Kejenuhan dan Frustasi Informasi Menuju De-Media M Misbahul Ulum - detikNews
Jakarta -
Gayus maneh, dipateni wae wong ngunu kuwi (Gayus lagi, dibunuh saja orang itu). Ucapan tersebut dilontarkan oleh seorang bapak setengah baya di sebuah angkringan sewaktu melihat berita Gayus di sebuah televisi swasta. Kasus Gayus telah lama menjadi bulan-bulanan media massa. Kejenuhan dan kejengkelan Si Bapak akan informasi yang disajikan oleh media masa agaknya cukup merepresentasikan kejenuhan publik akan informasi akhir-akhir ini.
Media massa Indonesia belum maksimal dalam mengakomodasi kebutuhan informasi masyarakat. Orientasi bisnis media semakin menunjukkan gairahnya di tengah himpitan
ekonomi modern dengan menyimaharajakan modal. Kereta kapitalisme pasar semakin semangat dijalankan dengan bahan bakar materialisme.
Media massa memang mempunyai fungsi sebagai lembaga ekonomi yang berorientasi profit, namun seyogyanya tidak menafikkan fungsi lain darinya, yakni sebagai lembaga sosial yang berfungsi membantu lembaga-lembaga lain dalam masyarakat dengan menyediakan informasi tentang dinamika masyarakat dan lembaga politik yang berfungsi untuk menangkap, menyampaikan, dan memperjuangkan aspirasi atau kepentingan warga masyarakat karena kemampuannya mempengaruhi proses-proses politik atau penyusunan kebijakan publik dengan menjalankan fungsi watchdog (fungsi pengawasan) bagi kekuasaan.
Kejenuhan InformasiGairah media massa Indonesia untuk melayani kepentingan publik belum menampakkan
kejelasannya. Sebaliknya, 'homogenitas' informasi yang disajikan oleh media dengan
framingnya agar menarik perhatian demi keberlangsungan profit semakin terlihat jelas
memperdaya publik. Publik dianggap kurang pandai mengingat dengan 'homogenitas'
informasi yang disajikan secara berulang-ulang oleh media massa. Substansi informasi
sama, namun disajikan secara berbeda di media yang berbeda.
Pun secara berulang-ulang. Memang sangat sulit—bahkan mustahil—bagi media untuk 'mengakomodasi' seluruh realita yang terjadi di dunia nyata. Namun, untuk 'mengakomodasi' informasi berdasarkan realita untuk memenuhi dan melayani kebutuhan dan kepentingan publik akan informasi bukan lah hal yang mustahil—meski sulit. Ironisnya, melimpahnya jumlah media massa di Indonesia tidak dimanfaatkan untuk 'mengakomodasi' realita secara maksimal sesuai jumlahnya dan dengan skala kepentingan dan kebutuhan publik. Akibatnya, kejenuhan publik akan informasi lah yang terjadi.
Lambannya penanganan pemerintah terhadap permasalahan-permasalahan publik semakin menambah kejenuhan publik akan informasi. Mulai kasus KPK, Bank Century, Sri Mulyani, hingga Gayus yang telah menjadi bulan-bulanan di media massa seyogianya dijadikan pelajaran untuk segera berbenah dalam melayani publik. Spesialisasi penyajian informasi pun belum menampakkan tanda-tanda kelahirannya.
Sehingga 'homogenitas' informasi akibat tidak 'diakomodasi'-nya realitas yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan publik oleh media terus berlanjut. Sehingga menimbulkan dampak, pertama, publik yang telah menyangsikan pejabat pemerintah akibat segudang kelakuan anomalinya akan menular pada media massa dengan anomali 'homogenitas' informasinya.
Kedua, meningkatnya rasa ketidakpercayaan publik terhadap informasi yang disajikan oleh media massa akibat perbedaan 'versi' informasi. Apalagi dengan hadirnya teknologi informasi yang mempermudah masyarakat dalam mendapatkan informasi yang memicu banjirnya informasi. bahkan kemudahan daya jangkau teknologi informasi pun telah sampai di tingkat desa-desa—yang bahkan terpencil. Ketiga, meningkatnya apatisme publik terhadap media seperti halnya sikap apolitis publik akibat kekecewaannya terhadap pejabat pemerintah yang ditandai dengan meningkatnya angka golput dalam setiap pemilihan.
Hak InformasiPada pasal 19 Deklarasi Hak Asasi Manusia menegaskan perlindungan terhadap setiap orang hak untuk menyatakan pendapat (freedom of opinion and expression) termasuk di dalamnya kebebasan untuk (freedom to) mencari (seek), menerima (receive) dan menggunakan informasi dan pemikiran melalui sejumlah media informasi publik (Venkat Iyer, 2001 : 2). Dalam konteks Hak Asasi Manusia, media massa diharapkan dapat memenuhi informasi yang yang dicari (seeked) oleh publik agar publik menerima (receive) informasi yang mereka butuhkan.
Dengan demikian, media diharuskan untuk 'mengakomodasi' informasi yang terdapat dalam realita dengan kadar kebutuhan dan kepentingan publik. Sehingga, spesialisasi penyajian informasi pun sangat diperlukan oleh media massa untuk bisa melayani kepentingan dan kebutuhan publik akan informasi agar Hak Asasi Manusia mayarakat Indonesia akan informasi dapat terpenuhi.
Apabila berkaca dari ucapan Si Bapak yang telah mengalami kejenuhan informasi Gayus sehingga memudahkannya untuk menghukum mati Gayus, masyarakat indonesia bisa dikatakan—setidaknya mendekati— apa yang disebut sebagai masyarakat informasi. Sebuah masyarakat yang telah terkena terpaan (exposure) media massa dan komunikasi global, masyarakat yang sadar informasi dan mendapat penerangan cukup (Dahlan, 1997:6). Kejenuhan publik atas 'homogenitas' informasi yang berulang-ulang di media massa adalah sebuah indikasi masyarakat yang sadar informasi yang tidak mudah untuk diperdaya.
Meski dalam realitanya, permasalahan yang diinformasikan memang belum tuntas—pun juga akibat kelambanan pemerintah dalam menangani permasalahan negara atau publik— seyogianya tidak menafikkan permasalahan-permasalahan lain yang terkait dengan kepentingan publik. Kecenderungan media massa semakin terlihat untuk mengurangi atau bahkan meniadakan sama sekali isu-isu yang terkait permasalahan publik.
Tidak 'terakomodasi'-nya permasalahan lain malah akan semakin mempersulit penguraian benang kusut permasalahan mengingat media merupakan pilar keempat sistem demokrasi yang dianut oleh negeri ini. Porsi informasi untuk 'mengakomodasi' permasalahan yang menyangkut kepentingan publik harus dilaksanakan dan dijunjung tinggi oleh media massa sebagai pengejawantahan fungsi sosial dan politiknya.
Penyeimbangan fungsi lembaga ekonomi, sosial, dan politik media massa seharusnya dilakukan agar tidak terjadi ketimpangan yang dapat merugikan kepentingan publik dan hak-hak informasinya. Media massa seyogyanya kembali melayani kepentingan dan kebutuhan publik secara maksimal agar tidak terjadi kejenuhan informasi. Jika dibiarkan, bukan hal mustahil kejenuhan informasi akan berakibat pada frustasi informasi yang mengarah pada De-Media akan terjadi.
*) M Misbahul Ulum adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM. __._,_.___