Pariwisata Bali Difabrikasi untuk Pasar Global
Posted on admin on September 11, 2011 // Leave Your Comment
“YOU got the spirit?” demikian pertanyaan seorang wisatawan asal New York kepada rekan-rekannya seusai berlatih yoga di sebuah villa di Payogan, Ubud. Sekitar belasan turis kulit putih baru saja mempraktekan yoga yang diampu seorang Master Yoga dari California, Amerika. Para turis itu mengetahui informasi tentang pelatihan yoga untuk tingkat pemula itu dari sebuah situs internet. Mereka tanpa ragu mengeluarkan kocek ratusan Dollar US untuk sekali pertemuan.
Ubud yang dikenal di seantero dunia sebagai desa seni kini juga sohor menjadi destinasi bagi wisatawan yang mencari ketenangan jiwa dengan mempratekan yoga atau meditasi. Sudah lazim bila sore hari melihat wisatawan separuh baya yang membawa matras yoga, mengenakan kostum dan asesoris yang mengingatkan kita pada trend para “Hippies” pada tahun 1960-an.Toko yang menjual peralatan yoga, buku-buku spiritual dan tempat pelatihan meditasi pun mulai menjamur di Ubud.
Fenomena di atas dan perkembangan pariwisata Bali mutakhir lainnya mendapat sorotan tajam pengamat kebudayaan Bali, Dr.Jean Couteau dan Prof. Dr.Nyoman Darma Putra, pada gelaran Dialog Budaya Sudamala yang mengangkat tema “Menata Bali ke Depan: Prospektif Pariwisata dan Budaya” pada Jumat (9/9) lalu di Sudamala Suites & Villas, Sanur.
Jean Couteau melihat Bali sebagai destinasi pariwisata di Asia akhir-akhir ini didesain untuk memenuhi pasar global pariwisata.Para pelaku pariwisata berusaha memuaskan keinginan wisatawan sehingga Bali difabrikasi.
Di beberapa destinasi wisata di Bali, masih menurut Jean Couteau, sengaja dibangun lokasi yoga untuk memenuhi keinginan wisatawan yoga dari California. “Padahal yoga sendiri bukan berasal dari Bali, melainkan dari India. Yang saya tahu, Bali memiliki cara meditasinya tersendiri,” tukas Couteau.
Dampak negatif yang terjadi akibat globalisasi yang semakin cepat adalah akan terjadi perubahan dalam sistem pencitraan Bali.Masyarakat Indonesia masih berupaya mencitrakan Bali sebagai tujuan pariwisata budaya.
” Bali is not paradise created, but paradise which is fabricated.Artinya ada suatu hal di Bali yang difabrikasi, seolah-olah menjadi lebih penting dari pada Bali yang sejati. Jadi, pencitraan dari pariwisata dalam hal ini bertumpu pada kepuasan turis yang datang ke Bali,” tandasnya.
Sedangkan Dr. Nyoman Darma Putra menyoal lemahnya media massa memberi porsi pemberitaan tentang masyarakat yang tinggal di daerah tujuan wisata di Bali.
“Liputan pariwisata di media lebih pro-turis, bukan pro-rakyat.Kebanyakan berita pariwisata tidak coba mengangkat wawancara kepada masyarakat setempat mengenai apa yang bisa masyarakat dapatkan dari destinasi pariwisata,” ujar dosen Faklultas Sastra Universitas udayana yang juga dikenal sebagai kritikus sastra itu.
Darma Putra menekankan pentingnya media massa berperan dalam pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat.Saatnya pers lebih peka melihat perkembangan kehidupan masyarakat di Bali. Pers selama ini, masih menurut Darma Putra, cenderung hanya memberi porsi berita yang besar untuk wilayah Bali selatan.
“Apa yang dinikmati masyarakat di Bali bagian selatan dalam industri pariwisata belum tentu dirasakan di Bali bagian timur. Pers harus peka melihat persoalan masyarakat. Masalah kekeringan di daerah Seraya, Bali timur, saya kira bisa diatasi dengan cepat bila ada pemberitaan media massa. Pihak swasta akan memberikan bantuan segera,” ujar Darma Puta yang masygul melihat perkembangan media massa di Bali sekarang yang cenderung semakin komersial.
“Saatnya mengembalikan media massa untuk menyuarakan kepentingan masyarakat,” tandas Darma Putra.
Pariwisata Bali yang dimulai semenjak zaman kolonial Belanda, dalam 20 tahun terakhir ini menimbulkan masalah serius.Dalam penelitian Putu Suasta, seorang intelektual Bali, terungkap bahwa produksi air di Bali sebetulnya cukup untuk mendukung kehidupan tiga juta penduduk pulau ini. Tapi dikarenakan pariwisata dengan 35.000 lebih kamar hotel, ribuan kolam renang, lapangan golf dan lansdcap yang menghabiskan tiga juta liter per hari, semenjak tahun 2000 Bali memasuki ancaman krisis air. Suplai air beberapa sumber air terkuras oleh kepentingan pariwisata dan bukan kebutuhan harian penduduknya. (Helmi Haska/JB)
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar