesunyian yang tak terkatakan! Sama seperti yang dirasakan penghuni Kota Menara itu. O, tersingkir dan terasing bukan suatu hal yang pernah terpikirkan, bukan? O, aku menghantui mereka. Dan mereka menghantui kalian. O, apakah itu  menjadi begitu mengerikan? O, aku yang tiada dan mereka yang ada. O, kami menjadi bayang-bayang yang tak akan pernah ingin digapai siapapun dan  dikenang dalam ingatan manapun. O, bukankah begitu?

 




__._,_.___


Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Tidak ada komentar: