SANG PEMATUNG
umah ini tak pernah sepi. Selalu riuh dengan teriakan, jeritan dan tangisan anak-anak. Popok bergantungan, bedak bayi dan wangi kayu putih menjadi aroma yang mengingatkanku untuk kembali. Ya, rumah ini selalu menarikku untuk pulang! Rumah ini seperti tak pernah tua karena sebagian besar penghuninya adalah anak-anak. "Ibu, darimanakah aku berasal?" Anak-anak selalu bertanya seperti itu. Begitu juga aku, menanyakan hal yang sama pada ibuku. Dan ibu akan memeluk dan menciumiku. " Anakku, di
nak-anak, begitu juga aku selalu tak peduli dengan cerita itu. Aku bertanya hanya untuk mendengarkan dan melihat bibir ibuku bercerita. Kisah yang tereja dari bibir ibu menggetarkan hati dan mengayunkan aku dalam buaiannya. Aku, begitu juga anak-anak yang lain selalu mencari dada ibu. Bahkan untuk itu, kami saling bertengkar dan berkelahi untuk merebut dekapannya. Ibu, dengan tangannya yang terbatas akan memisahkan dan memeluk kami semua. Anak-anak berebutan untuk mendapatkan perhatian ibu. Satu bergantung dibahunya, dan yang lain : memeluk kakinya, bergayut pada tangannya, memeluk lehernya dari depan dan belakang. Bagi kami semua, setiap noktah diri ibu begitu berharga. Ibu hanya tertawa dengan beban dari tubuh kami semua.
umah itu sudah tua, begitu juga ibu. Ibu masih terus dikirimi boneka dari Nirwana. Rumah ini tak pernah berubah, begitu juga ibu yang selalu menyambutku dengan senyumnya yang hangat. Beranjak dewasa dan matang, aku baru menyadari bahwa kami tinggal di panti asuhan. Ibu merawat bayi dan anak-anak yang kelahirannya tidak diharapkan oleh orang tua mereka. Mereka itu seperti burung-burung yang selalu ingin terbang bebas. Beberapa dari burung itu terperangkap dan terpenjara dalam sangkar kemiskinan, sehingga mereka tidak dapat merawat anak mereka sendiri. Selalu, ada cerita yang membuat kami, anak-anak menerima kenyataan itu dengan tulus dan iklas. Dan setiap saat, kami diajarkan untuk mengenal bayi dan anak-anak yang tiba di rumah. Anak-anak tanpa asal-usul, tanpa silsilah! "Ibu, dapatkah kau meminta pematung di atas langit biru untuk berhenti mengirimimu bonekanya yang cantik itu? O, Pematung di langit biru, dapatkah kau berhenti mengirimi boneka-bonekamu pada ibuku, dan biarkan ibu menjadi milikku seorang?" begitulah doaku setiap malam di bangsal tempat tidurku.
un jauh dari tempat itu, seorang wanita juga tengah berdoa di depan altar suci, begitu khusuk. Wanita itu duduk dan berdoa di depan arca Mén Brayut, Dewi Kesuburan. Tempat itu merupakan pemujaan Betari, arca ibu dengan anak-anak bergantung pada badannya, dipuja oleh mereka yang menginginkan keturunan. Konon, ada banyak pasangan yang telah berhasil mendapatkan anak, dan beberapa masih berharap berkah. Arca itu dipahat dengan begitu sempurna oleh pematungnya. Berhadapan dengannya seperti terdengar teriakan, tawa dan jeritan anak-anak di tubuh Hyang Betari. Mén Brayut duduk dengan begitu hening seperti menyimak dan memahami setiap harapan dari para pemujanya, sementara anak-anak bergayut pada tubuhnya secara bebas dan bahagia. "O Hyang Betari, berikan aku kesempatan menjadi seorang ibu. Berikan aku anak yang dapat kulahirkan dari rahimku. Berikan aku keceriaan anak-anak di dalam rumah kami, dan tawanya akan memberikan nada baru dalam hidup kami. Ya, Ibu, Aku akan berikan apapun yang kau inginkan, jika engkau dapat berikan aku benih yang bisa kukandung.Aku berjanji untuk memelihara pemberianmu dengan baik. O, Ibu! Selamatkan perkawinanku dengan kehadiran anak-anak itu! Aku sangat mencintai suamiku. Jangan biarkan orang-orang menghina suamiku karena mereka menuduhku mandul!". " O, anakku, bahkan bukan aku pencipta semua ini. Aku hanya memelihara apa yang telah diberikan padaku. Mereka adalah boneka-boneka dari pematung di langit biru. Ia memberikan ciptaannya sebagai ujian bagi ketabahanmu. Ada begitu banyak anak-anak yang dihadiahkan untuk menjaga dunia, tetapi ada banyak pula yang telah disia-siakan kehadirannya. Mereka tumbuh sebagai benih dalam rahimmu atau perempuan lainnya, apakah perbedaan itu menjadi begitu penting bagimu? Bukankah kau menginginkannya sebagai anak, dan bukan pertukaran untuk membuktikan hasrat dan perkawinanmu?! Dapatkah kau menerimanya sebagai anak-anak Tuhan, O Anakku? Tetapi baiklah, akan kusampaikan harapanmu, semoga Pematung di langit biru mengirimkan permohonanmu itu!".
én Brayut menatap wanita yang baru saja menyelesaikan doanya dan berlalu pulang. Setibanya di rumah wanita itu bercinta dengan suaminya dengan keyakinan penuh bahwa mereka akan memiliki anak-anak mereka sendiri atas restu Mén Brayut. Saat ini mereka sungguh tak ingin memikirkan program keluarga berencana pemerintah. Jika Mén Brayut berkenan, berapapun anak yang akan diberkati pada mereka, akan diterimanya.
i atas langit biru, Sang Pematung masih memahat boneka-boneka indahnya tanpa henti, siang dan malam. Ia akan selalu memahat dan mengirimkan boneka-boneka itu ke dunia.Dan, burung-burung masih tetap setia, terbang bebas di langit yang tinggi, selalu membawa kabar baik untuk ibu. |
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar