05 Mei 2011 | BP
''Blue Print'' Bali Tak Jelas Pembangunan Dikhawatirkan Bergerak Liar
Kegiatan pembangunan di Bali terpantau belakangan ini sepertinya gamang. Arah dan sasarannya terasa tak jelas. Apa yang ingin dicapai dan dibuat sepertinya kabur. Kondisi ini terjadi akibat dasar pijakan pembangunan atau blue print daerah ini ''tidak ada''. Dampaknya, rencana pembangunan yang sudah ada anggaran jelas menjadi batal akibat ada pihak yang tidak setuju. Terus, apa yang mesti dilakukan?
BELAKANGAN ini banyak kegiatan pembangunan di Bali yang tidak bisa berjalan lempang lantaran mendapat reaksi penolakan dari masyarakat. Sebagai contoh, pembangunan Sekolah Luar Biasa (SLB) di Tohpati, Denpasar terpaksa dibatalkan oleh Pemprov Bali karena tidak mendapat restu dari masyarakat Desa Kesiman Kertalangu. Sementara itu, rencana pembangunan bandara internasional di Buleleng yang sejatinya sangat strategis untuk memacu percepatan penyeimbangan pembangunan dan kesejahteraan antara Bali Selatan dan Bali Utara, sampai saat ini masih terganjal reaksi pro-kontra masalah penetapan lokasi bandara itu sendiri.
Selain itu, pembangunan proyek underpass di Simpang Dewa Ruci, Kuta juga tersendat-sendat karena terganjal berbagai masalah. Fenomena ini tentu saja mengundang keprihatinan dan merupakan cermin bahwa Bali sebagai satu-kesatuan kawasan yang terintegrasi belum memiliki blue print pembangunan yang jelas yang lahir dari proses perencanaan matang. Ketidakjelasan blue print ini dikhawatirkan akan membuat arah dan tujuan pembangunan Bali bergerak liar yang akhirnya bermuara pada kehancuran Bali.
Dihubungi Rabu (4/5) kemarin, Rektor Undiknas University Prof. Dr. Gde Sridarma, S.T., M.M. serta pengamat sosial dan budaya Prof. Dr. Nyoman Budiana, S.H., M.Si. tidak menampik bahwa blue print pembangunan Bali masih saru gremeng alias tidak jelas. ''Saat ini pola perencanaan pembangunan tekesan masih bersifat meraba-raba dan mencoba-coba. Mau ke mana dan dikemanakan nantinya Bali ini, semuanya tidak jelas,'' kata Sridarma dan Budiana mengkritisi.
Kedua guru besar yang dikaryakan di Unidiknas University ini mengakui pembangunan Bali memang tampak berjalan. Namun, di sisi lain berbagai kerusakan juga mengikuti laju pembangunan tersebut. Jika kondisi ini dibiarkan, tentu saja akan sangat berbahaya bagi eksistensi Bali ke depan, baik dari segi kelestarian budaya, sosial maupun lingkungan alam Bali. Ada kesan, setiap pengambil kebijakan di Bali melaksanakan tugasnya bersifat temporer dan parsial. Belum ada koordinasi dan sinergitas yang kompak antara pengambil kebijakan di tingkat provinsi dengan di tingkat kabupaten/kota. ''Semua ingin berjalan sendiri-sendiri dan terkotak-kotak. Padahal, Bali itu merupakan satu-kesatuan wilayah yang integral dan tidak bisa dipisah-pisahkan,'' kata Sridarma yang dibenarkan oleh Budiana.
Dalam menggerakkan roda pembangunan Bali, kata Sridarma dan Budiana, para pemimpin Bali belum melihat kepentingan Bali untuk jauh ke depan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan dilakukan untuk kepentingan yang bersifat sesaat dan ditunggangi pihak-pihak tertentu. Ditegaskan, semua itu dengan mudah terjadi karena minimnya rambu-rambu yang pasti dan tegas untuk pembangunan ke depan. Kalau begini terus, ini bahaya besar yang sangat potensial menggiring Bali ke arah kehancuran. Oleh karena itu, semua pelaku pembangunan secepatnya mesti memikirkan untuk membuat sebuah grand design demi pembangunan Bali dalam kurun waktu tertentu yang berorientasi jauh ke depan. ''Dengan begitu, pembangunan Bali tak sampai kebablasan,'' kata Budiana mengingatkan.
Menurut Budiana dan Sridarma, blue print pembangunan Bali yang lahir dari sebuah proses kajian dan analisis yang matang merupakan instrumen yang bersifat wajib. Dengan begitu, pemimpin Bali ke depan akan memiliki pijakan pasti dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Tanpa bermaksud mengecilkan apa yang telah berjalan selama ini, kedua guru besar ini menilai banyak hal yang perlu diluruskan dalam pembangunan ke depan. Apabila blue print Bali jelas, kita bisa berharap kemungkinan terjadinya penyimpangan terhadap pembangunan bisa diminimalisasi. Blue print ini juga harus bersifat permanen sesuai kurun waktu yang telah ditetapkan. ''Jangan begitu berganti kepemimpinan, blue print itu menghilang dan digantikan dengan yang baru sesuai keinginan dan kepentingan pihak penguasa,'' tegas Sridarma dan Budiana seraya menambahkan, semua pihak wajib mengetahui apa yang akan dikerjakan untuk kebaikan Bali ke depan.
Keduanya juga mengingatkan teritorial Bali sangat terbatas. Keterbatasan ini mewajibkan para decision maker di Bali harus mampu mengelola semua itu dengan sebaik-baiknya agar tidak sampai rusak. Mengingat blue print pembangunan Bali tidak tergarap, maka menjadi sulit bagi semua pihak untuk melakukan penilaian sejauh mana perkembangan Bali. ''Menurut saya, blue print pembangunan Bali harus secepatnya diwujudkan jika tidak ingin Bali ini mengalami kehancuran,'' tegas Sridarma.
Tak Terjebak
Anggota Komisi IV DPRD Bali Tjokorda Gede Asmara Sukawati, S.Ip., Rabu (4/5) kemarin mengemukakan, merancang sebuah pembangunan yang matang dan konsisten, memang perlu adanya blue print (cetak biru). Hal ini untuk menghindari pejabat daerah terjebak pada kepentingan populis untuk meraih simpati publik.
Dikatakannya, soal batalnya pembangunan SLB Tohpati sebagai sebuah contoh. Menurutnya, setiap aspek pembangunan mesti didasarkan kajian matang yang tertuang dalam blue print yang jelas. Ia mencontohkan lagi kereta api lelet yang pernah diwacanakan Menbudpar Jero Wacik beberapa waktu lalu yang dibangun keliling Bali, setelah dikonfirmasi ke Kementerian Perhubungan ternyata tak memiliki kajian yang jelas lokasi maupun anggarannya.
Pembatalan bus Sarbagita dari Kementerian Perhubungan nyaris dilakukan karena pemerintah provinsi juga tak menyodorkan permohonan hibah bantuan bus Sarbagita ke Kemenhub. Akhirnya kekurangan itu baru disusulkan kemudian dari Pemprov. Hal ini berakibat terus molornya realisasi bus Sarbagita itu sampai Juli mendatang.
Anggota Komisi I DPRD Bali Tjokorda Budi Suryawan menyatakan tanpa ada blue print yang jelas kenapa sebuah sekolah dipindahkan bisa jadi memunculkan kecurigaan. Ia menyebutkan SLB yang dipindahkan ke Tohpati mengundang kecurigaan karena kondisi sekolah dan asrama di sana masih baik. ''Kalau kondisinya masih baik kenapa dipindah,'' kata mantan Bupati Gianyar ini.
Dari sini muncul kecurigaan bahwa SLB yang berada di segi tiga emas pariwisata itu ditawar investor untuk convention center. Oleh karena itu, ke depan untuk pembangunan khususnya gedung sekolah harus ada blue print, minimal kajian dari wilayah kabupaten mengenai pemetaan wilayah untuk sekolah apa yang tepat di situ. ''Misalnya di satu kecamatan apakah sudah ada SMP atau SMA dan sebagainya, ini kebutuhan mendasar yang harus diprioritaskan,'' katanya.
Namun, mantan pesaing Mangku Pastika pada pilgub lalu ini mendukung pembatalan itu sekaligus memberikan apresiasi atas penolakan masyarakat Kertalangu mengenai pembangunan SLB di Tohpati. (ian/sua)
Kamis, 05 Mei 2011
[bali-travel] ''Blue Print'' Bali Tak Jelas Pembangunan Dikhawatirkan Bergerak Liar
__._,_.___
Sekolah bahasa Jepang http://PandanCollege.com/ 0361-255-225/
.
__,_._,___
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar