UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI : KRIMINALISASI TUBUH DAN GENOSIDA BUDAYA MASYARAKAT ADAT : Gayatri Mantra* Mahkamah Konstitusi akhirnya tidak mengabulkan pembatalan pemberlakuan Undang-Undang Pornografi (UUP) dan mutlak berlakukan di NKRI. Keputusan yang dibacakan Kamis 25 Maret 2010 tentu saja mengecewakan masyarakat dan Pemda Bali. Komponen Rakyat Bali (KRB) sejak awal sejak dirancang hingga diberlakukannya UUP tersebut telah berupaya keras melibatkan berbagai elemen masyarakat untuk menolak diberlakukannya UU Pornografi. Hingga kini, KRB masih konsisten dan mendesak Mangku Pastika untuk menyatakan sikap Pemda Bali untuk menolak pemberlakuan UU tersebut khususnya di daerah Bali. Penolakan juga terjadi di berbagai daerah yang diwakilkan oleh jaringan masyarakat adat dan organisasi perempuan, dan para aktivis HAM, praktisi yang bergerak dibidang seni, keagamaan, dan pemerhati budaya. Mengapa Menolak UU Pornografi Penerapan UUP diberlakukan dengan sejumlah asumsi-asumsi untuk melindungi moralitas bangsa terutama perempuan dan anak-anak dari pornografi dan pornoaksi. Ada apa dibalik wacana agung ini? UUP harus ditolak karena mengkriminalisasi tubuh dan budaya masyarakat adat. UUP mengatur moralitas dan etika umum berdasarkan suatu pandangan agama dan budaya tertentu. Tafsir terhadap nilai-nilai moralitas ini akan sangat didasarkan pada tafsir yang bersifat subjektif. Undang-Undang ini bukannya melindungi perempuan menyudutkan bahkan menegaskan 'tubuh' perempuan sebagai sumber penyebab bejatnya moral bangsa. Pandangan ini bersumber dari asumsi-asumsi yakni perempuan harus membungkus tubuhnya rapat-rapat agar tidak dilihat laki-laki dan tidak menimbulkan terjadinya pornografi dan pornoaksi. Perempuanlah yang pada akhirnya akan terkena dampak pada pelaksaan UUP. Tubuh dan perempuan telah dimanipulasi dan diekploitasi untuk kepentingan politik dalam narasi agung perlindungan 'moralitas bangsa'. Seolah-olah tubuh dan perempuan jauh lebih berbahaya dari moralitas para koruptor yang menghisap kehidupan masyarakat Indonesia dan (hingga di penjarapun) masih mendapat keistimewaan hidup, meski menari-nari di atas penderitaan rakyat. UUP harus ditolak karena tidak mengakui Kebhinnekaan Masyarakat NKRI yang terdiri dari berbagai etnis (suku) dan agama. Pluralitas kehidupan berbangsa dan bernegara termanifestasi dalam berbagai praksis kebudayaan. Negara, tidak bisa secara otorian mengintervensi kehidupan budaya khususnya dari sistem keyakinan dan budaya masyarakat adat, melulu dari cara berpakaian (kostum). Masyarakat adat telah memiliki rambu-rambu moralitas dan etika yang diterima anggotanya sesuai dengan daerah masing-masing. Intervensi negara hanya diperlukan jika terjadi pelanggaran dan pemaksaan terhadap nilai moralitas tersebut melalui penegakan hukum dan sejumlah ayat-ayat hukum yang telah ada sebelumnya, bukan ditafsir dengan menggunakan ayat-ayat agama tertentu. Apa jadinya jika keyakinan sebuah agama dijadikan dasar mengukur moralitas khidupan berbangsa dan bernegara yang pluralistik? Apa jadinya jika UUP memberikan ruang bagi orang-orang sipil mengambil alih tugas aparatus negara dengan merubah dirinya menjadi polisi-polisi moral? Apa jadinya jika, milisi-milisi ini dipersenjatai dengan UUP dan (benar-benar bersenjata) menjadi teroris dalam ranah kehidupan privat masyarakat, hingga mencampuri persoalan seksualitas individu-individu secara arbitrer? Apa jadinya jika konsepsi tentang tubuh, produk-produk estetika dan spiritualitas selalu ditafsirkan dengan pikiran porno dan birahi aparatus untuk mengkriminalisasi warga negaranya? Pemberlakuan UUP ini jelas sangat diskriminatif dengan menggunakan pakaian sebagai indikator ukuran moralitas bangsa, jastifikasi untuk menghancurkan sistem peradaban suku-suku bangsa dan budaya masyarakat adat di wilayah NKRI. Penyeragaman budaya merupakan kejahatan kemanusiaan karena UUP mengancam disintegrasi melalui pemaksaan nilai moralitas kepada masyarakat dan agama yang berbeda. Sistem keyakinan, agama-agama tradisional yang termanisfetasi dalam banyak produk kesenian dan artefak kebudayaan, tersingkir dan diberangus atas nama hukum. Acintya yang telanjang, Lingga-Yoni, Yesus yang bertelanjang dada, pakaian kebesaran suku-suku bangsa diberbagai daerah dan berbagai produk kebudayaan yang berkaitan dengan keagamaan dan ritual, dalam UUP mendapat wacana "pengecualian", hal ini justru menjadi bukti bahwa UUP ini sangat tidak konsisten dan memungkinakan terjadinya multitafsir yang menyesatkan. Tujuan yang terbesar dari UUP pastinya adalah mengkriminalisasi tubuh dan perempuan, penghancuran peradaban dan diintegrasi bangsa. Semangat dari UUP adalah menaikkan liibido atau hasrat besar untuk Genosida (pembasmian etnis dan budaya), semangat untuk menghukum dan mengirim warga negaranya ke penjara-penjara yang sudah kelebihan penghuni. Semakin banyak warga negara yang dipenjarakan jelas menunjukkan ketidakmampuan negara untuk menyejahterakan rakyatnya dengan membuat mereka tidak produktif dan semakin miskin. Hal ini jelas bertentangan dengan pedoman pembentukan yang Undang-Undang yang harus memenuhi asas kesejahteraan. Jelas, UUP bertentangan dengan semangat UUD 1945 dan Pancasila, yang mengakui Indonesia sebagai bangsa yang berbhinneka, multikulturalisme dan mengakui Hak Asasi Manusia. Pdahal pada pasal 28 dan 32 UUD 1945 telah menjamin kebudayaan, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. UUP juga bertentangan dengan pasal 6 UU no.10 tahun 2004 tentang perlunya berbagai asas: pengayoman,kemanusiaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Pengaturan wilayah moral, adat, dan agama sebaiknya tidak diintervensi negara karena batasannya sangat relatif, dan batasannya tidak tegas. Dosen Akpar Mataram Anggota Komponen Rakyat Bali Mantan Korlap (2008): KRB MENOLAK RUAPP Mahasiswi S3 Kajian Budaya |
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar