BULU-BULU ANGSA by: gayatri mantra
asien kamar 437 telah meninggal tadi pagi. Seorang wanita menangis lalu dipeluk suaminya di koridor rumah sakit. Setelah beberapa saat ditenangkan suaminya, wanita itu menghapuskan airmatanya. Lalu ia menengok ke dalam kamar dari balik jendela. Sang suami menghampiri, memeluknya dan mengajaknya berlalu. Sementara di dalam ruangan, paramedis melakukan tugasnya mengurus jenazah Nyonya Murdata. Wanita berusia 77 tahun itu kini telah terbebas dari penderitaannya. Ia tampak tertidur pulas di atas ranjang. Kanker telah mengunyah kesehatan serta keuangannya.
eluarganya menerima kematian Nyonya Murdata dengan iklas, meski kali ini kematian itu justru bukan karena penyakitnya itu. Ia meninggal dini hari karena diduga gagal jantung. Siapa yang peduli? Lansia meninggal karena apapun tak menjadi soal. Itu sudah waktunya. Bahkan banyak yang merasa lega, seakan kehadiran lansia itu hanya menjadi beban saja.
nak wanita Nyonya Murdata telah menikah dan hidup di kota lain. Nyonya Murdata hidup kesepian dan menghabiskan waktu dengan membelanjakan uang pensiunannya. Wanita bertumbuh tambun itu hidup di apartemen dekat rumah sakit hanya dengan seekor kucing, Si Kiti kesayangannya. Hingga suatu saat, ia terjatuh tak sadarkan diri seusai jalan-jalan sore hari di taman. Nyonya Murdata dilarikan ke rumah sakit dan didiagnosa terinfeksi kanker otak. Dokter telah memberikan bantuan medis yang terbaiknya. Dan aku, perawat yang melayaninya di kamar itu. Selama dalam perawatan, Nyonya Murdata sering bercerita apa saja padaku. "Aku ingin terbebas dari penderitaan ini, suster!Ada sedikit tabungan yang bisa kuberikan pada Marita, anakku. Kau mirip sekali dengan Marita. Kalau aku mati...." belum habis perkataan Nyonya Murdata, langsung kusela: "Nyonya akan baik-baik saja. Jangan bicara seperti itu! Sedikit suntikan dan minum obatnya, oke?".
ku senang mendengarnya bercerita. Tapi kurasa tidak ada seorangpun akan merasa nyaman mendengarkan topik tentang kematian. Termasuk juga, diriku. Sering aku menyibukkan diri membuat catatan tentang perkembangan kesehatan mereka. Memeriksa tekanan darah lalu memastikan mereka tidak mengalami konstipasi.
ekian minggu sudah, aku bertugas merawat Nyonya Murdata. Hingga pada suatu hari, ia membisikkan sesuatu padaku. Sesuatu yang tak mungkin untuk kuabaikan begitu saja. Sesuatu yang begitu penting! Itu menjadi rahasia milik kami berdua, bahkan hingga hari kematiannya. Aku senang mendengar Marita mengurus pemakaman ibunya dengan pantas. Semenjak itu, setiap ada waktu aku menyempatkan diri mengunjungi makam Nyonya Murdata sesuai dengan permintaannya. ***
umah sakit, telah menjadi rumah keduaku. Setiap hari ada yang lahir, sakit dan mati di sana. Aku mendapat tugas mengurusi pasien-pasien tua. Banyak perawat berusaha menghindar dari tugas ini. Sebab, para lansia seperti bayi raksasa yang memeras tenaga dan ekstra perhatian dari mereka. Sering kudapati mereka diperlakukan seperti seonggok daging yang tergeletak di atas ranjang oleh keluarga mereka sendiri. Bahkan, ada juga keluarga pasien yang tak menunjukkan batang hidung mereka. Lansia seperti mereka, sekarat dan kesepian. Aku jadi terbiasa mendengar keluh-kesah mereka tentang kehidupan dan penderitaan.
ku ingin sekali membebaskan mereka dari siksaan dunia, karena itu aku berusaha bekerja dengan sungguh. Aku tak punya kehidupan yang spesial juga tak punya kekasih. Jadi, perhatian kucurahkan pada mereka. Aku sendiri tak lagi memiliki keluarga. Ayahku entah siapa. Ibuku meninggalkanku di depan pintu panti. Jadi aku sempat tinggal di panti asuhan, sehingga suatu hari sepasang suami istri mengadopsiku dan menjadikanku seperti sekarang. Kini kami tinggal di kota yang berbeda. Aku telah bekerja selama lima tahun di rumah sakit ini dan sebelumnya sempat juga bekerja di kota lain.
yonya Murdata pasien ke enam yang meninggal di awal tahun ini. Pasien tua lainnya banyak juga yang telah mati. Paling sering meninggal karena serangan jantung, dan komplikasi penyakit lainnya. Meskipun begitu, aku memenuhi janjiku pada mantan pasien yang kurawat untuk mengunjungi makam mereka. Dan janji itu kupenuhi!
ali ini aku akan menengok Nyonya Roza. Wanita itu ketika meninggal berusia 68 tahun. Itu telah terjadi 3 tahun yang lalu. Ia dulunya seorang artis. Di akhir hidupnya, ia menderita stroke dan dirawat di rumah sakit tempat aku bekerja sebelumnya. Ia meninggal dengan tenang setelah berbaring sekian lama tanpa bisa berbuat apa-apa. Ia sepertinya tak punya keluarga karena tak ada yang membezuknya. Hampir semua pasien yang kurawat senang berbagi cerita tentang kehidupan mereka padaku.
ku terbiasa mengujungi makam mantan pasienku sesuai tanggal-tanggal kematiannya. Selalu, kubawakan sesuatu seperti benda kesayangan untuk mereka. Untuk Nyonya Murdata, kubelikan boneka mini berbentuk kucing. Tuan Marcel kubawakan mobil-mobilan mini karena dia mantan montir. Tuan Luki kubelikan boneka mini berbentuk tentara karena ia seorang pensiunan perwira itu. Pagi ini, aku membeli bunga Magnolia untuk kubawa ke makam Nyonya Roza.
akam Nyonya Roza berada di luar kota. Kebetulan aku mendapatkan cuti, maka kugunakan untuk pergi sekaligus mengisi waktu dengan menikmati udara pegunungan. Aku pergi dengan mengendarai mobil bekas yang sudah tua hadiah dari orang tua asuhku. Jarak tempuh 3 jam dan perjalanan begitu menyenangkan. Udara pagi ini terasa sejuk dan cerah. Beberapa kelopak bunga berguguran, seperti permadani ungu menyelimuti permukaan jalan. Jalanan masih tampak lembab dan basah. Tampaknya kemarin hujan turun cukup lebat. Pemakaman begitu meditatif dengan keheningannya.
idak banyak orang berkunjung ke pemakaman. Tentu saja. Tetapi bagiku, itu tempat terbaik bagi Nyonya Roza untuk mendapatkan kehidupannya yang baru. Kematian telah menjelmakan hidupnya serupa bulu-bulu angsa, melayang ringan diterbangkan angin. Bebas, tanpa derita seperti permintaannya padaku. Magnolia kuletakkan di atas makamnya, lalu berdoa.
eseorang berdiri di sebelahku. Lelaki tinggi dan bertubuh tegap. Ia menggunakan jaket biru gelap dan topi dengan warna yang sama. Beberapa orang berdiri agak jauh dari tempat kami berdiri. Mereka dalam posisi siaga. Lelaki itu bicara pelan padaku: "Nona Zagosa, anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan pasien-pasien anda! Anda akan kami bawa ke markas besar kepolisian untuk dimintai keterangan. Anda berhak didampingi pengacara!". Setiap kata yang keluar dari mulut reserse itu seperti halimun yang mengaburkan pandanganku. Dunia serasa berputar dan tubuhku menjadi limbung sejenak dalam berbagai sangkaan. Lututku melemah tak sanggup menopang tubuhku.
ku tak melawan dan menurut ketika mereka menggiringku hingga ke pengadilan atas tuduhan pembunuhan berantai. Ada 16 pasien di dua tempat yang berbeda terbunuh oleh suntikan epinephrine dan diamhorpine. Mereka menuduhku sebagai pelakunya. Aku mencoba membela diri untuk mendapatkan kemurahan hati para hakim. "Itu jalan terbaik bagi mereka. Penderitaan mereka harus diakhiri! Kalaupun mereka hidup, betapa sepinya dunia tanpa teman, tanpa keluarga. Lagi pula, siapa yang akan mengurusi mereka? Aku memberikan mereka kebebasan seperti yang mereka inginkan. Sampai kapan hidup dan mati harus diterima tanpa pilihan?" aku mencoba menyatakan pikiranku.
etapi, aku tidak pernah membuka pembicaraan rahasia antara aku dan mantan pasienku. Setidaknya apa yang kulakukan membantu keluarga pasien mendapatkan santunan asuransi dari yang mati. Hingga di akhir hidupnya, mereka bisa berguna bagi keluarga yang ditinggalkan. "Nona Zagosa, anda didakwa melakukan pembunuhan berantai. Tindakan dilakukan secara sadar dan terencana. Anda divonis hukuman penjara seumur hidup. Jika ada pledoi, kami beri kesempatan seminggu lagi!" para hakim mengakhiri persidangan dengan ketegasan yang tak terbantahkan. Namun, persidangan berikutnya tidak akan pernah terjadi. Karena Aku, telah melayang seperti bulu-bulu angsa. Aku memilih terbang bersama angin untuk bertemu dengan Nyonya Murdata, Nyonya Roza, Tuan Luki, Tuan Marcel dan yang lainnya. Mereka hanya menemukan tubuhku tergantung di langit-langit ruang tahanan. |
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar